Saat NU Mempertegas Hasil Kongres Pemuda

| Jum'at, 09/11/2018 06:01 WIB
Saat NU Mempertegas Hasil Kongres Pemuda KH Abdul Wahab Chasbullah (Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Pergerakan nasional dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajah menempatkan peran pemuda dalam posisi yang strategis. Karakter pemuda yang mempunyai semangat, gesit, dan progresif perlu mendapat penguatan wawasan kebangsaan dan cinta tanah air.

Untuk menanamkan cinta tanah air tersebut, salah seorang kiai pesantren bernama KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) pernah mendirikan madrasah dan perguruan Nahdlatul Wathan pada tahun 1916 (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010). Perguruan ini menampung para pemuda yang berusaha digembleng Kiai Wahab untuk memperkuat cinta tanah selain ilmu agama berbasis keilmuan pesantren.

Sebutan Syubbanul Wathan (para pemuda cinta tanah) disematkan oleh Kiai Wahab untuk mempertegas komitmen kebangsaan para pemuda dalam upaya memerdekakan bangsa dan negara. Berbeda dengan KH Mas Mansur yang memilih jalur perjuangan politik, Kiai Wahab lebih menempuh jalur pendidikan untuk penanaman cintah tanah air kepada para pemuda.

Ghirah kebangsaan yang digelindingkan Kiai Wahab kepada para pemuda berhasil menyisir dan mengubah pola pikir para pemuda di setiap daerah. Dengan semangat cinta tanah air, perbedaan tidak menjadi hambatan untuk bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Dilandasi rasa senasib dan sepenanggungan, para pemuda dari sejumlah suku dan pulau berkumpul untuk menginiasi Kongres Pemuda. Kongres Pemuda pertama berhasil dilaksanakan pada 2 Mei 1926, di mana pada tahun tersebut para kiai dan santri resmi mendeklarasikan Jami’iyyah Nahdlatul Ulama.

Embrio gerakan pemuda yang diperjuangkan Kiai Wahab Chasbullah coba dikristalkan oleh para pemuda dalam Kongres Pemuda pertama pada 2 Mei 1926 untuk mempertegas persatuan Indonesia. Pada kongres pertama tersebut, salah seorang perumus dalam Kongres Pemuda Indonesia Mohammad Tabrani asal Pamekasan Madura menyarankan penggunaan Bahasa Indonesia.

Dalam pidatonya Mohammad Tabrani mengatakan: “Kita sudah mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Kita sudah mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Mengapa kita harus mengaku bahasa persatuan, bukan bahasa Indonesia? Bahasa persatuan hendaknya bernama bahasa Indonesia. Kalau bahasa Indonesia belum ada, kita lahirkan bahasa Indonesia melalui Kongres Pemuda Pertama ini.” (Nuny Sulistiyani Idris, tt)

Namun, dalam Kongres Pertama tersebut belum menghasilkan rumusan aksi yang matang dan sistematis sehingga para pemuda kembali menggelar Kongres Pemuda kedua pada 28 Oktober 2018. Pada kongres kedua ini berhasil menelurkan komitmen kebangsaan yang disebut Sumpah Pemuda. Saran Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan diperluas ke dalam komitmen bangsa dan tanah air yang satu, yaitu Indoensia.

Isi Sumpah Pemuda yang berhasil dirumuskan pada Kongres Pemuda kedua 28 Oktober 2018 ialah sebagai berikut:

Soempah Pemoeda

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Setahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927, para kiai NU dalam forum tertinggi NU memutuskan untuk melakukan perlawanan kultural. Para kiai NU menyasar pada pelarangan budaya Belanda dalam hal model pakaian.

Keputusan NU tahun 1927 untuk melakukan perlawanan kultural menyebar ke tengah masyarakat. Muslim Nusantara merespon kiai NU dengan dengan melakukan perlawanan yang sama. Segala macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapatkan penolakan keras dari masyarakat desa.

Selama satu tahun NU melakukan perlawanan kultural dengan berbagai konsekuensi turunannya. Babak selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda pada 22 Oktober.

Satu bulan pasca Muktamar ke-3 NU, tepatnya pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan. Tema besar Sumpah Pemuda juga mendapat respon cepat masyarakat mengingat Sumpah Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk Nahdlatul Ulama yang sejak lama sudah melakukan gerakan sistemik kebangkitan nasional.

Dalam catatan Abdul Mun’im DZ (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011), gema Sumpah Pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menggelora di seluruh penjuru Nusantara sehingga menjadi bahasan semua kalangan pergerakan termasuk dalam NU dan dunia pesantren secara umum.

Namun, salah satu butir yang menjadi perhatian adalah munculnya aspirasi negara bangsa (nation state) sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tersebut. Konsep negara bangsa tersebut sekaligus menjadi persoalan krusial bagi sebagian umat Islam yang masih berpandangan untuk mendirikan negara Islam.

Karena persoalan ini menjadi bahan perbincangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggung jawab sosial, NU kemudian membawa persoalan tersebut ke dalam Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Singkatnya, dalam Muktamar tersebut, NU mempertegas bahwa nation state tidak bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, juga sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian, Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan (negara bangsa) telah memenuhi aspirasi Islam. (Fathoni/NU ONLINE)

Tags : Nahdlatul Ulama , KH Abdul Wahab Chasbullah , Pemuda

Berita Terkait