Muktamar PKB; Menguatkan Sinergi PKB dan Jam’iyah-Jemaah NU

| Selasa, 13/08/2019 06:25 WIB
Muktamar PKB; Menguatkan Sinergi PKB dan Jam’iyah-Jemaah NU Logo Muktamar PKB 2019 (dok Radarbangsa)

Oleh: Harianto Oghie*

RADARBANGSA.COM - Perolehan suara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pada pemilu 2019 cukup signifikan. Berdasarkan hasil penghitungan suara KPU (21/05/2019), perolehan suara partai-partai politik yang berlaga di Pemilu serentak tahun 2019, PKB menempati posisi keempat. Kondisi ini mengingatkan penulis pada perolehan suara NU pada pemilu 1955, pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan pemerintah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Perolehan signifikan pada pemilu 1955 tidak hanya mengantarkan beberapa kader-kadernya berada di kursi Senayan, tetapi juga NU berhasil melakukan bergaining dengan pemerintahan Soekarno-Hatta untuk mengikutsertakan para sejumlah kyai dan politikus NU untuk terlibat dalam pembangunan bangsa dan negara. Kompetisi NU dalam pemilu tersebut tidak terlepas dari “ijtihad politik” K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Abdul Wahid Hasyim yang memutuskan memisahkan diri dari Masyumi.

Ijtihad ini kemudian dikukuhkan dalam Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 26 April-1 Mei 1952. Meski mendapat respons beragam dari peserta muktamar, ijtihad ini akhirnya diterima sebagai keputusan bersama sebagai jalan keluar kemelut perselisihan dalam tubuh Masyumi.

Sejak itu NU sebagai organisasi keagamaan yang berusaha menempatkan dunia politik sebagai bagian dari wilayah agama disegani. Dalam perkembangannya sejak melepaskan dari Masyumi, keberadaan NU menjadi organisasi yang tidak hanya berkontribusi dalam pembangunan nasional tetapi juga memiliki perhatian pada tingkat regional dan global.

Tulisan ini ingin memberikan gagasan konstruktif tentangnya pentingnya PKB membangun hubungan lebih erat dengan NU. Relasi PKB dan NU sudah cukup harmonis dalam dasawarsa terakhir sehingga membentuk mindset warga NU terhadap PKB. Namun, melihat realitasnya, ada sejumlah bidang yang belum tergarap maksimal oleh PKB dalam upaya mempertahankan eksistesinya sebagai partai besar (big party).

Tantangan

PKB yang kelahirannya dimotori oleh sejumlah kyai, menggerakkan mesin partai mulai dari pusat hingga cabang dan ranting dibutuhkan keahlian-keahlian khusus. Ketika penulis mengikuti dinamika politik anak-anak muda NU ada keinginan bersama untuk menjadikan PKB sebagai partai besar. Anak-anak muda NU menyatukan langkah dan bahu-membahu.

Keinginan bersama untuk mewujudkan PKB sebagai partai besar (big party) bukanlah khalayan kosong. Di kalangan anak-anak muda NU memiliki satu pikiran bahwa reformasi yang sebagian besar digerakkan oleh mahasiswa dari pesantren (mahasantri) merupakan momentum tepat untuk merekonstruksi tradisi-tradisi politik di kalangan warga NU.

Anak-anak muda Nahdlatul Ulama sadar bahwa mewujudkan obsesi tersebut bukanlah perkara gampang. Ada beberapa partai politik yang mengaku sebagai partai resmi warga NU pada kontestasi pemilu tahun 1999 dan pemilu 2004. Setidaknya ada empat partai yang mengaku-ngaku sebagai partai warga NU, yaitu PKU, PNU, PKNU, dan lainnya

Dengan kata lain, pergumulan anak-anak muda NU mengakui realitas politik Indonesia meniscayakan kyai sebagai tokoh sentral masyarakat turut mempengarui wajah politik NU dengan mendirikan partai-partai politik baru. Reformasi telah membuka pintu bagi kyai untuk turut meramaikan dan menentukan dinamika ke mana arah politik dihalau.

