Cak Imin Pembela Petani

| Senin, 22/01/2018 20:50 WIB
Cak Imin Pembela Petani Ketum DPP PKB A. Muhaimin Iskandar saat memberikan saat memberikan sambutan di Akpolbang PKB, Jakarta 5/1/17 (foto: Ahmad Labieb)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Awal tahun 2018 ini suasana batin masyarakat kita dibuat down disebabkan berita heboh impor beras. Tak tanggung-tanggung pemerintah melalui Kementerian Perdagangan akan impor 500.000 ton beras untuk memenuhi kebutuhan beras nasioanal.

Yang aneh, wacana impor beras itu justru akan dilakukan oleh pihak Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) bukan oleh Bulog yang selama ini berkewenangan penuh dengan tata kelola pangan di negeri ini. Perusahaan Persero itu dipilih katanya supaya tidak muncul masalah.

Pertanyaannya, bila selama ini pemerintah selalu menggunakan jasa Bulog untuk urusan impor beras tiba-tiba muncul nama PPI seperti yang Pak Enggar (Mendag) sebut. Nampak betul tidak ada sinergi diantara lembaga negara kepanjangan Presiden itu.

Lepas dari persoalan impor beras itu, masyarakat lagi-lagi dirugikan atas rencana diterapkannya kebijakan pemerintah itu. Betapa awal tahun 2018 ini harga beras dipasaran kembali melambung sejak akhir tahun 2017.

Contoh kecil, beras dengan berat 10 Kg yang biasa penulis beli semula harga Rp. 115.000,- kini harganya menjadi Rp. 135.000,-. Artinya, kenaikannya hingga Rp. 20.000. Beras dengan harga itu penulis beli di agen beras, di toko beras eceran malah bisa lebih dari Rp. 140.000,-

Klise rupanya, setiap kali melambungnya harga suatu produk pangan di pasaran hampir dipastikan bahwa akan terjadi impor, beras salah satu faktanya. Pada saat yang sama pemerintah selalu memakai dalih “kelangkaan”.

Sontak rencana impor beras itu memunculkan reaksi dari penolakan dari berbagai kalangan, DPR salah satunya. Padahal tahun 2017 pemerintah melalui Menteri Pertanian mengklaim ketersediaan beras kita surplus, bahkan bisa ekspor.

Citra surplus itu rupanya hanya bertahan satu tahun ketika tanpa ada hujan dan angin tiba-tiba Menteri Perdagangan melalui sebuah konfrensi pers akan impor beras dan beri kewenangan kepada PPI.

Fakta itu sungguh bertolak belakang dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang mengklaim bahwa Indonesia hari ini alami peningkatan produksi beras seiring dengan ada penambahan luas sawah, pembangunan irigasi tersier, dan normalisasi saluran irigasi dan embung, serta pembagian bibit unggul.

Lantas, siapa sebetulnya yang “diuntungkan” atas impor beras 500.000 ton dari Thailand dan Vietnam ini. Padahal stok beras kita menurut Bulog masih aman seperti yang diungkapkan Dirut Bulog pada Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR RI baru-baru ini.

Tak berlebihan bila impor beras ini ditolak, selain DPR petanilah yang menolak keras rencana pemerintah itu. Betapa tidak, disaat mereka menghadapi panen raya justeru wacana impor ini muncul. Padahal panen raya ini diandalkan mereka sebagai momentum memanen rupiah.

Apapun alasannya, impor beras sungguh tidak menunjukkan kepribadian nyata Indonesia sebagai negeri agraris. Selain “membunuh” jutaan petani, impor beras ini hanya “menguntungkan” segelintir pemilik modal yang berkelindan dengan penguasa.

Harus Dimuliakan

Masih ingatkah kampanye Jokowi – JK tahun 2014 lalu? Bila terpilih, beliau berdua mengaku akan menghentikan kebijakan impor pangan. Dengan potensi kekayaan alam berlimpah yang dimiliki dengan tanah yang subur ini seharusnya Indonesia harus jadi negara pengekspor.

Lemayan, tahun 2017 terbukti pemerintahan Jokowi – JK berani stop impor produk pangan, seperti beras, daging, kedelai, sayuran, buah, ikan dan lainnya. Citra positif ini sedikit terganggu dengan rencana impor beras di awal tahun 2018 ini.

Penulis kira, citra positif pemerintahan Jokowi – JK sebagai anti impor harus dipertahankan. Menghentikanimpor produk pangan memiliki tujuan mulia, diantaranya untuk memicu agar para petani lebih semangat melakukan produksi.

Bayangkan, kita petani kita sedang di titik klimaks dalam berjerih payah memproduksi produk pertaniannya, tiba-tiba ada impor. Bagai disampar petir di siang hari bolong, pameo itu rupanya yang relevan kondisi itu.

Jangan melulu mengkambinghitamkan masyarakat bila regenerasi petani di Indonesia saat ini tidak terjadi di Indonesia. Karena pemerintah tidak bisa “sambung rasa” petani terhadap nasibnya yang seringkali menjadi korban kebijakan pemerintah sendiri. Wajar bila ia tidak mewarisi profesi itu kepada keturunannya yang tak bisa diandalkan menjadi manusia “kaya”

‘Ala kulli hal, importasi produk pangan hanya akan membuat petani malas berproduksi, tidak lebih. Bila ada pihak yang ngomong bahwa kebijakan impor itu untuk mengangkat kesejahteraan petani, hampir dipastikan ia sedang terjangkiti penyakit “gila”.

Sudah saatnya petani menjadi penentu kebijakan pemerintah, bukan selalu menjadi korban kebijakan pemerintah. Kecuali bila kita selalu menjadi penikmat “tuan rumah di negeri sendiri” sebagai negeri subur, agraris. Kuncinya, petani harus dimuliakan.

