Jiwa Santri Cak Imin dan Tabiat Pendidikan Kita

| Kamis, 08/02/2018 20:01 WIB
Jiwa Santri Cak Imin dan Tabiat Pendidikan Kita Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyampaikan sambutan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Ciganjur, Jakarta Selatan. (Dok PKB)

 

RADARBANGSA.COM - Beberapa hari yang lalu, publik dikagetkan dengan berita meninggalnya seorang guru pada salah satu SMA di Sampang Madura. Kaget, karena guru itu tewas akibat ulah tak bermoral muridnya sendiri.

Miris memang, betapa seorang guru yang mestinya digugu dan ditiru malam menjadi bulan-bulanan pukulan sang murid yang dihujamkan kepadanya. Apalagi kasus itu berawal dari teguran sang guru kepada muridnya yang membuat gaduh suasana pembelajaran.

Tak lama berselang, publik kembali dibuat geram akibat ulah seorang murid yang menantang duel gurunya. Kabar yang beredar melalui video dan viral di media sosial itu terjadi pada sebuah sekolah yang belakangan diketahui terjadi di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ma’arif Krenceng, Kecamatan Kejobong, Purbalingga, Jawa Tengah.

Berbeda dengan kasus pertama, kasus kedua ini bermula atas pengaduan masyarakat terkait siswa bersangkutan yang sering bolos sekolah. Karena tak terima, saat emosinya memuncak, sang siswa menanggalkan bajunya dan lagsung ajak duel gurunya.

Ditengahgencarnya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan yang dibarengi dengan gelontoran APBN kita untuk sektor pendidikan, ternyata celah kasus model demikian masih saja menganga. Inilah bagian dari refleksi atas kedua kasus yang bikin heboh dunia pendidikan kita itu.

Kedua kasus itu tak ayal membuat pilu bangsa ini yang sedang tak henti-hentinya menangkis berbagai gempuran yang mengancam masa depan generasi muda kita. Mulai dari narkoba, radikalisme, terorisme, dan lainnya. Apapun alasannya, prilaku kekerasan itu tak dibenarkan.

‘Revolusi Mental’ yang digadang-gadang pemerintah Jokowi – JK bak kena batu sandungan atas kasus itu. Pendidikan karakter di sekolah saja rupanya belum cukup karena mesti ditopang oleh pendidikan di luar sekolah baik di rumah melalui orang tua maupun lingkungan.

Tak elok juga bila kita melulu “menghakimi” si murid pada kedua kasus itu. Boleh jadi di sekolah dia diajarkan sikap hormat dan anti kekerasan tetapi di rumah atau di lingkungan dia selalu melihat praktik kekerasan.

Lebih-lebih di era digital sekarang ini, anak-anak tanpa sekat ruang dan waktu bisa dengan leluasa mengakses visualisasi kekerasan di genggamannya sendiri melalui gadgetnya. Ditambah tayangan televisi yang seringkali jauh dari pesan edukasi.

Diakui atau tidak, kondisi ini sangat berpotensi membuat anak menjadi pelaku kekerasan. Atas fakta itu, penulis tak jarang dampingi anak saat nonton televisi sebagai upaya menutup ruang praktek kekerasan yang merasuki imajinasinya.

Sebagai orang yang pernah alami menjadi tenaga pendidik, penulis rasakan betul dilema di saat sedang jalani proses mengajar pada siswa. Sebuah teguran saja bisa tersangkut pelanggaran terhadap UU Perlindungan Anak, tidak sedikit guru yang tersangkut masalah hukum meski sekedar memberi sanksi disiplin.

Penanaman pendidikan karakter pada siswa memang tak semudah membalikkan telapak tangan, butuh keluwesan, keuletan, kesabaran ditambah keikhlasan. Bila aras ini hilang, bersiaplah kita menikmati potret buram pendidikan kita yang terus berulang.

Tabiat Suci Pendidikan

Proses dan suasana pendidikan tentu membawa pengaruh pada perkembangan potensi insani. Potensi insani (human potencial)yang penulis maksud beraneka ragam, diantaranya: kecerdasan (intelligence) dan daya inovasi, pengaruhnya sangat besar dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang di tengah-tengah masyarakat.

Lebih dari itu, supaya terbentuk individu yang ”structured persons”, yang mampu tampil prima dalam situasi dan kondisi apapun. Hal inilah yang penulis maksud sebagai model pendidikan yang transformatif. Tidak sekedal formalisme, tapi substansial.

Di samping itu, akhlak mulia atau budi pekerti luhur mesti dijadikan fondasi yang mengacu pada titik keseimbangan interaktif antara dimensi material dan spiritual. Yang secara natural manusia diciptakan dengan fitrahnya demikian.

Berawal dari dimensi spiritual yang senantiasa menjadi ruh atas nilai-nilai yang memberikan daya hidup, support motorik secara kolektif secara dinamis dan kemudian bisa membentuk individu-individu berakrakter.

Akhlak (moral) sebagai kata benda berarti berhubungan dengan prinsip baik dan buruk yang ditarik dari satu cerita, kisah atau pengalaman. Misalnya, moral dari cerita ini adalah bahwa seorang siswa sebaiknya tidak melawan kepada gurunya.

Dengan kata lain akhlak berarti perangai, tabiat, tingkah laku, adat (kebiasaan). Perangai tadi butuh dilatih supaya menjadi sikap, atau agar terbiasa siap dan rela berkorban sesuai dengan keyakinan, pendapat atau keyakinan yang tersembunyi dalam jiwanya, serta sesuai pula dengan apa yang diharapkan.

