Buruh dan Cak Imin

| Selasa, 01/05/2018 15:28 WIB
Buruh dan Cak Imin Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin). (Dok PKB)

RADARBANGSA.COM - Sejak revolusi industri di Inggris, buruh dan perjuangannya mulai disoroti sebagai bagian penting perjuangan kemanusiaan. Dengan waktu dan beban kerja yang memberatkan dan upah yang minim, mendorong perjuangan buruh masuk pada perjuangan yang fundamental, mendasar. Bahkan mencuat wacana bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan kemanusiaan, segala bentuk kebijakan yang melanggar hak2 buruh sama dengan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Di negeri ini, cerita panjang tentang perjuangan buruh menuntut hak-haknya selalu mendapatkan tindakan yang subversif dari penguasa, khususnya di era orde baru. Terlebih, atas nama anti PKI, perjuangan buruh dianggap bagian dari konsolidasi gerakan kiri yang cenderung dan dianggap bagian dari gerakan komunisme, sehingga tak segan-segan aparat melakukan tindakan subversif.

Di era reformasi, gerakan dan eksistensi kaum buruh mulai diakui negara. Bahkan negara sudah tidak lagi melakukan tindakan subversif atas aksi-aksi yang di gelar kaum buruh. Justru untuk pertama kalinya, atas nama negara hari buruh internasional dijadikan hari libur nasional. Dan hal itu terjadi ketika Menteri Tenaga Kerja RI adalah seorang alumni aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Tokoh Intelektual Nahdlatul Ulama, sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 24 Tahun 2013.

Cak Imin adalah tokoh yang punya komitmen utuh membela buruh. Baik saat menjadi aktivis Pergerakan, saat menjabat menjadi Menteri Tenaga Kerja RI. Bahkan setelah tidak menjabat.

Komitmen Cak Imin terhadap buruh tidak berhenti, setelah tidak menjabat sebagai menteri. Itu terbukti dengan tetap memberi perhatian untuk kaum buruh dengan menginisiasi berdirinya Liga Pekerja Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, di mana buruh di dorong untuk hidup sehat dengan berolahraga, selain juga mengeksplorasi bakat-bakat terpendam buruh di bidang sepakbola. Liga pekerja ini menarik minat jutaan buruh di seluruh Indonesia.

Pembelaan Cak Imin kepada buruh migran juga dilakukan secara maksimal. Ketika menjabat Menakertrans, Cak Imin menghadiri konferensi Ketenagakerjaan Internasional, berharap ILO membuat kebijakan yang tegas dan mengikat 184 negara anggotanya, sehingga mereka benar-benar menekankan dan melaksanakan aspek perlindungan bagi tenaga kerja migran. 

Terkait konvensi ILO, selama ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi dasar ILO yang di dalamnya memuat ketentuan penghapusan kerja paksa, kebebasan berserikat dan berunding, anti diskriminasi di lingkungan kerja dan konsultasi tripartit. Termasuk Konvensi internasional tentang perlindungan hak semua pekerja migran dan anggota keluarganya.

Pengalaman Saya mendampingi buruh sejak aktif di organisasi ekstra mahasiswa hingga bergelut langsung dengan Serikat Buruh Migran Indonesia, menjadi bekal untuk masuk IOM (International Organization of Migration) unit Human Trafficking mulai tahun 2012 lalu. Saya banyak mengidentifikasi para buruh migran (TKI) yang menjadi korban perdagangan manusia.

Salahsatu kasus yang pernah di identifikasi, yaitu Nisa yang direkrut oleh sponsor dan diberangkatkan ke Jeddah. Setibanya di Jeddah, ia dijemput majikan perempuannya. Paspor dan visanya tiba-riba dirampas, agar tak bisa kabur. Nasib Nisa tragis, selama 16 bulan bekerja tanpa digaji, 23 jam bekerja tiap hari. Perlakuan sang majikan terhadapnya sangat tidak manusiawi. Ia dibangunkan dari tidur dengan cara disiksa, dijambak rambutnya, lalu kepalanya dibenturkan ke tembok, dipukul dengan botol hingga gigi patah, atau tangannya ditempeli panci panas. Nisa tinggal di rumah selalu terkunci, kamar tidurnya berada di gudang bersama barang-barang bekas, dan makan sajian makanan basi dan minumnya air basbus, air bekas mencuci piring atau cuci pakaian. 

