Cak Imin Sang Perenda Kebinekaan

| Minggu, 28/01/2018 17:28 WIB
Cak Imin Sang Perenda Kebinekaan Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin). (Dok PKB)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dinyatakan sebagai tokoh muslim yang elektabilitasnya paling tinggi sebagai Cawapres 2019 berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Kabar itu tentu membuat penulis bangga terhadap Sang Pemimpin.

Sebagai santri, penulis atau bahkan jutaan santri lainnya menaruh optimisme pada sosok Cak Imin. Selain seorang santri, beliau adalah trah dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Bisri Syamsuri yang juga kakek Gus Dur. Hasil survei itu membuktikan bahwa pemikiran, pergerakan, dan konsistensi beliau merawat dan memperjuangkan warisan leluhurnya selama ini tak melulu diterima oleh kalangan muslim. Pun kalangan minoritas negeri ini mengakui sapaan dan rangkulan beliau.

Fakta tersebut menegaskan bahwa negeri ini butuh figur selincah Cak Imin yang tak pernah henti merenda simpul benang kebinekaan. Penulis kira, ikhtiar beliau siang malam menjalankan amanat leluhurnya dan Gus Dur sebagai maha gurunya sungguh bukan perkara mudah.
Bersinggungan dengan lintas iman artinya siap dicerca, dihina, bahkan di sebut kafir oleh tokoh-tokoh yang anti pluralisme, kebinekaan. Bila tidak miliki mental baja dan kenekadan menjalaninya, bersiaplah negeri ini dikoyak oleh ideologi “caci maki” yang mengancam keutuhan NKRI.
Layaknya Gus Dur, Cak Imin selalu mengunakan senjata “merangkul” kepada para pihak yang tidak sejalan dengan ikhtiarnya. Sekedar contoh, Ustad Bachtiar Nasir yang dianggap sponsor anti NKRI dan cenderung konroversial dan “dimusuhi” negara, Cak Imin datang menyapa dan mencairkan kebekuan keadaan.

Contoh berikutnya, Ustad Abdul Somad yang sama-sama dianggap sponsor HTI yang anti NKRI itu dihujat oleh pecinta nasionalisme bangsa. Ketika ia dianggap ancaman negeri, Cak Iminlah yang bersedia bercurah pendapat dengannya, bukan menjauhinya. Tak heran bila Cak Imin dan Ustad Bachtiar Nasit serta Ustad Abdul Somad sekarang nampak bersahabat. Bahkan tak jarang keduanya diajak satu panggung dengan Cak Imin ditengah aktifitasnya merenda benang kebinekaan itu.

Ditengah gempuran ideologi transnasional yang cenderung memunculkan citra negatif terhadap Islam, Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia wajib mentransfer nilai luhur Islam sebagai agama damai keseluruh penjuru dunia. Sehingga citra negatif terhadap Islam bisa terbantahkan dari negeri ini.

Sosok santri yang moderat seperti Cak Imin seolah menyimpan harapan tersendiri dikalangannya. Wajar jika beliau dinobatkan sebagai Panglima Santri sebagai pemegang komando kaum santri yang selalu dikesankan “terbelakang” dan “kolot. Begitupun halnya bagi penulis, Cak Imin adalah inspirasi. Pergaulannnya luas Cak Imin layaknya Gus Dur yang selalu menembus sekat-sekat perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) menjadi energi tersendiri utuk merawat kebinekaan ini. Meskipun diluar sana SARA seringkali dijadikan isu utama bagi mereka yang “birahi” kekuasaanya tak bisa kendur.

Humanis Religius
“Agama tidak pernah memerintahkan kekerasan, agama justeru memerintahkan perdamaian dan kedamaian”. Ungkapan Cak Imin ini menjadi kalimat yang ditulis melalui sebuah meme yang tersebar di media sosial tempo hari.

Atasnya, Islam diharapkan mampu menawarkan nilai-nilai, norma-norma dan aturan hidup yang manusiawi dan universal. Lebih dari itu, mampu memberikan alternatif-alternatif solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi ditengah masyarakat sehingga terbangun harmoni. Islam sungguh menjaga hak dan kebebasan, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama dan madzhabnya, ia tidak bisa dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama dan madzhab lain.

Agama (Islam) sebagai kasih bagi semesta dan seisinya seringkali tak luput dari upaya-upaya para pihak yang tertutup mata batinnya dengan menebar fitnah, kebencian, kedengkian dan lainnya. Karenanya, tak jarang bila Islam demikian memunculkan citra negatif bagi agama lain.
Esensi Islam menjadi hilang disebabkan oleh pemahamannya yang cenderung formalistik simbolik sehingga terpental dari fitrah sucinya sebagai sumber etika sosial. Sikap merasa diri paling benar (ekslusif) adalah salah satu sebabnya.

Sikap demikian akhir-akhir ini menggejala pada masyarakat Indonesia dan jangkiti sikap keberagamaan beberapa kelompok Islam dengan corak pemahamannya yang katanya kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Betapa mudahnya orang berpekik “Allahu Akbar” dengan lantang dan emosional dalam sebuh kerumunan masa. Padahal, pada saat yang sama ia justeru melukai perasaan orang lain dan tanpa disadari ia sedang “menelanjangi” keimanannya terhadap Allah yang ia agungkan.

