Ketua PBNU Paparkan Penyebab Orang jadi Radikal

| Rabu, 10/07/2019 22:18 WIB
Ketua PBNU Paparkan Penyebab Orang jadi Radikal Ketua PBNU KH. Robikin Emhas. (foto: nu.or.id)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Robikin Emhas mengungkapkan betapa mudahnya jika seseorang ingin menjadi radikal. Pasalnya, seseorang tidak perlu mendalam ketika belajar ilmu agamanya.

Menurutnya seseorang kalau mau jadi radikal cukup kutip sepenggal ayat, tidak usah dikaitkan dengan asbabun nuzul dan lainnya. Kalau mau jadi liberal cukup tahu agama sedikit-sedikit, niscaya akan menjadi orang yang menafsirkan agama semau prespektifnya saja, tapi tidak dari Tuhan.

"Tidak perlu belajar ilmu mantiq, atau nahwu sorrof. Langsung saja belajar terjemahan Al-Qur’an. Kemudian dipakai jadi modal memamakai jubah kebesaran, pakai surban, dan berani pidato di mana-mana. Karena cara belajarnya seperti itu (serampangan), maka otomatis konteks turunnya ayat atau hadist, asbabun nuzul, dan asbabul wurud pasti gak paham. Nah, kalau tidak paham hampir pasti akan jadi radikal," ujar Robikin saat mengisi Pelatihan Kader Aswaja yang diadakan oleh PW Muslimat NU DKI Jakarta di Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta, Rabu, 10 Juli 2019.

Robikin menegaskan bahwa NU melakukan sebaliknya. Karena, NU mengedepankan Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Ajaran Aswaja yang dimaksud adalah sesuai dengan firman Allah, Wa każālika ja`alnākum ummataw wasaṭal. Islam yang dikembangkan adalah Islam moderat dan toleran. Itulah perintah Allah kepada Nabi Muhammad.

Lalu bagaimana ajaran Islam yang moderat dan toleran yang sebenarnya? Robikin mengatakan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj sering menyatakan, Islam yang kita kembangkan seperti yang dilaksanakan Rasulullah, sebagaimana perintah Allah itu adalah yang moderat.

"Maka untuk jadi moderat orang harus minimal pintar. Syarat pertamanya harus pintar, ilmunya mendalam. Kalau tidak pintar dan tidak mendalam ilmunya, tidak banyak perspektif. Ketika melihat sesuatu maka tidak mungkin menjadi moderat," papar Robikin seperti dilansir dari laman nu.or.id.

Kemudian, bagaimana orang bisa jadi toleran? "Toleran itu menghargai keberagamaan, menghormati perbedaan pendapat, tidak melakukan kekerasaan dalam mencapai tujuan," ujarnya.

Moderat dan toleran menjadi bagian dari aplikasi mandat atau tanggung jawab yang diemban NU. Pasalnya, NU mengemban dua mandat. Mandat yang pertama adalah mandat keagamaan, (mas’uliyah diniyah) yaitu mengemban tugas keagaamaan, kedua adalah memanggul mandat kebangsaan, (mas’uliyah wathoniyah).

"Kedua mandat tersebut yang harus dijalankan oleh Nahdliyin sebagai warga atau pengurus NU, baik di struktural, lembaga ataupun banomnya," tegasnya.

Mandat keagamaan dan kebangsaan tersebut, kata Robikin, tidak bisa dipisahkan. Sebagai Nahdiyin tidak bisa hanya atas nama mengemban mandat keagamaan saja, lalu tidak mempedulikan atau mengabaikan mandat kebangsaan.

"Misalnya kita mengampanyekan Indonesia harus menjadi negara Islam. Nah, itu pertama jelas bertentangan dengan mandat kebangsaan, bahkan dalam konteks keagaamaan sendiri harus kita evaluasi," katanya.

Memahami esensi mandat keagaaman NU adalah untuk mengamalkan, mempraktikkan, menyebarluaskan, dan mensyiarkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Robikin mengumpamakan, jika seseorang menyebut istilah radikal asosiasinya adalah kanan. Maka di posisi kanan ini, orang tersebut merasa tidak perlu tahu sebelah tengah dan sebelah kiri.

"Tapi jika kita harus moderat maka kita harus melihat semuanya bukan hanya kanan, tengah dan kiri. Semuanya harus kita lihat, baru kemudian kita mengambil sikap," pungkasnya.

Tags : PBNU , Radikal , Islam Aswaja

Berita Terkait