Mengenal Perbedaan UU Pemilu 2019 dengan UU Pemilu Sebelumnya

| Senin, 31/12/2018 15:18 WIB
Mengenal Perbedaan UU Pemilu 2019 dengan UU Pemilu Sebelumnya Hilman Bee

Oleh: Hilman Bee

Sebagai salah seorang yang pernah mengikuti kontestasi sebagai penyelenggara pemilu, ada hal yang menjadi singgungan tentang apa perbedaan UU Pemilu 2019 dengan UU Pemilu sebelumnya. Seperti yang diketahui, perbedaan mendasarnya pemilu pada 17 April 2019 nanti adalah masyarakat akan memilih secara serentak calon anggota legislatif, yaitu anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD, serta untuk eksekutif, yaitu calon presiden dan wakil presiden.

Sementara ketika pemilu 2014 yang lalu, masyarakat memilih anggota dewan legislatif terlebih dahulu, kemudian selang 3 bulan kemudian memilih calon presiden dan wakil presiden. Perbedaan mendasar berikutnya adalah dilihat dari jumlah partai politik peserta pemilu. Untuk pemilu 2019 diikuti oleh 16 partai politik nasional dan 4 partai lokal Aceh, sementara ketika 2014 diikuti oleh 15 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal Aceh. Kemudian, apakah perbedaan antara UU Pemilu 2019 dengan UU Pemilu sebelumnya?.

UU Pemilu 2019 yang akan datang diselenggarakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 yang memuat tentang penyelenggara; KPU, Bawaslu dan DKPP (status, kelembagaan dan kewenangan), syarat kepesertaan anggota DPD, DPR, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota pada pemilu, syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), pendaftaran pemilih, kampanye dan dana kampanye, penentuan perolehan kursi anggota DPD, DPR, DPRD (parliamentary threshold), serta penentuan calon terpilih. Sebaliknya pada pemilu 2014 yang mana pemilu untuk calon legislatif dan eksekutif tidak di hari dan tanggal yang sama, maka terdapat dua undang-undang yang mengaturnya, yakni UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian, di Pemilu 2014, kepastian hukum penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dibahas terpisah dengan undang-undang pembahasan pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk pemilu presiden dan wakil presiden pada 2014, status kepastian hukumnya menggunakan undang-undang pemilu sebelumnya, yaitu pemilu 2009 yang tertuang pada UU No. 42 Tahun 2008.

Di dalam UU No. 8 Tahun 2012 Bab V, Bagian kesatu dan pasal 21 disebutkan jumlah kursi anggota DPR sebanyak 560, sebaliknya pada UU No. 7 Tahun 2017 Bab ketiga, bagian kedua dan pasal 186 disebutkan jumlah kursi anggota DPR sebanyak 575. Hal ini bisa disimpulkan bahwa terdapat penambahan 15 anggota DPR untuk pemilihan anggota legislatif pada pemilu 2019. Sementara itu, untuk jumlah kursi anggota DPRD Provinsi ditetapkan paling sedikit 35 dan paling banyak 100 yang tercantum di UU Pemilihan legislatif (Pileg) 2014/UU No. 8 Tahun 2012, sebaliknya  menurut UU No. 7 Tahun 2017 ditetapkan paling sedikit 35 dan paling banyak 120. Hal ini berarti ada penambahan jumlah maksimal dan jumlah keanggotaan DPRD di 34 provinsi di Indonesia.

Untuk keanggotaan DPRD Kabupaten/Kota juga mengalami perubahan jumlah maksimal, disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 2012, yaitu paling sedikit 20 dan paling banyak 50. Di lain hal, di dalam UU No. 7 Tahun 2017, disebutkan paling sedikit 20 dan paling banyak 55 anggota. Dari hal tersebut, berarti ada penambahan anggota DPRD di setiap kabupaten/kota. Sementara itu, dalam parliamentary threshold, atau syarat minimum partai politik untuk menempatkan anggotanya duduk sebagai anggota DPR mengalami kenaikan 0,5%, yakni ketika pemilu 2014 sebesar 3,5% maka untuk pemilu 2019 kali ini menjadi 4%. Dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang diperkirakan kisaran 189 juta, maka syarat partai politik untuk menempatkan keterwakilan daerahnya harus mencapai 7,6 juta suara sah secara nasional.

Kemudian, perbedaan berikutnya yaitu dalam hal metode penghitungan suara untuk jumlah kursi di setiap level legislatif, yang mana ketika pemilu 2014 menggunakan metode Quote Harre atau dikenal dengan istilah BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Sedangkan untuk pemilu 2019 ini, menggunakan metode Sainte Lague, yang mana jumlah suara legislatif yang memenuhi minimum parliamentary threshold 4% akan dibagi dengan bilangan pembagi dengan bilangan ganjil 1,3,5,7 dan seterusnya (tertulis di pasal 414 dan 415). Dan lain hal untuk jumlah partai politik pengusung calon presiden dan wakil presiden, yang mana ketika pemilu 2014, partai politik pengusung calon presiden dan wakil presiden menggunakan hasil pemilu legislatif 3 bulan sebelumnya, maka untuk pemilu 2019 kali ini juga didukung oleh hasil pemilu legislatif yang sama ketika pemilu legislatif 2014 yang lalu. Berarti, hal ini tidak memberikan ruang untuk partai politik baru seperti Partai Garuda, Perindo, PSI, dan partai Berkarya ikut mengusung calon presiden dan wakil presiden meski sebagai peserta pemilu 2019 ini.

Perbedaan terakhir menurut penulis yaitu di besaran dana kampanye yang tertulis pada pasal 327 UU No. 7 Tahun 2017, yang mana dituliskan bahwa besaran sumbangan perseorangan nilai maksimal yang bisa diberikan sebesar 2,5 Miliar rupiah, berbeda ketika pemilu 2014 yang mana nilai maksimalnya hanya 1 Miliar rupiah. Kemudian besaran sumbangan dari badan hukum atau perusahaan swasta, ketika pemilu 2014 nilai maksimum yang harus diberikan tidak boleh lebih dari 7,5 Miliar rupiah, maka untuk pemilu 2019 ini sebesar 25 Miliar rupiah paling banyak yang harus disumbangkan. 

(Semua isi tulisan ini diluar tanggung jawab radarbangsa.com)

Tags : pemilu 2014 , Pemilu 2019 ,

Berita Terkait