Hal ini tidak berlaku bagi Cak Imin sebagai santri utama Gus Dur. Nilai yang ia kedepankan adalah sisi humanisnya, karena dengannya pergaulan hidup dengan siapapun akan lebih baik. Sekat SARA seperti diawal dibahas sudah tak berlaku lagi. Begitulah cara beliau memuliakan sesama manusia.

Humanisme Gus Dur yang diwariskan kepada Cak Imin bukanlah humanisme barat yang cenderung sekuler yang lahir dari kritik atas hegemoni agama. Humanisme Cak Imin adalah sebuah prinsip kemanusiaan yang dilandasi oleh nilai luhur Islam.

Bagi Cak Imin keyakinan seorang muslim yang memahami tugas kemanusiaan, dalam waktu bersamaan ia sedang menjalankan tugas ketuhanan. Spirit ini rupanya yang membuat beliau tak henti-henti memuliakan harkat martabat manusia dengan berbagai cara dan motif ikhtiar.
Dalam salah satu bukunya beliau berpandangan: “Agama tidak bisa dipisahkan dari budaya penganutnya yang sudah barang tentu memiliki keunikannya sendiri. Corak Islam di jazirah Arab tak bisa diterapkan masyarakat Islam di nusantara”. (Kontekstualisasi Demokrasi di Indonesia, 2017).

Islam tidak mungkin dihadirkan dengan sikap ekslusif, menyendiri diluar konteks sejarah budaya. Sehingga ia menunjukkan ketertutupan pemikiran keagamaan dan mencerabut keagungan ajaran Islam itu sendiri. Sikap ekslusif dengan menganggap diri paling segalanya akhir-akhir ini seolah menjadi lifestyle ditengah masyarakat seiring ketertutupan spiritualitas ditambah cepatnya arus informasi hingga sampai ke genggaman gadgetnya.

Moderat Sejati
Figur Cak Imin yang relatif diterima berbagai kalangan adalah buah dari pemikiran dan sikapnya yang mengedepankan jalan pertengahan (moderat) atau santri menyebutnya tawasuth. Nilai ini diambil sebagai bandul untuk menjaga keseimbangan dua kutub perbedaan cara pandang dalam kehidupan keagamaan.

Sebagai santri, prinsip khoirul umuri awsathuha, sebaik-baiknya urusan adalah yang pertengahan. Hadits ini yang Cak Imin amalkan dalam kesehariannya. Beliau yakin, berada ditengah lebih “nyaman” karena bisa “ngelak” dari dari celaaan yang biasanya mengenai bagian ujung.
Walhasil, antara pemikiran, interaksi dan prilaku beliau selalu didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan prilaku yang dipastikan bersinggungan. Suka tidak suka kecerdasan ini yang diakui oleh siapapun yang mengenalnya.

Bibit pemikiran dan prilaku moderat Cak Imin yang disemai di pondok pesantren ditenggarai sebagai karakter yang melekar terhadapnya. Betapa tidak, peantren mengajarkan sikap jalan tengah sehingga ia menyediakan ruang yang sangat luas dan terbuka terhadap perbedaan suatu pandangan.

Lebih dari itu, pesantren menyediakan ruang yang luas pula untuk kepentingan manusia, istilah santrinya mashlahatul ammah. Sebagai wujud transformasi atas nilai agama yang sejatinya diturunkan untuk kepentingan dan kemudahan hidup manusia.

Penulis kira, tradisi pesantren selalu diarahkan pada bagaimana menjadikan syari’at sebagai jalan untuk mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya. Tidak untuk menjadikan agama sebagai alat untuk melindungi kepentingan kelompok sehingga ia terjebak pada klaim-klain yang digenggamnya.
Sebagai durriyah (keturunan) dari salah satu pendiri NU, sikap egaliter Cak Imin tak diragukan. Sangat jarang ia bersikap “sensasional” apalagi hanya sekedar nyari popularitas dengan memanfaatkan isu tertentu, apalagi memakai isu agama.

Sebaliknya, melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ia nahkodai, beliau selalu intruksikan dan mewanti-wanti kepada kadernya untuk senantiasa mengedepankan sikap moderat dilevel masyarakat manapun.

Lebih dari itu, buah dari instruksi sikap moderat beliau terhadap kadernya PKB dikenal sebagai pemecah masalah ketika politik diparlemen maupun dipemerintahan alami kebuntuan. Juru damai, ya PKB! Begitulah kira-kira guyonannya. Seolah sudah menjadi jaminan bila PKB yang mengawali atau PKB yang menjadi “juru damai” maka kelompok lain akan menerima dengan senang hari. Realitas inilah yang mendorong figur Cak Imin dapat diterima semua kalangan kepentingan.

Selain itu, diterima PKB dan Cak Imin disemua kalangan tidak terlepas dari sifat moderat, toleran dan transformatif NU sebagai ibu kandung PKB. Pandangan kemasyarakatan yang tidak hitam putih menegaskan setali mata uang PKB, Cak Imin dan NU.

Sekali lagi, bahwa sikap penghormatan Cak Imin terhadap pendapat atau keyakinan orang lain baik yang seagama maupun yang berbeda agama adalah wujud sifat moderatnya yang diwarisi pesantren, leluhur dan gurunya. Wallahu’alam bi showab

Penulis Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI, Ketua Departemen DPN Gerbang Tani, Sekretaris Garda Hijau DKN Garda Bangsa

Tags : Cak Imin , Cawapres 2019

Berita Terkait