Lomba Cerpen Santri 2018

Peci Kusam

| Kamis, 06/12/2018 21:32 WIB
Peci Kusam Para juara lomba cerpen santri 2018 (foto:radarbangsa)

Oleh: Muhammad Wahyudi (Ponpes Nurul Huda Tegal Sambi Tahunan Jepara, Jawa Tengah)**

Sudah 7 hari ia terdiam di masjid Baitudz Dzakirin, siang malam ia mematri diri, larut dalam munajat dan taqorrub kepada Illahi. Ia pilih tempat dekat tiang yang membuatnya aman tinggal siang malam di dalam masjid Baitudz dzakirin. Ia duduk bersila  dan memakai peci kusam menghadap kiblat, sementara mulutnya terus menggumamkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan mata terpejam. Ia hanya menghentikan bacaannya jika adzan dan iqomat dikumandangkan juga sholat didirikan, usai sholat ia akan larut dalam dzikir, sholat sunnah, lalu kembali lirih melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan hafalan. Mukanya tampak begitu tirus dan sedih, air matanya bercucuran.

***

Wahyudi, Muhammad Wahyudi begitu teman-temannya memanggil. Sudah 7 hari ia menenangkan diri dari semua masalah yang sedang dihadapi. Lebih tepatnya, ia pergi dari tempat yang sudah 6 tahun ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Nurul Huda, Tegalsambi Tahunan Jepara.

***

“Kang Furqon, tolong kasihkan surat ini ke mbak Lina yang jadi mbak ndalem  di pondok putri itu loh kang, biar disampaikan ke Fatimah,” ucap Wahyudi kepada Furqon selaku kang ndalem pondok putra.

“Iya, tapi nanti kalau bikin unjuk’an di dapur aku kasihkan ke mbak Lina.” jawabnya.

“Makasih, Kang”

“Sama-sama”

Kang Furqon pun berlalu meninggalkan Wahyudi.

Tiba-tiba salah seorang santri datang dan mengagetkan Wahyudi.

“Yud! Kamu dipanggil kang Ikhwan ke kamar pengurus, katanya mau disidang oleh semua pengurus keamanan dan ketua pondok, sekarang!“

“Ya, makasih kang, saya ke sana dulu, Assalamualaikum”                           

Waalaikumsalam

***

Gadis berparas cantik bernama Fatimatuz Zahrah sedang duduk sambil melafadzkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di atas sajadah yang selama ini menemaninya bermunajat kepada Allah Yang Maha Esa. Tiba-tiba ada seseorang memasuki kamar dan sedikit membuat Fatimah tekejut.

Assalamualaikum” ucap Linda yang selama ini menjadi teman curhatan Fatimah, yang selalu ada dalam suka dan duka Fatimah.

“Waalaikumsalam,  Linda.” Jawab Fatimah.

“Fat, kamu dapat titipan dari Wahyudi.” tersenyum sambil mengasihkan amplop berisi surat kepada Fatimah.

“Makasih ya, Lin“

“Iya sama-sama. Fat, aku boleh tanya sesuatu nggak sama sampeyan? Tapi aku takut.”

“Iya boleh, tanya apa Lin? Kayak nggak kenal aku saja, kita kan udah lama sahabatan masak tanya sesuatu aja sampai takut?” jawab Fatimah dengan senang hati.

“Kamu kenapa sih, Fat?  Gak pernah balas surat dari Kang Wahyudi?

Bayangkan coba dia ngasih surat kamu sudah dari 3 tahun yang lalu dan nggak pernah kamu balas sekalipun, dia udah suka sama kamu udah lama loh Fat, kamu juga kayaknya punya rasa yang sama dengan Kang Wahyudi” tanya Linda panjang lebar.

Fatimah hanya tersenyum dan menjawab,” Insya Allah suatu saat akan kubalas, Lin”

“Yaudah deh aku nganut sampean aja” jawab  Linda pasrah.

“Yok Lin, sudah mau adzan Subuh, kita ke aula sholat” ajak Fatimah, mereka berdua pun bergegas ke aula lantai bawah untuk sholat berjamaah dengan Bu Nyai.

***

Wahyudi mengetuk pintu pengurus ”Assalamualaikum

Wa’alaikumsalam” Jawab kang Rozikin salah satu dari anggota pengurus sambil membukakan pintu dan mempersilahkan Wahyudi untuk duduk di tengah-tengah para pengurus yang tengah duduk melingkar.

