Lomba Cerpen Santri 2018

Berpisah dengan Zakiya

| Minggu, 04/11/2018 16:59 WIB
Berpisah dengan Zakiya Dok Radarbangsa

Oleh: Zakiatul Aini

RADARBANGSA.COM - “Pak.. Ngebut sedikit bisa, Pak?, kataku pada driver Gojek. Hari ini aku buru-buru mengejar kereta ke Jakarta. Petang hari seperti ini memang waktu padat-padatnya jalanan Demak-Semarang, jam kapan karyawan pabrik pulang ke rumah. “Iya, Mbak. Saya usahakan tepat waktu sampai tujuan”, kata Pak driver.


Motor melaju kencang di antara truk-truk besar menyusuri jalan Pantura. Aku terus membaca shalawat nabi, berharap semua baik-baik saja. Cuaca mendung sedari ashar, beruntung tak turun hujan. Alhamdulillah, ku rasa Allah sedang baik padaku.
Pukul enam aku sampai di stasiun Poncol Semarang. Tepat setengah jam lagi kereta berangkat. Segera aku menuju petugas boarding dan menunjukkan tiket. Aku masuk ke peron dan mencari kursi. Ku tarik nafas dalam-dalam mensyukuri segala karunia yang Allah berikan. Aku senyum-senyum sendiri sambil menggelengkan kepala, “Ya Allah.. terimakasih atas segala nikmat yang engkau berikan. Tanpamu aku bukan apa-apa”. 

Segera aku buka Whatsapp dan berbalas pesan singkat dengan Zakiya, temanku saat aku masih di pesantren. Dia sedang di rumah.
Aku: “Zak, aku wis tekan Poncol”
Zakiya: “Oh ya.. jajal selfie ah”
Aku: (mengirim gambar senyum dengan background kereta)
Zakiya: “Wah.. senangnya.. hati-hati ya di perjalanan.. semoga selamat sampai tujuan”


Zakiya adalah teman terbaikku. Dia masuk pondok bersama denganku. Entah kebetulan atau tidak, kami juga berada dalam kamar dan kelas yang sama. Tak butuh waktu lama, kami pun akrab bagai saudara kandung. 
Sebuah hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku menjadi seorang santri di pondok pesantren. Aku yang dulu suka jalan-jalan, sekarang tak lagi. Tak ada televisi, tak ada pula telepon genggam. 
Bosan? Ya, sedikit. Tapi aku memiliki banyak saudara baru di sini. Kami tak hanya sebatas teman biasa. Mengapa? Karena setiap hari kami bertemu. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Apa-apa kami lakukan bersama. Ngaji bersama, bersih-bersih bersama, kerja bakti bersama, dan makan juga bersama. 


Ada hal yang menarik di pesantren. Di sini kami tidak menggunakan piring sebagai tempat makanan, tapi nampan. Hal yang tak pernah aku dapati saat di rumah. Semula aku malu-malu. Saat yang lain makan dengan lahap aku hanya diam dan sedikit risih. “Ih, mereka kok bisa ya makan satu nampan. Apa nggak ada piring?. Apa mereka nggak risih?”, gumamku dalam hati.

“Hei.. kenapa melamun? Ayo makan!”, kata Zakiya. “E.. iya..”, jawabku. Aku mulai mengambil sesuap nasi dan ku masukkan ke dalam mulut. Ku kunyah pelan-pelan merasakan sensasi makan dengan gaya baru. “Gimana, enak?”, tanya Zakiya. “Iya..”, jawabku. “Makanya.. makan ya makan aja.. halal kok”, balas Zakiya. Kami semua tertawa sambil menikmati hidangan. Jadi, Zakiyalah yang mengajariku makan bersama dengan nampan.
Sejak saat itu, makan ramai-ramai dengan satu nampan menjadi hal yang sangat nikmat bagiku. Kesederhanaan, kebersamaan, berbagi, dari sanalah kami mempelajarinya. Bagaimana kami perlu mencuil tempe sekecil mungkin agar teman yang lain kebagian. Dan bagaimana kami saling support untuk menghabiskan makanan.

Baca selengkapnya di sini

Tags : Hari Santri 2018 , PKB ,

Berita Terkait