Itu hanya sepenggal kisah para buruh migran kita. Banyak pula penindasan lain yang dialami mereka: mulai penipuan hingga pungutan liar saat pembuatan dokumen keberangkatan. Adapun di negara tujuan, mereka juga diperbudak: diperjualbelikan ke beberapa majikan, dieksploitasi tenaganya, hingga dilecehkan dan diperkosa. Penderitaan mereka masih belum berakhir: saat kepulangan, mereka dijerat pungli di bandara. 

Perhatian besar Cak Imin terhadap nasib buruh migran ini sangat masuk akal. Maka beliau selalu menegaskan kepada teman-teman aktivis buruh migran (salah satunya almarhum Mas Miftah Farid/Garda BMI) untuk senantiasa melakukan advokasi terhadap buruh migran. Mereka adalah anak-anak negeri yang terdzalimi. Paling tidak, mereka terpinggirkan dalam tiga hal: pertama, mereka terdzalimi dalam masyarakat kapitalis; kedua, mereka terasing dari negara sendiri; dan ketiga, mereka terpinggirkan dalam masyarakat patriarkis.

Berlapis-lapisnya status marjinal ini membuat posisi Buruh Migran Indonesia sangat rentan. Secara bersamaan, mereka terbatas dalam kemampuan kerja dan adaptasi dengan lingkungan budaya yang baru, mereka minim memperoleh sistem perlindungan yang memadai, dan situasi sosial budaya yang tidak mendukung posisi buruh migran. 

Saya selalu belajar dari sosok Cak Imin, yakni bagaimana ia mentransformasikan nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam memperjuangkan kaum mustadl’afin agar menjadi inspirasi pergerakan generasi muda. 

Gagasan-gagasan Cak Imin ini harus ditebar, diinterpretasikan ke dalam tindakan-tindakan yang lebih nyata. Sebagai santri, kontekstualisasi penafsiran al-Quran nya dan pemahaman kitab kuning nya terhadap persoalan kebangsaan selalu menjadi spirit gerakannya. 

Bukankah Islam cukup jelas menentang adanya manusia mengeksploitasi manusia lain?! Itu tercermin dari surat al-An’am ayat 145 bahwa haram hukumnya “memakan darah yang mengalir”. Tuan-budak memeras tenaga para budaknya, tuan-tanah memeras tenaga hamba taninya, tuan-kapitalis “mencuri” tenaga kerja kaum buruh. Budak, tani hamba, buruh tidak akan dapat diperas, bila darah tidak mengalir lagi dalam tubuh mereka. 

Cak Imin yang juga menafsirkan hubungan relasi buruh-majikan sebagai sesuatu yang konkret, yaitu keadilan dan kesetaraan. Sistem ekonomi klasik menempatkan hubungan buruh-majikan dalam posisi antagonistik: majikan lebih superior sedangkan buruh inferior (al-mustadl’afin). Sedangkan Islam menempatkan keduanya dalam hubungan kemitraan, saling percaya dan melengkapi.

Kedua pihak musta’jir (orang yang memperkerjakan) dan mu’jir (orang yang dipekerjakan) sama-sama memiliki kepentingan dan saling melengkapi sebagai mitra kerja. Karenanya, Islam mengatur agar keduanya memenuhi tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara adil. 

Dalam berbagai langkahnya, spirit inilah yang cak Imin bagikan kepada generasi muda. Kita seharusnya mengikutinya untuk berperan aktif dalam sejarah kemanusiaan. Islam bukan agama pasrah yang hanya berfikir tentang kehidupan akhirat tapi harus mampu melibatkan diri dalam dialektika sejarah sosial-politik manusia. Sebagaimana al-Qur’an memberi peringatan: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata, ‘Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!,” (Q.S. an-Nisa 75). Begitu pula dalam hadits, Rasulullah: “Carilah aku di tengah-tengah komunitas fakir”. 

Saya percaya kutipan tersebut adalah seruan agar kita melakukan “pendampingan” dalam kegiatan advokasi. Disana juga Saya, Anda dan Kita semua mengagumi Cak Imin sebagai pemimpin yang berjuang bersama kaum mustadl’afin.

Ai Rahmayanti
Ketum PB KOPRI (2014-2017) dan pengurus DPN SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia)

Tags : Cak Imin , May Day , Buruh Migran

Berita Terkait