Tari Angguk dan Sepinya Kreatifitas Mubaligh

| Rabu, 29/11/2017 12:57 WIB
Tari Angguk dan Sepinya Kreatifitas Mubaligh Pertunjukkan Tari Angguk di Magelang, Jawa Tengah oleh Komunitas Lima Gunung.

RADARBANGSA.COM - Begitu indah jika mengenang masa lalu Islam Indonesia, bagaimana mubaligh (tokoh penyebar) Islam menyebarkan keagamaan di bumi pertiwi tercinta ini, begitu halus, harmonis, dan dialektis, tidak ada unsur kekerasan ataupun pemaksaan kehendak egoitas ideologi, semuanya dibiarkan melebur dan mengalir dalam masyarakat. Tetapi nilai-nilai keagamaan masuk dan berdialektika dalam mewujudkan tali persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Keindahan itu tidak lepas dari peran kreatifitas mubaligh Islam mentransformasi nilai keagamaan dalam masyarakat. Hakikat Islam tidak hanya disebarkan sebagai dogma belaka, melainkan dijadikan sebagai media kreatifitas masyarakat dalam mengarungi penatnya kehidupan.

Di masyarakat Kulon Progo Yogyakarta misalnya, pada abad ke 17, Mubaligh Islam begitu piawai mengambil hati masyarakat dengan meleburkan dengan diri dengan seni tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Seni tradisi yang dijadikan media transfomasi oleh mubaligh Islam adalah seni Tari Angguk, yang ditengarai dibawa oleh mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram-Bagelen.

Tari angguk berawal dari sekolompok para pemuda yang membuat lingkaran dengan memainkan gerakan mengangguk-anggukan kepala sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan paska panen padi yang melimpah ruah. Dari anggukan kepala para penari tersebut, kesenian ini dikenal dengan sebutan tari angguk.

Dalam perkembangannya, tari Angguk dimainkan sedikitnya oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia dari 12 hingga 20 tahun. Pakaian para penari umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis merah dan kuning di bagian dada dan punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai lutut dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang sebatas lutut tanpa sepatu, serta memakai topi pet berwarna hitam.

Adapun instrumen yang digunakan dalam kesenian ini adalah Jedhor (beduk kecil). Jedhor dipergunakan untuk menggugah semagat masyarakat yang hadir menyaksikan tarian ini. Semangat yang digemborkan adalah bersatu padu serta saling membantu, dalam artian panen yang melimpah merupakan berkah harus disisihkan sebagian untuk kemaslahatan bersama. Ada juga alat musik kencreng, kendang dan dua rebana, dan terbang (rebana besar) dijadikan untuk memberi irama musik yang bertalu-talu untuk memberi kekuatan berbagai arah musik yang didengarkan oleh masyarakat.

Tari Angguk sendiri terdiri dari dua jenis. Pertama tari ambyakan, yaitu tari yang dimainkan oleh banyak penari. Kedua, tari pasangan, yaitu tari angguk yang dimainkan secara berpasang-pasangan. Pantun-pantun rakyat yang berisi pelbagai aspek kehidupan manusia turut dibacakan dalam pementasan tarian ini. Pantun-pantun tersebut biasanya berisi tentang pergaulan dalam hidup bermasyarakat, budi pekerti, nasihat-nasihat, dan pendidikan.

Akan tetapi ada juga yang mengatakan bahwa kesenian ini merupakan tradisi Islam yang dijawakan atau kesenian jawa yang diislamkan. Karena ungkapan yang bisa dikeluarkan para penari yang membentuk lingkaran, ada ungkapan bahasa Arab yang dilafalkan ala Jawa. Ini misalnya terjadi ketika seniman Angguk melagukan kalimat Arab a’la thaha menjadi ngala toha dan contoh lain pada suatu bagian antraksi ndadi ketiak roh cantik yang disebut Dewi Kuning-kuning merasuk, para pengiring berdendang: kuning-kuning, kuning-kuning, Wong Ayu Kuning, Wong Ayu Kuning kemudian datang dendang susulan berbahasa Arab (yang tidak jelas artinya) Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a, Wa’ul bi’a nurussamsi, Wa’ul bi’a nurussamsi.

Dari Syair-syair tari angguk memang diambil dalam sebagian kitab Barzanji, jadi tidak heran kalau ungkapan banyak berbahasa Arab, meski pada akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan gerak tari serta bahasa khas Banyumasan tanpa merubah corak aslinya.

Sepinya Kretifitas Mubaligh

Perkembangan Islam melalui kesenian menarik perhatian para pemuda, sehingga dalam perjalannya tidak terlalu mengalami kesulitan, dalam artian penyebaran Islam tidak hanya disebarkan dari pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren sebagai transformasi nilai-nilai Islam. Islam juga disebarkan melalu kesenian, misalnya melalu pertunjukan gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.

Akan tetapi kalau melihat Mubaligh Islam dewasa ini, sudah sepi dari kreatifitas kalau dibandingkan dengan mubaligh zaman dahulu. Ajaran Islam sudah tidak lagi merangkul kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga banyak para tokoh Islam semakin kesulitan memberi pemahaman kepada masyarakat tentang harmonisasi ajaran Islam yang sebenarnya.

Akibatnya, banyak kesenian yang bercorak Islam lambat laun semakin memudar, tari angguk misalnya, untuk tetap eksis sebagai kesenian rakyat harus berjuang matian-matian melawan globalisasi yang terus ekspansif. Dan kekerasan atas nama agama semakin marak terjadi. Ini membuktikan para mubaligh sudah tidak lagi mempunyai strategi yang merakyat dalam menyebarkan nilai-nilai keagamaan.

Melihat pudarnya semangat pemuda dalam menghidupkan tari angguk, teringat pada saran profesor Khaleed Abou el Fadhl, bahwa jangan sampai agama menjadi otoriter, gara-gara para ahli agamanya mulai kehilangan legitimasinya di hadapan umatnya, sehingga berubah menadi otoritarisme yang menjurus pada perilaku-perilaku yang zalim. Agamawan harus tetap memiliki otoritatif, tetapi bukan bersifat otoriter dan memisahkan ajaran Islam dari kesenian yang ada dalam masyarakat.

Meminjam Statemennya T.S. Eliot penyair kelahiran Amerika Serikat, agama tidak akan bisa diterima oleh suatu masyarakat tanpa melebur dan beradaptasi kepada tradisi-tradisi yang eksis. Karena konteks kebudayaan yang di dalamnya berdiri entitas agama sebagai sistem kepercayaan suatu masyarakat, seperti disinyalir Koentjaraningrat (1990), tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas unsur-unsur kehidupan manusia yang berproses di dalamnya. Selanjutnya integrasi unusur-unsur tersebut dalam perwujudannya, dapat dilihat melalui sistem gagasan, sistem tindakan sosial, dan hasil karya manusia. Di sinilah pergulatan antara agama dan tradisi itu terjadi.

Menelusuri kembali pertumbuhan kesenian rakyat dan perkembangan penyebaran agama Islam serta proses internalisasi masyarakat di Indonesia maka diharapkan tumbuh kesadaran dalam diri kita untuk menghargai dinamika masyarakat Indonesia sehingga dapat memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Tags : Tari Angguk ,

Berita Terkait