6 Poin Hasil Pemufakatan Agamawan dan Budayawan di Yogyakarta

| Minggu, 04/11/2018 11:32 WIB
6 Poin Hasil Pemufakatan Agamawan dan Budayawan di Yogyakarta Sejumlah Agamawan dan Budayawan saat ketika merumuskan enam poin Pemufakatan. doc. istimewa

BANTUL, RADARBANGSA.COM- Kaum Agamawan dan Budayawan mengadakan Sarasehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Tembi, Sewon, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 3 November 2018.

Dalam acara tersebut dibahas bagaimana menghadapi persoalan dan tantangan kaum agamawan dan budayawan untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hasilnya, ada emam rumusan yang dinamakan Pemufakatan Yogyakarta Agamawan dan budayawan.

“Kita sebagai pemilik sah keberadaan serta kedaulatan Indonesia tetaplah optimistis mampu menjawab secara adekuat semua persoalan dan tantangan yang muncul sebagai akibat di atas,” demikian dikutip dari rilis pemufakatannya.

Pendidikan yang disempurnakan secara berkelanjutan diyakini memungkinkan Indonesia meraih masa depan yang cerah melalui generasi-generasi baru yang.

Hal tersebut tidak akan dapat tercapai bila seluruh elemen bangsa tidak melakukan koreksi dan tidak menciptakan perubahan yang signifikan di semua level dan dimensinya, mulai cara berfikir, merasa, bersikap atau bertindak, baik dalam dimensi akal, fisikal, mental hingga spiritual.

 

Inilah hasil rumusan lengkapnya, Kami bermufakat perubahan tersebut antara lain harus terjadi pada:

  1. kalangan agamawan dan budayawan dalam memahami dan mengatasi disrupsi yang terjadi dalam dirinya sendiri sehingga mengganggu bahkan merusak bukan saja iman (keyakinan) umatnya, tapi juga hubungan idealnya dengan kenyataan sosial serta kultural lokal di mana ia berada;
  2. penghayatan serta pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh sudut negeri ini yang terbukti dalam sejarah yang panjang terintegrasi secara positif, konstruktif, dan produktif dengan praktik-praktik kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia;
  3. pendidikan, baik umum maupun agama, formal maupun non-formal, dengan memahami dan melanjutkan secara lebih adekuat praksis dan makna pengajaran dalam dunia tradisi, termasuk kemampuan alamiahnya dalam mengakselerasi perkembangan zaman, bagaimanapun radikalnya, dengan antara lain: 

    memosisikan kembali orang tua dalam peran sebagai guru yang paling mula dan mulia dalam proses pengajaran anak-anak Indonesia;

    mengedepankan pengajaran akhlak yang berbasis pada pencerahan kalbu sebelum hal-hal lainnya, mulai dari tahap pendidikan dini hingga tingkat menengah, dengan menggunakan model-model yang menjadi panutan/keteladanan melalui pelbagai 2 produk kebudayaan, antara lain kesenian, seperti: sastra, teater, tari, rupa sebagai tradisi yang masih hidup, juga adat-istiadat yang mengintegrasikan dunia religius dan tradisional sebagaimana dipelihara kraton-kraton di seluruh nusantara.

    terus memperbaiki dan mengembangkan bahasa agama dan budaya yang mampu menghindarkan dirinya dari diksi, semantika atau retorika yang jumud, intoleran, teologi yang berpihak, atau ideologi yang bertentangan dengan kenyataan aktual, faktual juga historis bangsa;

    mengatasi secara keras dan tegas mental rendah-diri para anakdidik dengan contoh-contoh faktual tentang kenyataan-kenyataan keunggulan manusia Indonesia beserta produk-produk kulturalnya;

    menanamkan pemahaman dan praktik hidup sedalam-dalamnya bahwa agama (dengan segala pemahaman dan ibadahnya) bukanlah berarti segalanya, dalam arti manusia sudah selesai hanya dengan agama dan menafikan dimensi-dimensi hidup lainnya yang sesungguhnya setara peran dan fungsinya yang konstitutif.

  4. Sikap dan perilaku kita, sebagai manusia, kelompok, juga sebuah bangsa, yang tetap kuat dilandasi oleh nilai-nilai luhur sebagaimana telah dipraktikkan oleh leluhur bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari di setiap etniknya, seperti antara lain: 

    Jujur, Sabar, bersyukur (berterima kasih pada semua makhluk), berkesetaraan ,berbhineka (pluralis dan multikulturalis) plus wawasan kebangsaan , bergotong-royong , disiplin dan bertanggungjawab , mandiri, saling mengasihi , santun (dalam berpolitik, bertutur, bersikap dan berperilaku), menerima yang menjadi haknya, bukan sebaliknya, mengedepankan laku (praktik dalam foot print, bukan hanya kognisi dalam bentuk footnote) ,keterbukaan (open minded)

  5. Negara, cq pemerintah, dalam hal ini tidak hanya berperan dalam memelihara, melayani atau memfasilitasi saja, tapi selain terus mengoreksi kekeliruannya, bahkan hingga tingkat sistemik, juga menjadi inisiator dari perubahan-perubahan di semua level dimensinya, termasuk misalnya menciptakan sebuah narasi yang dapat dan menjadi pijakan bersama (common ground) mulai dari soal siapa, dari mana bermula, hingga akan kemana Bangsa Indonesia.
  6. Mendorong praktik kehidupan beragama untuk melahirkan iman yang membuahkan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial.
Tags : Agamawan , Budayawan , Pemufakatan , Yogyakarta

Berita Terkait