Bila pemerintahan Jokowi – JK ingin mengalami masa indah diakhir masa jabatannya, tunjukan bahwa Jokowi – JK mampu menjadi komandan dalam memberangus mafia-mafia pangan seperti daging, beras, hingga minyak yang membuat pemerintah harus melakukan impor. Karena merekalah “kacung”-nya.

Mafhum muhkolafah (pemahaman terbaliknya), bila masih ada orang-orang di lingkaran pemerintahan Jokowi – JK, bahkan menteri-menterinya yang masih berkelin dan dengan mafia-mafia itu bersiaplah “diamuk” masa pendukungnya.

Momentum baik mulai awal tahun 2018 ini hendaknya diteruskan oleh pemerintahan Jokowi – JK dengan tapa bermaksud hanya menaikkan citra postifnya paling tidak hingga akhir masa jabatannya. Citra positif yang dimaksud adalah “melenyapkan” kata impor, khusunya untuk produk pangan kita.

Penulis kira, salah satu jalan ikhtiar (political will)pemerintahan Jokowi – JK dalam konteks memuliak petani diantaranya menekankan kepada para menteri terkaitnya untuk senantiasa memanfaatkan produksi dalam negeri.

Lebih dari itu, teta kelola produk pangan kita mulai dari hulu hingga ke hilir betul-betul dibenahi. Sehingga distribusi produk pangan kita terdistribusi merata ke seluruh pelosok Indonesia, tidak menumpuk di satu kawasan. Alasan ketimpangan inilah yang tak jarang dijadikan senjata pemerintah untuk melakukan impor.

Pembela Petani

Nampak jelas suara lantang Muhaimin Iskandar (Cak Imin) merespon wacana impor 500.000 ton beras oleh Kementerian Perdagangan baru-baru ini. Bahkan beliau mengistilahkan importasi ini sebagai “pukulan” bagi petani”.

Diksi itu beliau pilih sebagai upaya pembelaan terhadap petani yang alami “pendholiman” oleh pemerintah terkait rencana impor beras itu. Seperti pembelaan terhadap nelayan, beliau selalu terdepan dalam membela kaum mustadafien (tertindas), dalam hal ini kaum petani.

Sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dimana mayoritas konstituennya adalah petani beliau sungguh menjalankan amanat konstitusi PKB yang tujuannya membela kaum terpinggirkan dan termarjinalkan.

Sebagai pribadi, beliau sangat peka terkait persoalan-persoalan ditengah masyarakat yang nampaknya remeh temeh, tetapi berdampak luar biasa pada terganggunya sendi-sendi kehdupan sosial. Meski tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai “pencitraan”.

Upaya pembelaan terhadap petani, diantaranya beliau instruksikan kepada penggawanya di Komisi IV DPR RI yang membidangi pangan untuk sekuat tenaga menolak rencana impor beras itu. Nampak betul ketika RDP antara pihak stakeholder pangan dengan Komisi IV DPR RI baru-baru ini anggota Fraksi PKB yang ada di dalamnya lantang melakukan penolakan.

Bahkan selama ini, anggota Fraksi PKB di Komisi IV lantang menyuarakan supaya tata kelola produksi pertanian kita berada dalam satu pintu tidak “bercecer” ke beberapa institusi. Efek negatifnya ada kesan ego sentris stakeholder pangan kita hanya berpihak kepada “mafia”, bukan petani sebagai basis utama pelaku produktifitas pangan kita.

Tak berlebihan bila belakangan ini Fraksi PKB DPR RI dan kantor DPP PKB sibuk menerima rombongan petani dari berbagai daerah dengan basis komiditas pertanian yang berbeda sekedar untuk “curhat” dan dibela terkait kebijakan pemerintah yang mengkerdilkannya. Petani tembakau contohnya.

Salah satu iktiar lain Cak Imin dalam membela petani adalah suara lantangnya terhadap Badan Usaha Logistik (Bulog) sudah melenceng dari fungsinya sebagai penopang kesejahteraan petani. Padahal di era orde baru Bulog menjadi “pemecah masalah” petani.

Tak berlebihan bila beliau pernah unkapkan: "saya punya ultimatum untuk Bulog, kalau tidak berfungsi bubarkan saja daripada membebani biaya negara”. Kalimat itu beliau ungkapkan sebagai wujud keberpihakannya dan keinginan kuatnya saksikan petani kita makmur kehidupan ekonominya.

Bukan tanpa alasan, unkapan tadi sebagai “pangeling” beliau terhadap Bulog bahwa tantangan yang dihadapi terkait produktivitas petani saat ini adalah bagaimanana Bulog bisa menangani pemasaran produk-produk pertanian, membeli komoditas pertanian dengan harga layak ketika petani mengalami kesulitan biaya produksi.

Seperti kita ketahui bersama, dahulu Bulog sempat menjadi andalan petani. Bulog menopang distribusi dan penyangga pangan para petani agar produktivitasnya terjaga serta harga komoditas hasil tani kompetitif. Meski belakangan tak luput dari kasus korupsi.

Larut dalam batin kesulitan petani yang lahannya semakin terbatas, kesuburan tanah yang semakin tidak bagus, infrastruktur yang tidak memadai, daya saing rendah, tata niaga kacau hingga “penguasa” yang tak berpihak. Cak Imin Pembela Petani! 

Oleh: Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI, Ketua Departemen DPN Gerbang Tani, Sekretaris Garda Hijau DKN Garda Bangsa

Tags : Cak Imin , Petani , Impor , Beras

Berita Terkait