Wahyudi mengambil nafas dalam-dalam untuk mengatur degup jantung yang semakin kencang karena ia benar-benar gugup dan mencoba tenang. Ia diam dan benar-benar diam di tengah beribu mata yang menatapnya tajam.

“Kang Wahyudi, sampean ngerti kok di panggil ke sini?” kata kang Sabil, ketua dari semua pengurus membuka percakapan.

Mboten, Kang” Jawab Wahyudi dengan suara sedikit bergetar.

“Beneran sampean mboten ngertos?” kata Kang Topik, ketua pondok dengan suara agak meninggi.

“Iya kang.” jawab Wahyudi, kemudian ia diam dan menunduk.

“Emang nggak tau apa pura-pura nggak tau?”  kata kang Sabil yang sedikit agak marah.

Wahyudi masih tertunduk dan diam dalam seribu bahasa.

“Dari tadi diam terus, apa sampean bisu?”  kata Kang Sabil benar-benar marah.

“Sabar kang, sabar, kasihan jangan dikasari.” kata salah satu pengurus keamanan.

Wahyudi masih terdiam.

“Kang Wahyudi, sampean itu sudah keterlaluan, kemarin sampean sudah disidang 4 kali, ditakzir berkali-kali, seberat apapun tapi sampean masih belum jera. Dengan kesalahan yang sama, ke Taman semalaman paginya baru pulang ke pondok. Kemarin yang paling parah sampean kepergok Gus Yahya pergi ke pondok manjat gerbang dan Gus Yahya sendiri yang bilang ke saya,” ucap Kang Fikri.

“Maaf, kang” hanya kata maaf yang diucapkan Wahyudi.

“Sekarang sampean nyuwun ngapuro sama keluarga ndalem, sampean tidak ditakzir tapi jika sampean masih mengulangi kesalahan lagi, sampean langsung diatur ke Gus Yahya, atas pertimbangan bisa jadi sampean dikeluarkan.” kata kang Ikhwan.

“Iya, kang “ jawab Wahyudi singkat.

“Besok, jangan lupa ba’da jama’ah Subuh langsung nyuwun ngapuro ke keluarga ndalem soalnya ini sudah sangat malam nanti malah ganggu ndalem,  dan kami minta maaf terutama saya, ngomong kasar ke sampean” kata kang Topik.

“Iya Kang, saya juga benar-benar minta maaf atas semua kesalahan-kesalahan saya,” kata Wahyudi.

“Sekarang kembali ke kamar sampean

“Iya kang, Assalamualaikum

Waalaikumsalam

Dan Wahyudi langsung beranjak pergi dari kamar pengurus, lalu berwudhu kemudian menuju kamar untuk melaksanakan sholat sunnah.

***

Setelah berjama’ah Subuh bersama Bu Nyai, Fatimah bergegas menuju ndalem karena ia mendapat tamu, orang tuanya dari Brebes, saat menuju ndalem ia berpapasan dengan Wahyudi. Wahyudi tersenyum kepadanya, tapi ia langsung menundukan wajahnya dan mempercepat langkahnya.

***

Suatu pagi tiba-tiba Rafli, orang yang sangat membenci Wahyudi, karena termasuk santri yang dianggap Abah Yai seperti anaknya sendiri karena kecerdasannya dan begitu sayang kepadanya. Karena keinginan Rafli kepada Wahyudi, dengan mengada-ngada, melaporkannya kepada keamanan bahwa Wahyudi berpacaran dengan Fatimah dan selalu ketemuan di belakang pondok dan membuat surat cinta palsu dari Wahyudi ke Fatimah yang dijadikan bukti untuk melaporkan kepada keamanan.

Dan pagi itu, Wahyudi dan Fatimah dipanggil Gus Yahya dekat kamar ndalem dengan dikawal pengurus keamanan putra dan putri, Wahyudi dan Fatimah menuju kantor Gus Yahya.

Wahyudi mengucapkan salam dan langsung dibukakan oleh Gus Yahya, kemudian beliau mempersilahkan duduk.

“Kang-kang dan Mbak-mbak boleh kembali ke pondok,” kata Gus Yahya kepada pengurus keamanan.

