Cerita Kepanikan Warga Saat Terjadi Tsunami Selat Sunda

| Rabu, 02/01/2019 16:18 WIB
Cerita Kepanikan Warga Saat Terjadi Tsunami Selat Sunda Sejumlah warga Kampung Paniis Desa Tamanja, Sumur menunggu bantuan dari para donatur (foto: radarbangsacom)

Oleh: Lia Nulianawati

RADARBANGSA.COM - Sabtu malam tanggal 22 Desember, sekitar pukul 21.30 di saat cuaca sedang bersahabat, gelombang air laut tenang, sinar bulan purnama yang cukup terang di saat desa kami sedang mengalami putus aliran listrik. Pada saat itu, Aku baru hendak pergi tidur selepas shalat Isya. Tidak seperti biasanya, malam itu perasaanku gelisah, tidak bisa tidur hingga beberapa menit kemudian terdengar suara dengungan seperti kendaraan besar bahkan seperti suara pesawat memekik di kegelapan.

Kaca-kaca rumah bergetar, tapi anehnya tidak merasakan getaran di tempat tidur. Aku mengintip ke luar rumah tapi tidak ada kendaraan besar yang melintas. Aku kembali naik ke tempat tidur, Aku pastikan anak-anak baik-baik saja. Mereka sudah terlelap tidur sejak sekitar pukul 21.00.

Berusaha memejamkan mata tapi tetap tidak bisa. Aku tengok kembali keadaan di luar melalui kaca jendela yang terang oleh cahaya bulan. Tak lama terdengar suara suami di kamar sebelah sedang bercakap-cakap dengan seseorang melalui telepon. Ia keluar kamar dan berlari ke luar rumah melompati pagar menuju ke arah laut di belakang rumah kami.

Posisi tempat tinggal kami berjarak kurang lebih 500 m dari atas permukaan laut. Hingga terlihat dengan jelas sebagian permukaan laut. Aku sempat mendengar percakapannya yang memberitahukan bahwa laut tetap tenang seperti tadi sore pada seseorang di ujung telepon sana, yang baru kutahu yang menelpon adalah ibu mertua.

Firasatku ini mungkin tsunami, mengingat sekitar beberapa bulan lalu ada seberan di medsos dari BMKG bahwa Kota Pandeglang merupakan kota yang diramalkan akan terkena tsunami tertinggi yaitu 54 m. Wallohu`alam. Tanpa pikir panjang Aku kembali ke rumah membuka gerbang, dan melihat anak-anak sudah terbangun. Mereka bertanya-tanya "Ada apa mah?" kudekap erat mereka sambil berkata "Kita pindah yuk boboknya ke rumah nenek,"

"Memangnya kenapa, Mah?"
"Itu kenapa orang-orang berlari lari, Mah?"
"Iya sayang, mereka juga boboknya mau pindah, hayu cepat,"

Kuboyong mereka berdua keluar rumah. Terdengar suara mesin mobil dihidupkan Bapaknya. Ia tetap berdiri melihat ke arah laut hingga selang beberapa detik kemudian ia berteriak, "Ayo masuk mobil, ada ombak naik!" Tanpa pikir panjang aku menaikan kedua anak kami ke dalam mobil. Sementara jeritan histeris dan teriakan "tsunami!....tsunami... tsunami..." semakin menambah kepanikan. Tak berapa lama kami tancap gas menuju tempat yang lebih tinggi. 

Sepanjang jalan menuju ke tempat pengungsian, tubuhku menggigil ketakutan yang teramat, belum pernah aku merasakan takut hingga menggigil seperti saat itu bahkan hingga sekarang. Anak-anak terus ada dalam dekapan, Aku merasakan mereka pun menggigil ketakutan. Aku mengajaknya berdzikir sepanjang jalan. Beberapa orang kami ajak menumpang, sambil terus mencari keluarga lainnya.

Kami mencari nenek yang kulihat sedang tergopoh-gopoh di pinggir jalan. Dengan cepat kubuka pintu dan menaikannya. Jalanan mendadak macet. Suara riuh klakson dan jeritan histeris berbaur menambah kepanikan dan ketakutan yang mencekam. Semua ingin cepat-cepat menuju daerah pengungsian.

Setiba di tempat yang lebih aman, kami semua berkumpul. Aku lemas, tak bisa berbicara banyak, tubuh menggigil. Sementara di bawah sana kami lihat percikan api yang keluar dari mulut gunung Anak Krakatau. Kami menduga gelombang naik ini disebabkan letusan gunung Anak Krakatau.

Sebelumnya kami sama sekali tidak mendengar ada pemberitahuan baik melaui media TV maupun media sosial. Pada malam itu, kami mengalami apa yang sering kami lihat di berita TV dan media sosial mengenai tsunami. Kami merasakan apa yang dialami oleh saudara-saudara kami sebelumnya. Bagaiman rasa ketakutan, kebingungan, kesedihan, luka, jeritan dan kehilangan membaur tumpah menjadi satu. Semua sudah kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa menentangnya. Kami pasrah. Ini memang sudah takdir kami. Terlepas apakah ini adzab bagi kami ataupun hanya kejadian alam saja. Wallohu`alam.

(Cerita ini telah di posting melalui akun facebook Lia Nulianawati)

 
 
 
 
Tags : Tsunami Selat Sunda ,

Berita Terkait