Proses tadi bisa diwujudkan melalui pendidikan. Di mana pendidikan menjadi usaha yang dilakukan secara sadar dalam penciptaan masyarakat yang beradab berdasarkan nilai-nilai agama. Dengan kata lain, agama kemudian tidak lagi hanya di jadikan simbol, tapi benar-benar dipraksiskan.

Atasnya, tabiat suci pendidikan menjadi alat rekayasa sosial yang bisa menentukan perubahan maju mundurnya kehidupan masyarakat kita di masa yang akan datang. Sehingga prilaku KKN, kejahatan, kekerasan, diskriminasi dan lain sebagainya paling tidak bisa dicegah. 

Atas dasar itu penulis kira ada tiga hal yang sangat kritis yang akan mempengaruhi keberhasilan perubahan ini, antara lain: Pertama, Perubahan cara pandang (mind-set) dan komitmen sumberdaya. Perubahan cara pandang diarahkan dari pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia menjadi pendidikan untuk pengembangan manusia seutuhnya.

Kedua, kualitas dan penghargaan terhadap guru. Transformasi pendidikan memerlukan investasi besar-besaran dalam meningkatkan mutu para guru, dan pemberian penghargaan yang pantas bagi para guru. Di samping itu, menghargai kinerja mereka dalam bentuk meningkatkan kesejahteraannya menjadi salah satu indikator penting.

Ketiga, perubahan sistem manajemen. Manajemen pendidikan yang sangat didominasi oleh para birokrat merupakan salah satu hambatan besar dalam perubahan. Cengkraman birokrasi yang lebih mengutamakan kepatuhan diatas kreativitas dan prestasi perlu dicairkan dengan meningkatkan peran masyarakat, pendidik dan orang tua dalam manajemen pendidikan di sekolah-sekolah.

Jiwa Santri

Bersyukur tiada hingga penulis pernah mengalami masa-masa pendidikan di pondok pesantren. Atas pembelajaran yang didapatkan, pesantren memberikan solusi dalam pembentukan karakter santri, termasuk penulis.

Penulis kira, santri tak melulu sebuah kata panggilan yang disematkan kepada orang yang tinggal di pesantren. Bahkan, tak jarang santri diidentikkan dengan sarung, dengan peci, kitab kuning yang menjadi referensi pembeajaran dan lainnya.

Lebih dari itu, penulis kira makna santri tidaklah sesempit itu. Santri merupakan karakter melekat kepada seseorang yang memiliki kesungguhan melakukan perubahan dan menebar manfaatbagi dirinya, keluarga, lingkungan dan masyarakat lebih luas.

Diantara karakter khas santri, melekat pada dirinya prilaku yang dibentuk oleh para kiayinya, yakni: ta’adhu`(rendah hati), wara’(berhati-hati), akhlaqul kariimah (akhlaq mulia), berjiwa patriot (berani), mengamalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan lainnya.

Elemen-elemen itulah yang menjadikan santri mampu tampil di masyarakat untuk memberikan solusi konkrit sebagai seorang pemimpin agen perubahan. Karakter ini kontras betul dengan pribadi H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai trah kiayi pendiri NU.

Sebagai inisiator Hari Santri Nasional, beliau sadar betul bahwa jiwa seorang santri berperan kunci dalam merebut kemerdekaan negeri ini. Mulai dari kakeknya KH. Bisri Sansyuri, KH. Hasyim Asy’ari (yang kemudian diberi gelar Pahlwan Kemerdekaan Nasional) dan kiayi pejuang NU lainnya.

Tidak berlebihan kiranya bila Cak Imin dinobatkan sebagai Panglima Santri, menjadi simbol santri zaman now, beliau memiliki mental baja dalam mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai warisan pendahulunya ditengah tantangan yang semakin rumit mulai dari terorisme, narkoba dan perang tak bersudut berbasis kemajuan teknologi.

Sebagai pribadi berjiwa santri, nampak betul sikap rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh dan akhlaq mulia lainnya yang dipraktekkan beliau dalam kesehariannya. Terlebih bila berhadapan dengan para guru, kiayi dan masyayikh.

Tak heran bila beliau nampak sedih mendapati kasus meninggalnya guru oleh siswa seperti yang dibahas diawal tadi. Menurutnya, pengendalian diri adalah pelajaran pokok bagi seorang santri, pelajaran model ini hanya bisa didapat di pondok pesantren.

Pondok pesantren merupakan kawah candradimuka yang menggabungkan pendidikan agama dan pembangunan karakter sehingga masih bisa diandalkan untuk menanggkal anak kita aman dari narkoba, tawuran, kekerasan, pergaulan bebas, hedonisme, dan lainnya.

Sebagai politisi santri, beliau telah mengambil peran yang nyata dalam melakukan perbaikan dan kemajuan negeri ini. Yang tak kalah penting, beliau tidak pernah melepas citra dirinya sebagai santri dalam luasnya pergaulan dengan siapapun, berlatarbelakang apapun.

Tak berlebihan kiranya bila jiwa santri yang melekat pada pribadi Cak Imin menjadi simbol masyarakat pondok pesantren yang anti kekerasan dan konsisten menebar manfaat bagi semesta alam dan seisinya. Wallahu ‘alam bisshowab

Penulis Usep Saeful Kamal, Tenaga Ahli Anggota FPKB DPR RI, Keluarga Alumni Cipasung

Tags : Cak Imin , Santri , Cawapres 2019

Berita Terkait