Gus Dur Jembatan Golongan Islam dan Kebangsaan

| Rabu, 27/12/2017 10:34 WIB
Gus Dur Jembatan Golongan Islam dan Kebangsaan Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI (foto: Ist)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Semasa kecil, penulis sudah akrab dengan suasana perbedaan kehidupan beragama. Betapa tidak, sehari-hari bermain dengan tetangga yang beragama kristen protestan berketurunan China, sebut saja namanya Andrew, Ronald, Yesi, Linda dan lainnya. Kami tinggal berdampingan & hanya dihalangi dua rumah di Kampung Sidamukti Desa/Kec. Pangalengan Kab. Bandung.

Setiap hari sepulang sekolah, apalagi kala libur sekolah diantara kami pasti saling kunjungi rumah, namanya juga anak-anak suatu ketika penulis tanya tentang simbol yang terpasang di ruang utama rumahnya yang kemudian ia sebut sebagai Salib. Tanpa berpikir panjang, pertemanan kami pun berlangsung sejak masa usia SD hingga SMP. Tiap hari minggu ketika ia sekolah minggu di gereja kadang saya diajak, bahkan usainya kami lanjut main dengan anaknya pendeta, Yossi namanya.

Begitupun sebaliknya, kadang-kadang penulis ajak ia ke tempat sekolah agama di madrasah persis di samping mesjid kampung kami, hanya numpang main ketika jam istirahat belajar. Setiap kali perayaan Natal, ayah penulis yang seorang ustadz sekaligus sebagai Ketua RW berkunjung ke gereja untuk ucapkan selamat Hari Raya Natal dengan bawa tentengan makanan, begitupun sebaliknyabila hari raya Idul Fitri ayahnya Yossi datang ke rumah sekedar ucapkan selamat lebaran sembari bawa tentengan kue kaleng.

Tanpa bermaksud cerita panjang akan masa kecil penulis, begitulah gambaran kerukunan yang dialami penulis di kampung kami dengan mayoritas berpenduduk muslim, sementara jumlah jema’ah Gereja Bethel kala itu masih bisa dihitung jari. Kami hidup dalam suasana guyub tanpa ada sekat perbedaan aqidah agama.

Pengalaman masa lalu penulis sengaja disajikan mewakili suasana batin dimana akhir-akhir ini suasana guyub yang mengedepankan rasa toleransi itu seoalah menjadi barang mahal. Kabarnya, suasana kampung kami pun demikian, kehidupan antar umat beragama menjadi tidak berdampingan lagi tetapi semi “berhadapan”.

Usai lulus SMP (tahun 1996), penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung di kawasan pondok pesantren Cipasung Singaparna Tasikmalaya yang diasuh Alm. KH. Moh. Ilyas Ruhiat, mantan Rois’am PBNU. Belum lama sekolah disini, suatu ketika dalam suasana belajar mengajar tersebar kabar bahwa terjadi kerusuhan di Kota Tasikmalaya, sontak guru pun menghentikan pembeajaran dan mempersilahkan siswa pilang ke pondok.

Saking penasaran, penulis ditemani penduduk sekitar pondok berangkat ke Kota Tasikmalaya sekedar ingin memastikan tentang kabar yang beredar. Sesampainya dilokasi, penulis heran karena setiap toko dan rumah disana ditulisi kata “Muslim”. Bila teringat pengalaman itu rasanya merinding karena kala itu mata ini melihat bagaimana kepanikan etnis China yang mayoritas pemilik toko di kota Tasik meronta supaya bisa keluar dari kepungan masa yang kalap merusak & membakar semua yang mereka miliki.

Lebih dari itu, semua gereja disana tanpa terkecuali dibakar massa yang tersulut emosi karena isu SARA yang entah siapa yang menghembuskannya. Suasana ketir yang dihantui ketakutan itu memunculkan suasana traumatik bagi warga Tasikmalaya kala itu. Tanpa bermaksud ungkit masa kelam bulan Desember itu, isu SARA ternyata sangat gampang sulut emosi warga, bahkan yang tak paham pangkal persoalan sekalipun.

Gus Dur Sang Jembatan

Bila baca buku risalah sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta, 1998) bahwa adagium “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” menjadi bahan perdebatan pada rapat-rapat terkait penyusuna dasar negara, yakni Pancasila.

Perdebatan yang memancing emosi batin tentang adagium tadi boleh jadi sebagai sebuah ikhtiar para “founding father” (diantaranya KH. Wahid Hasyim) untuk mendapatkan kepastian& menghindari “penolakan publik” ketika Pancasila ini betul-betul disahkan menjadi asas negara dan mengandung muatan maslahah bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Bila menilik rangkuman substansi masalah yang dimufakati dalam BPUPKI-PPKI pada masa sidang 29 Mei-1 Juni 1945 muncul gagasan-gagasan dari anggota BPUPKI, antara lain: pertama, pidato Muhammad Yamin tanggal 29 Mei mengajukan saran dasar negara terdiri dari: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.

Kedua, pidato Ki Bagoes Hadikusoemo pada tanggal 31 Mei, beliau menyarankan Islam sebagai dasar negara, mengingat mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Ketiga, pidato Prof. Soepomo pada tanggal yang sama menyampaikan tiga teori negara yakni: teori perseorangan, teori golongan dan teori integralistik. Lebih dari itu beliau memandang tidak perlu ada jaminan hak-hak warga negara secara ekspilit dalam Undang-Undang Dasar.