Nggeh, Gus” Jawab mereka.

Suasana hening, hanya tiga orang yang berada di ruangan tersebut. Setelah panjang lebar Gus Yahya memutuskan untuk mengeluarkan Fatimah karena mempertimbangkan begitu sayangnya Abah kepada Wahyudi. Mendengar itu, Wahyudi tertunduk lesu, sementara Fatimah hanya tertunduk dan seketika air mata meleleh, begitu beratnya menghadapi masalah yang sebenarnya ia tidak ia lakukan.

Nang, nduk, kalian boleh kembali ke pondok,” ucap Gus Yahya kepada mereka.

Nggeh, Gus” satu per satu dari mereka pun pergi.

***

Sesampainya di pondok, Fatimah mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat Dhuha. Ia mengadukan semuanya kepada Allah dan berdzikir, serta sujud kepada Ilahi untuk melupakan semuanya, hanya satu pikiran tertuju pada Allah dan menyerahkan semua kepada kehendak-Nya.

***

Delapan hari Wahyudi tidak ada di pondok, hanya Zacki sahabat karibnya yang mengetahui keberadaannya, seluruh pengurus kewalahan mencari Wahyudi.

“Paling Wahyudi rak kuat mondok, minggat ke kota palingan, biasanya kan emang ke situ!” Begitu ucap Rafli ketika semua santri mencoba mencari Wahyudi. Karena begitu geram mendengar ucapan Rafli, Zacki mencoba mengunjungi di Masjid Baitudz Dzakirin, juga karena sudah terlalu lama Wahyudi beri’tikaf.

Yud, ayo balik udah lama kamu pergi dari pondok, semua teman pada nyariin, penuhi hak tubuhmu untuk beristirahat.”

“Aku tidak akan membatalkan i’tikafku sebelum 40 khataman.” Jawabnya.

“40 khataman apa?”

“40 khataman Al-Qur’an dengan hafalan.”

“Sekarang sudah berapa khataman?”

“15 khataman”

Edan kamu Yud! Masih 25 khataman lagi, kamu sudah begitu pucat, kasihan tubuhmu butuh istirahat.”

“Aku gak akan kenapa-napa karena aku membaca kalam-Nya. Udah jangan ganggu aku!.

“Bukan maksud aku mengganggumu tapi kasihan tubuhmu” kata Zacki. Wahyudi hanya terdiam. Ya sudah, yang penting aku udah mengingatkan” dengan langkah ragu Zacki meninggalkan Wahyudi.

***

Keesokan harinya, Zacki memberitahukan kepada pengurus apa yang sebenarnya terjadi dan para pengurus pun langsung bergegas menuju Masjid Baitudz Dzakirin didampingi Zacki.  Ketika mereka bertemu Wahyudi, ternyata sudah dalam keadaan pingsan dengan mengenakan peci kusam yang selalu ia bawa dan bersimpuh darah dari hidung, mungkin karena Wahyudi terlalu lelah.

Astagfirulloh,  Kang!” kata Zacki.

“Kita bawa ke rumah sakit, kasihan” kata seorang pengurus dan Wahyudi langsung dilarikan ke rumah sakit.

***

Tiga hari kemudian Wahyudi menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit karena penyakit Leukimia yang tidak diketahuinya selama ini.  Kabar itu terdengar sampai Fatimah. Fatimah hanya bisa sabar dan mendo’akan yang terbaik untuk Wahyudi, meski begitu terpukul yang dirasa Fatimah. Pondok pun mengadakan khataman bersama untuk Alm. Wahyudi. Sementara Gus Yahya, begitu kagetnya ketika begitu banyaknya anak kecil dan gelandangan dari luar pondok untuk bertakziah, serta merta mendo’akan Alm. Wahyudi. Gus Yahya lebih terharu ketika seorang anak kecil yang menceritakan bahwa selama ini Wahyudi dengan tulus mengajari mereka mengaji di pondok kecil dekat Taman Kota.

Cerita itu tersebar ke seluruh Pondok, para santriwan dan santriwati begitu kagum  dengan apa yang dilakukan Wahyudi selama ini.

** Juara I Lomba Cerpen Santri 2018 yang digelar oleh DPP PKB yang bekerjasama dengan radarbangsa.com.

Tags : Cerpen Santri , PKB , Hari Santri ,

Berita Terkait