Puasa dan Mentalitas untuk Maju*

| Kamis, 17/05/2018 16:05 WIB
Puasa dan Mentalitas untuk Maju* Muhaimin Iskandar (Cak Imin). doc. istimewa

RADARBANGSA.COM - Kemajuan suatu bangsa, di samping ditopang oleh sumber daya alam dan teknologi, juga ditentukan oleh mentalitas sumber daya manusianya. Teknologi hanya sekadar alat, sementara sumber daya alam adalah sarana. Sedangkan mentalitas manusia adalah kuncinya. Disebutkan dalam alQuran bahwa “Allah tidak akan membuat suatu bangsa menjadi maju, kecuali jika warga bangsa itu sendiri yang berusaha memajukannya”. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974), menyebutkan bahwa mentalitas maju suatu bangsa ditandai dengan orientasi hidup yang bersifat ke depan, menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi, lebih menilai tinggi orientasi

ke arah achievement, dan menilai tinggi mentalitas berkarya atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin tinggi dan berani bertanggung jawab. Ada banyak jalan yang ditempuh oleh berbagai bangsa untuk membangun mentalitas maju. Di Inggris, perkembangan ekonomi dan kemakmuran masyarakat pada pertengahan abad ke-18 diawali oleh suatu periode selama beberapa dasawarsa di mana kesusasteraan, bacaan rakyat, dan ceritacerita rakyat Inggris diisi oleh tema-tema yang berorientasi kepada achievement yang tinggi. Di sisi lain, mentalitas maju juga dibentuk oleh faktor budaya, agama dan kepemimpinan. Etika protestan di Eropa misalnya – sebagaimana dikatakan Weber – menjadi dasar perkembangan kapitalisme di sana. Confusianisme di China juga menjadi faktor kemajuan ekonomi China yang mencapai puncaknya di masa kini. Sedangkan faktor kepemimpinan terlihat misalnya dalam bagaimana pemimpin Jepang dari golongan Meiji yang pada tahun 1867 berhasil mengambil alih kekuasaan dari Tokugawa, berhasil membangun kekuatan ekonomi dan politik yang kuat guna mengimbangi dan melawan ancaman (kolonialisme) Eropa.

Sejarah Islam juga menunjukkan hal yang sama. Kemajuan Islam pada periode awal misalnya ditempuh dengan jalan hijrah. Suasana hidup di luar tanah kelahiran membuat semangat hidup dan perjuangan kaum muslimin menjadi sangat tinggi. Sejarawan Inggris asal Kuwait, Farhat A Hussein, dalam sebuah tesisnya berjudul Islamic Civilisation and its Impact Upon the Development of Western Europe mengemukakan bahwa sejak abad VIII, yaitu selama 11 abad, Islam menjadi sumber kreasi dan menerangi dunia dari kegelapan di berbagai bidang. Pengaruh Islam itu terus hidup hingga Eropa memasuki abad modern, bahkan hingga saat ini. Menurut Farhat A Hussein, al-Quran sarat dengan informasi mengenai astronomi, geologi, pengobatan, dan sains lainnya yang mengantarkan ilmuwan Muslim menjadi peneliti. Para ilmuwan muslim telah meneliti dan memahami sains dalam al-Quran dan menghasilkan 1.400 buku dari cabang ilmu yang berbeda. Buku-buku itulah yang kemudian diadopsi Barat dan digunakan untuk memajukan peradaban mereka. Memang kemudian terjadi hal yang bertolak belakang: Barat terus menapak menuju puncak kemajuan, sementara dunia Islam bergerak menurun sampai saat ini. Namun kenyataan tersebut tidak bisa menghapus fakta adanya kontribusi Islam terhadap kemajuan dan pembentukan mentalitas manusia dan bangsa yang maju. Mentalitas maju yang termanifestasi dalam orientasi yang bersifat ke depan (faltandzur nafsun ma qaddamat lighad), menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi dan berkompetisi (fastabiqu al-khairat), lebih menilai tinggi orientasi ke arah “achievement” (khairukum anfa’uhum linnas), dan menilai tinggi mentalitas berkarya atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, berdisiplin tinggi dan berani bertanggung jawab (kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih), merupakan nilainilai yang built in dalam ajaran Islam. Dan, puasa merupakan salah satu jalan untuk menggali dan mengembangkan kembali nilai-nilai itu secara bertahap dan berkesinambungan dalam kehidupan.

*Tulisan ini diambil dari Buku Inspiring Ramadhan, Renungan Pencerahan di Bulan Punuh Kemuliaan, A. Muhaimin Iskandar, LKiS, Yogyakarta, 2010

Tags : Puasa , Cak Imin , Mentalitras Untuk Maju