Kiai, Pondok Pesantren dan Pabrik Gula

| Kamis, 01/02/2018 09:45 WIB
Kiai, Pondok Pesantren dan Pabrik Gula Seorang siswa Madrasah Aliyah di Malang melintas di depan pabrik gula milik pemerintah (Foto: wordpresscom)

PONDOK pesantren adalah basis utama pendidikan agama di tengah masyarakat. Data Kementerian Agama menyebutkan ada sekira 13 ribu pesantren tersebar di seluruh penjuru nusantara.

Namun diantara beberapa pesantren terdapat khazanah klasik yang menarik untuk dikaji. Yakni keberadaannya yang berdekatan dengan pabrik gula.

Ambil contoh seperti Pondok Tebuireng kokoh berdiri menantang Pabrik Gula Tjoekir, Ponpes Denanyar tak jauh dari PG Djombang Baru, Ponpes Lirboyo tak jauh dari PG Pesantren Baru, Ponpes Zainul Hasan Genggong tak jauh dari PG Padjarakan.

Lalu ada juga Ponpes Salafiyah Syafiiyah berdekatan dengan PG Asembagoes, Ponpes Assuniyah Kencong Jember berdekatan dengan PG Gunungsari, dan Ponpes Annur Bululawang Malang juga tak jauh dari PG Krebet.

Tentu keberadaan pesantren tersebut tidak diinisiasi tanpa pertimbangan dan alasan khusus. Ada sejumlah literatur yang menyebut para Kiai mendirikan pesantren dilokasi-lokasi itu berdasarkan misi dan visi yang besar.

Para Kiai semisal KH Syamsul Arifin, pendiri Ponpes Salafiyah Syafi`iyah Situbondo, KH Hasyim Asy`ari Tebuireng dan lainnya sudah mengetahui dampak negatif dari pembangunan pabrik gula fenomenal itu.

Dari guratan sejarah, gula menjadi salah satu basis industri andalan kolonial Belanda pasca (hampir) bangkrutnya mereka akibat Perang Jawa, Perang Padri, dan Perang Aceh.

Jadi tak heran jika pada dua dasawarsa sebelum pergantian abad XIX ke XX, mereka membangun pabrik gula diberbagai daerah, terutama di basis penghasil tebu.

Para bangsawan Jawa, misalnya, dengan ceroboh banyak yang menyewakan tanah-tanah leluhurnya untuk kepentingan industri gula, teh, kakao, dan kopi yang dikelola pengusaha Eropa.

Mengenai kejamnya sistem kapitalis yang disokong feodalisme konyol ini bisa dibaca dalam novel “Max Havelaar”-nya Multatuli.

Pabrik-pabrik tersebut menjadi mesin yang menggelembungkan kantong bangsawan Belanda dan sebaliknya mengeringkan keringat kaum pribumi.

Mangkunegoro IV, tercatat sebagai salah satu raja Jawa terkaya, yang turut mendirikan beberapa pabrik gula untuk menopang ekonomi keraton, seperti PG Colomadu dan PG Tasikmadu.

Berdirinya pabrik gula di beberapa daerah juga diiringi dengan berdirinya permukiman warga yang tak hanya dari wilayah itu, banyak diantara mereka juga pendatang alias kaum urban.

Adanya permukiman alias tangsi bagi buruh pabrik yang berasal dari luar daerah juga diiringi dengan tumbuhnya bisnis haram seperti perjudian, penjaja minuman keras, hingga prostitusi terselubung tak jauh dari pabrik tersebut.

Nah, dari sini nampak peran para alim ulama nusantara. Alih alih para kiai mencaci maki, demo, atau bahkan membakar tempat haram itu, dengan cerdas dan bijak mereka justru menyalakan pelita di tempat gelap ini.

Mereka mendirikan pesantren-pesantren legendaris tak jauh dari pabrik gula. Tujuannya tak lain untuk menyematkan kedamaian, kemaslahatan dan akhlak uluhiyah bagi warga setempat.

Para Kiai tak peduli cibiran, hasutan, bahkan ancaman yang kerap dilontarkan oleh preman atau penguasa di lokasi tersebut. Justru para Kiai istiqomah ajarkan kebaikan, pelan-pelan dakwahkan Islam rahmatan lil ‘alamin, hingga mereka luluh dan menjauhi praktik haram tersebut.

Untuk para Kiai dan alim ulama nusantara, al-Fātihah.

 

REDAKSI

Tags : Pondok Pesantren , Ayo Mondok

Berita Terkait