Keempat, dalam pidatonya Ir. Soekarno tanggal 1 Juni, beliau menyarankan lima prinsip dasar negara yang disebutnya Pancasila. Terdiri dari kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan, perwakilan, kesejahteraan dan ketuhanan. Selain itu, Soekarno sempat menawarkan pilihan Trisila: socio-nasionalisme, socio democratie dan ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Bahkan belaiu pula menawarkan Ekasila, yakni gotong royong.

Munculnya adagium itu sebagai respon atas munculnya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam naskah rancangan Undang-Undang Dasar tanggal 22 Juni 1945. Perdebatan yang terjadi tidak lebih sebagai upaya menselaraskan alam perasaan dan alam pikiran para peletak dasar kebangsaan kita. Dimana satu sama lain memiliki tanggung jawab memberikan rasionalisasi kepada para “pengikutnya”.

Bila saat itu tidak ada “kepastian” dan kesepakatan diantara sembilan tokoh itu yang nota bene memiliki latar belakang SARA yang berbeda belum tentu kemerdekaan bangsa Indonesia ini tidak bisa diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nampak jelas bahwa ketetapan hati, perasaan dan pemikiran mereka melepas jauh egonya masing-masing.

Terlepas dari proses panjang histori itu, sebagai ahli waris pemikiran dan gerakan KH. Wahid Hasyim, Gus Dur hingga akhir hayatnya selalu berperan sebagai tokoh utama dalam membangun keseimbangan antara “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” sehingga terbangun harmonisasi diantara keduanya. Meski tak jarang beliau diluluki sebagai “kafir” oleh oknum faksi golongan Islam.

Cara Gus Dur membangun harmoni antara “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” dilakukan dengan cara penguatan pemahaman Islam Kebangsaan di tubuh NU dan berduet dengan KH. Moh. Ilyas Ruhiat yang menjabat sebagai Rois’am kala beliau menjabat Ketua Umum PBNU. Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, diinternal NU pun beliau seringkali mendapat “serangan” dari para kiayi.

 

Sumbu Pendek “Konflik”

Wajah agama seringkali bermuram durja karena seringkali dianggap sebagai pemicu benturan dan gesekan pada peradaban umat manusia, terlebih di Indoensia. Tak berlebihan kiranya bila Gus Dur ikhlas mengorbankan dirinya untuk menjadi “security” menjaga keseimbangan “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” supaya tidak saling bersinggungan.

Mengutip tulisan Syaiful Arif pada bukunya “Humanisme Gus Dur”, bahwa Gus Dur menjadikan Islam sebagai nilai etika sosial dalam kerangka merawat nilai kebangsaan, bukan lagi bersifat ideologis bahkan sekuralis. Nilai luhur inilah yang dijadikan pupuk organik merawat kesuburan tanaman bernama perdamaian berakar Pancasila.

Mari kita cermati pidato Gus Dur pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984: “Pancasila ditempatkan kaum muslim sebagai tatanan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslim. Ideologi konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, tidak akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan yang bertentangan dengan ajaran agama”. Paparnya.

Lebih dari itu, pandangan luhur Gus Dur terkait relasi simbiosis mutualisme antara Islam Pancasila mesti kita rawat. Dimana Pancasila bersumber pada nilai-nlai suci yang ada dalam agama. Tetapi, pada saat yang sama ideologi menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan agamanya. Walhasil, agama berperan memotivasi kegiatan individu melalui nilai yang tersari dalam Pancasila dan dituangkan dalam bentuk pandangan hidup berbangsa.

Pancasila yang sumber inspirasinya diambil dari nilai luhur Islam rupanya tidak instan dan ujug-ujug terlebih para perumusnya mayoritas beragama Islam. Ada KH. Wahid Hasyim, Muhammad Yamin, Ki Bagoes Hadikusoemo, Soekarno dan lainnya sehingga nampak jelas bahwa nilai Islam menjadi sentral dalam kerangka rumusan Pancasila.

Meskipun begitu, pergolakan pemikiran dan perasaan itu terus menerus “menghantui” ancaman terhadap keutuhan bangsa ini yan telah diikat kuat oleh tali Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Akhir-akhir ini adagium “Golongan Islam dan Golongan Kebangsaan” kembali dihembuskan oleh para pihak yang tidak sudi bangsa ini dipayungi rasa damai. Sumbu pendek yang ada padanya bila sewaktu-waktu disulut akan meledak meluluhlantahkan bangunan persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Dengan perkembangan zaman yang sudah tiada lagi sekat antara ruang dan waktu, informasi semakin cepat bisa tersebar adalah modal utama para pengabdi kebencian, adu domba, fitnah dan lainnya untuk menyulut sumbu pendek konflik “Golongan Islam & Golongan Kebangsaan.

Selain bulan Gus Dur, bulan desember dikenal sebagai bulan isu teror bom gereja terlebih jelang perayaan natal. Tentu menjadi trauma tersendiri bagi umat yang akan merayakannnya. Betapa tidak, isu itu menghantui ketakutan dan menenggelamkan rasa aman dan damai. Layaknya ungkapan Gus Dur: “Islam hendaknya hadir sebagai pembawa kedamaian dan kasih sayang manusia dan alam dalam kehidupan kita”.

Sebaliknya, bila umat Islam berperan sebagai aktor bom bunuh diri, menyimpan bom dalam tas atau kardus, menebat “teror” kebencian, fitnah dan adu domba pada waktu yang sama ia telah ingkar atas nilai luhur rahmatan lil “alaminyang Nabi Muhammad SAW wariskan.

Tulisan ini dikirim oleh Usep Saeful Kamal, (Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI)

Tags : Gus Dur , Islam , Kebangsaan

Berita Terkait