Perempuan di Tengah Lingkar Kekuasaan

| Senin, 26/03/2018 08:16 WIB
Perempuan di Tengah Lingkar Kekuasaan Sejumlah Kaukus Perempuan saat berkunjung ke kantor PKB (dok PKB)

RADARBANGSA.COM - Saat berbicara tentang perempuan dan kekuasaan, maka quota minimal 30 persen keterwakilan menjadi sebuah keniscayaan. Kuota minimal 30 persen adalah konsep affirmative action (kebijakan afirmasi) dalam bentuk kuota keterwakilan perempuan untuk diadopsi dalam pengaturan sistem pemilu demokratis.

Konstitusi kita mengakui adanya kebijakan afirmasi dan itu tertuang dalam UUD 1945 pasal 28H ayat (2), yang bunyinya “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Quota minimal 30 persen tidaklah cukup, jika itu tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas perempuan yang masuk ke parlemen, ini yang kemudian menciptakan situasi, banyak perempuan yang terpilih sebagai legislator namun Apolitik.

Lebih dari separuh perempuan-perempuan yang terpilih dalam pemilu legislatif baik di level kabupaten/kota hingga di level nasional tidak memiliki kempuan cukup untuk bisa memaksimalkan fungsi dan kapasitasnya sebagai anggota parlemen.

Para perempuan di pusaran kekuasaan, sebagian besar hingga saat ini cenderung hanya sebagai pajangan, hanya datang ke kantor memenuhi kewajibannya sebagai Angota DPR, tidak ubahnya seperti siswa yang datang ke sekolah untuk memenuhi syarat kehadiran untuk bisa mengikuti ujian, letak perbedaannya hanya pada, agar anggota DPR tidak di panggil pimpinan fraksi karna sering tidak hadir di DPR, saat rapat di komisi atau rapat paripurna.

Belum lagi jika kita menyoroti bagaimana maraknya pemberitaan terkait kasus-kasus pelecehan hingga perkosaan anak oleh orang terdekat, kekerasan pada perempuan dan anak, kasus pekerja seks anak di wilayah lingkar tambang, kasus sodomi, kasus pembunuhan, dan lain sebagainya yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban.

Tidak banyak legislator yang jejak pemberitaan medianya serius menyoroti sedemikian banyaknya kasus yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.

Peningkatan kapasitas perempuan juga sepertinya bukan hanya di perlukan oleh kawan-kawan perempuan di legislatif. Namun kawan-kawan perempuan yang berada di rana eksekutif pun sepertinya tidak kalah perlu untuk diberi peningkatan kapasitas, dan yang paling menyedihkan bahkan hingga mentri yang membidangi persoalan perlindungan perempuan dan anak tidak cukup punya kepasitas dan keseriusan untuk merespon setiap kasus yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban.

Diperlukan keseriusan dari banyak pihak untuk bisa membantu memberikan peningkatan kapasitas perempuan-perempuan Indonesia. Tidak cukup kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan, tanpa keseriusan untuk mendorong peningkatan kapasitas perempuan.

Peningkatan kapasitas perempuan yang masuk keparlemen adalah sebuah kemestian yang tidak bisa di tawar. Karna tanpa peningkatan kapasitas maka itu sama artinya, negara sedang memberikan gaji buta untuk pribadi yang tidak memiliki kemampuan sebagai representasi rakyat, yang di wakilinya untuk memperjuangkan harapan-harapan rakyat. Terlepas, dari pribadi perempuan itu bisa terpilih juga dengan biaya politik yang tidak sedikit pastinya.

Pemilu sudah di depan mata, semoga hasil pemilu legislatif di 2019 tingkat keterpilihan perempuan minimal berada di angka 30 persen, sebagaimana yang di amanat kan undang-undang. Karna hasil pemilu di 2014 keterwakilan perempuan di parlemen hanya berada pada angka 17 persen.

Serta Semoga lebih banyak lagi perempuan-perempuan tangguh dan memiliki kapasitas cukup yang berhasil masuk ke parlemen, agar kasus-kasus yang menjadikan perempuan dan anak sebagai korban bisa menemukan solusi. Karena hanya perempuan yang bisa memikirkan persoalan perempuan, dengan pendekatan dan sudut pandang perempuan. Kuota minimal 30 persen harus bisa di raih agar setiap kebijakan yang lahir adalah kebijakan yang juga berperspektif perempuan.

NOURA FADHILAH

Tags : Politik , Perempuan , Kekuasaan