Dek, Kalau Penakut dan Ingin Kaya Jangan Jadi Wartawan!

| Jum'at, 09/02/2018 09:32 WIB
Dek, Kalau Penakut dan Ingin Kaya Jangan Jadi Wartawan! Design by @W2n

Dek, kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mi bakso.

Ungkapan itu dikemukakan oleh sang pendekar pena, kolomnis ternama, H. Mahbud Djunaidi, pada suatu kesempatan di kantor perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, Gedung Milamar, Jalan Asia Afrika, Bandung.

Pada hari-hari tertentu, bisa bertemu dengan Mahbub di kantor perwakilan Harian Umum Pelita (1980 – 1982), karena ia yang tinggal di Jalan Turangga 1, Bandung itu, merupakan penasihat perwakilan Harian Umum Pelita Jawa Barat, sedangkan kepala perwakilannya, Agus Suflihat Manaf atau Agus SM.

Mahbub berpenampilan sangat sederhana. Terkadang kepergok mengenakan pakaian olahraga (baju dan celana singlet). Jika bertemu selalu memberi nasihat-nasihat tentang kewartawanan, tentang tulis menulis, ya termasuk nasihatnya, "Dek kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan, jadilah pengusaha. Kalau penakut jangan jadi wartawan, jadilah tukang mie bakso."

Memang, jadi wartawan jangan berharap kaya. Memang jadi wartawan bukan untuk mengerjar kekayaan. Pada masa-masa itu, orang jadi wartawan, karena tuntutan nurani, sehingga dikenal dan lahir sebutan wartawan idealis. Artinya wartawan yang benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya tanpa pamrih, wartawan hakikatnya pejuang. Apalagi pada masa-masa perjuangan sebelum Indonesia merdeka, wartawan berjuang dengan kekuatan penanya untuk kemerdekaan negeri ini.

Wajarlah jika pada masa-masa itu, jadi wartawan jangan berharap kaya sebagaimana dikemukakan mantan Ketua PWI, dan mantan Ketua NU periode tahun itu. Pada masa-masa itu, wartawan yang memiliki kendaraan beroda dua, dan empat sangat jarang. Mahbub pun memiliki kendaraan sedan VW berwarna biru telur asin, mungkin bukan dari hasil jadi wartawan, karena ayahnya Pak Djunaidi, merupakan tuan tanah, orang kaya Betawi.

Walaupun pada masa-masa itu, sebut saja pada masa Orde Baru, kebebasan wartawan dikekang, tetapi harkat derajat wartawan sangat tinggi, dihormati oleh pejabat maupun masyarakat. Pejabat, masyarakat sangat segan terhadap yang namanya wartawan. Wartawan terutama di daerah jumlahnya sangat sedikit. Dapat dihitung dengan jari. Di satu kabupaten paling banyak rata-rata sembilan atau 11 orang.

Kondisi seperti itu, tentunya jauh berbeda dengan kondisi sekarang, terutama sejak era reformasi. Ketika kran kebebasan dibuka, jumlah wartawan di daerah, di salah satu kabupaten, wow, bisa mencapai 300 orang, bahkan lebih.

Pers masa sekarang pun adalah pers industri, walaupun tidak dapat menjamin wartawannya hidup kaya, tetapi paling tidak hidupnya mapan terutama yang bekerja pada penerbitan-penerbitan media tertentu. Namun, boleh jadi, lebih banyak wartawan yang hidupnya tidak kaya.

Jangan Penakut
Kalau penakut, jangan jadi wartawan, itu ditunjukan oleh Mahbub Djunaidi, bagaimana keberaniannya menulis sehingga beliau sering disebut sang pendekar pena. Tulisan-tulisannya ringan, asyik dibaca, berani mengkritik keras pemerintahan, kadang-kadang dengan gaya bahasa yang halus dan santun.

Suatu hari, saya menulis berita di tempat saya bekerja tentang acara seremonial pelantikan kepala PGA Negeri 6 Tahun. Kepala Departemen Agama setempat dalam pidatonya mengatakan “...tingkatkan pembangunan garis miring Golkar." Waktu itu, saya pun mengkonfirmasi kepala Depag, mempertanyakan ucapannya apa yang dimaksud dengan "tingkatkan pembangunan garis miring Golkar."

Dua hari kemudian, berita itu dimuat tanggal 26 Desember 1980 (karena waktu itu mengirim berita ke redaksi di Jakarta melalui pos, sampainya dua hari, karena belum ada fax, apalagi email seperti sekarang). Mahbub, mengapresiasi berita tersebut, pada tulisan kaki halaman pertama dengan judul "Orang Depag Cianjur Mesti Ditertibkan."

Tulisan itu, sungguh menghebohkan banyak pihak baik di pemerintahan, maupun masyarakat. Pagi itu, koran terjual habis di agen dan pengcer. Dampak dari tulisan sang Pendekar Pena, H. Mahbub Djunaidi, semakin bertambah kental kecurigaan dan julukan yang dialamatkan kepada saya sebagai wartawan "hijau” (Islam), wartawan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), karena pada masa itu, Islam identik dengan PPP sebagai partai yang berasaskan Islam. Padahal mereka sendiri yang berada di partai lain, sama-sama pemeluk Islam, bahkan, saya sendiri sering disebut wartawan "hijau" ekstrem.

Tidak hanya itu, hari-hari berikutnya koran tempat saya bekerja dilarang masuk desa. Dengan begitu, semakin banyak orang yang penasaran sehingga membeli dan berlanganan koran tersebut. Banyak PNS yang membeli koran kemudian dilipat di saku belakang atau diselipkan di bagian bokong, untuk dibaca di rumah, karena kalau dibaca di kantor takut dicurigai atau disebut orang PPP, karena membaca koran tersebut, identik dengan PPP, identik dengan Islam.

Itulah secuil kenangan dengan Almarhum Mahbub Djunaidi, yang lahir tanggal 27 Juli 1933 di Jakarta, kini telah tiada. Beliau meninggal dunia di Bandung pada tanggal 1 Oktober 1995. Semasa hidupnya, pernah jadi Ketua Umum PB PMII tiga periode. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum PWI Pusat, (1979 – 1983), anggota DPR GR (1967-1971), Wakil Ketua PBNU (1984-1989), Wakil Sekjen DPP PPP, anggota DPR/MPR RI (1971-1982), Ketua Majelis Pendidikan Soekarno dan anggota mustasyar PBNU (1989-1994).

Beliau adalah penulis yang sangat terkenal pada zamannya, banyak menulis di harian Kompas pada kolom Asal-Usul, di Harian Umum Pelita dan Pelita Edisi Minggu pada kolom Sekapur Sirih, Koran Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Tempo, Koran Gala Bandung, dan lainnya. Banyak sudah tulisannya yang dibukukan.

ABDULLAH

Tulisan ini pernah dimuat di nu.or.id edisi 13 Oktober 2017.

Tags : Mahbub Djunaidi , Hari Pers Nasional

Berita Terkait