Silent Hope dan Integrasi Keberagaman

| Selasa, 24/04/2018 10:37 WIB
Silent Hope dan Integrasi Keberagaman Nur Faizin

RADARBANGSA.COM - Ada kesalahan tafsir terhadap silent hope yang dikemukakan Cak Imin, sapaan akrab A. Muhaimin Iskandar. Silent hope ditafsirkan sebagai simulasi deklarasi Cak Imin menjadi Calon Wakil Presiden 2019. Bagi sebagian orang menuding perbuatan Cak Imin ini sebagai intimidasi terhadap Joko Widodo, salah satu kandidat petahana dalam percaturan politik 2019 mendatang.

Bagi saya dan kalangan nahdliyin, hal ini bisa dimahfumi mengingat pendaftaran Calon Presdien dan Calon Wakil Presiden kian dekat. Sehingga, apapun gerakan terkait satu gagasan melulu dianggap sebagai kepentingan politik. Alhasil, dari kecamuk penafsiran ini justeru menenggelamkan gagasan dan situasi silent hope itu sendiri. Tulisan ini mencoba menjelaskan silent hope dari perspektif yang berbeda, tidak melulu diarahkan peda pertarungan dan perebutan politik kekuasaansemata.

Dilansir kumparan (2/4), silent hope yang dimaksud adalah keinginan para ulama, kiai dan santri agar umat Islam di Indonesia kokoh dan bersatu padu bergerak untuk membangun Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Cak Imin menjelaskan, keinginan ini sudah berjalan sejak lama. Tercatat pada peristiwa Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo pada tahun 1984 yang menekankan pada aspek ukhuwah Islamiyah(persaudaraan umat muslim), Wathaniyah(persaudaraan sesama bangsa),dan Basariahatau Insaniyah(persaudaraan sesama umat manusia).

Kontribusi para ulama, kiai, dan santri dalam membangun Indonesia bukan semata harapan terhadap pembangunan Indonesia yang adil, tetapi juga menjadi suatu peringatan, sikap awas akan keterpecah-belahan yang nyatanya justeru terjadi di antara umat Islam itu sendiri. Peristiwa bersejarah menjadi pengingat bahwa bangunan rumah Indonesia, jangan sampai terpecah karena perbedaan identitas yang disulut oleh Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).

Lunturnya Keberagaman
Diakui atau tidak, situasi keberagaman kita mulai diganggu dengan semangat fundamentalisme Islam. Gairah keislaman dan keummatan yang terjadi justeru menimbulkan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat. Gairah keumatan dan keislaman ini tidak menjadi satu format penyederhanaan dalam sikap saling menghargai antar umat yang berbeda. Tetapi justeru sebaliknya, menjadi semakin menakutkan.

Gairah keislaman dan keumatan ini sebenarnya menjadi gejala universal yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Konflik atas nama agama, hingga terorisme atas nama Islam, menggejala menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengkerdilkan nama Islam sendiri. Di titik ini, ada beragam kerugian yang diterima oleh umat Islam, termassuk streotip dan munculnya Islamphobia.

Dalam satu manuskrip yang cukup relevan pernah diuraikan Kimbal dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana. Kimbal menjelaskan bahwa agama hanya akan menjadi petaka manakala tidak dibarengi dengan sikap inklusifitas dalam memaknai teks agama. Pemberhalaan terhadap pimpinan agama, dan tekstualisasi ajaran kian merunyamkan ajaran agama jika ditarik ke dalam realitas yang beragam seperti Indonesia.

Nah, sikap toleransi dan saling menghargai di tengah perbedaan tersebut hanya bisa didorong dengan kedaulatan agama sebagai sesuatu yang kasih dan penuh sayang. Agama bukan lagi menjadi dogma pemisah yang semakin menguatkan polarisasi, mengidentifikasi perbedaan, hingga berujung pada konsepsi liyan terhadap kelompok yang lain.

Integrasi
Silent hope di sini sebenarnya mencoba menguapkan kembali agama yang penuh kasih dan sayang. Ajaran-ajaran agama yang rahmatan lil alamin ini membutuhkan agent penggerak. Dalam kacamata strukturasi, dikatakan bahwa aksi manusia sebagai sebuah proses produksi dan reproduksi dari sistem sosial (John, 2008). Sementara Giddens melihat agen dan struktur merupakan proses timbal-balik. Keduanya saling mempengaruhi. Ia melihat bahwa keduanya aktif, tidak memposisikan yang satu pasif dan yang lain aktif.

Dalam konteks ini, keberagaman kita seolah ‘dikelola’ oleh agen-agen fundamentalis, ekslusif dan literal, sehingga memaknai keberagamaan sebagai sesuatu yang keliru, bahkan dihilangkan. Maka tak heran jika, wajah-wajah keberingasan, kemarahan, ketersinggungan lebih tampak dalam lingkup keberagaman ketimbang sesuatu sikap saling menghargai dan menjunjung toleransi satu sama lain.

Silent hope inilah kemudian, yang dalam pemahaman saya jika dilihat dari aspek sejarah dan konteks kekinian, perlu ‘diambil alih’ oleh agen agama yang lebih mengutamakan toleransi dan sikap saling menghargai. Silent hope merujuk pada peran ulama yang meneduhkan, penengah di tengah ragam perbedaan, dan itu adalah kelompok Islam yang toleran, yang sudah malang-melintang dalam lintas sejarah Indonesia.


* Nur Faizin, alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta. Kini menggawangi Densus 26 Korwil Madura dan Pengurus Pimpinan Pusat GP Ansor.

Tags : Silent Hope , Integrasi Keberagaman , Cak Imin

Berita Terkait