Berdirinya partai-partai baru tersebut memperlihatkan bahwa kyai turun gunung untuk memperlihatkan identitasnya dalam kancah politik nasional. Tetapi tidak sedikit pun terpancar dalam wajah di antara mereka pesimis. Sebaliknya muncul semangat tidak terkendali untuk bahu-membahu membesarkan PKB, sebagaimana gagasan besar Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar  yang akrab di panggil cak Imindengan tagline Agamis Nasionalis, Nasionalis Agamis

Sinergi

Partai Kebangkitan Bangsa sekarang ini dituntut untuk semakin mempererat sinergi dengan NU. Tuntutan ini dihadapkan pada suatu kenyataan yang ada di depan mata bahwa PKB sebagai partai lima besar selama pesta demokrasi berlangsung semakin dituntut untuk meranjak ke partai pemenang (winning party). Dalam konteks ini sinergi yang lebih erat antara PKB dan jamiyah dan jamaah Nahdlatul Ulama menjadi suatu keharusan.

Nahdaltul Ulama memiliki lembaga dan banom. Dalam hal ini PKB, sudah melakukan garapan tepat ketika membangun sinergi dengan NU sebagai ormas terbesar di Indonesia bahkan di dunia.

Dari sisi historis, sinergi PKB dan NU tidak menemukan kendala apa-apa. Sebagai partai besutan NU, keberadaan PKB memang dimaksudkan untuk menjembatani dan mewadahi warga Nahdlatul Ulama dalam bidang politik praktis.

PKB lahir di Ciganjur Jakarta pada 23 Juli 1998 yang dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ilyas Ruchiyat, KH, Muchit Mauzadi, KH. Moenasir Ali dan KH Mustofa Bisri. Dikuatkan oleh, Tim Lima yang diketuai oleh  KH Ma`ruf Amin, dengan anggota, KH M Dawam Anwar, Prof Dr KH Said Aqil Siroj, M.A., HM Rozy Munir,S.E., M.Sc. dan Ahmad Bagdja.  Selanjutnya, untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerja Tim Lima seiring semakin derasnya usulan warga NU yang menginginkan adanya partai politik, maka dibentuk Tim Asistensi atau Tim Sembilan yang diketuai oleh Arifin Djunaedi dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, H.M. Fachri Thaha Ma`ruf, Lc., Drs. H Abdul Aziz, M.A., Drs. H Andi Muarli Sunrawa, H.M. Nasihin Hasan, H Lukman Saifuddin, Drs. Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar. Berdirinya PKB memiliki momentum tepat dalam konteks menguatnya keinginan berpolitik praktis di kalangan warga NU kala itu.

Akan tetapi, kerja PKB untuk mendekatkan dirinya dengan warga NU belum maksimal dikerjakan. Meski dalam berbagai hal, kita harus mengakui hasil dan kerja keras PKB, tetapi sebagian besar program-program besar Nahdlatul Ulama, terutama di tingkat lembaga dan banom belum secara maksimal tergarap, lebih khusus terhadap kelembagaan yang yang focus pada penguatan sumberdaya manusianya,

Salah satunya contoh, dengan program kelembangaan dalam lingkup penguatan SDM dalam bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama sebagai wadah pengembangan sumberdaya manusia NU; seperti LP Ma’arif NU (ruang lingkup Pendidikan Dasar dan Menengah), RMI NU (Rabithah Ma`ahid Islamiyah /Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama) dan LPTNU (Khusus Perguruan Tinggi di Lingkungan NU) dalam beberapa tahun terakhir memiliki program-program strategis yang bisa/dapat disinergikan dengan PKB dalam rangka mendekatkan dengan Jami’iyah dan Jama’ah NU. Program-program kelembangaan tersebut dekat dan erat kaitannya dengan pengembangan potensi SDM karena menyasar para Akademisi, Mahasiswa, Santri dan Siswa-Siswi dalam pendidikan formal dan non formal yang merupakan cikal bakal Generasi Emas Indonesia 2030.

Kelembagaan tersebut juga konsen terhadap isu-isu kepanduan dan radikalisme, yang menyasar pada akademisi, guru-guru dan tenaga kependidikan, siswa-siswa dan para santri di di lingkungan pendidikan NU. Program ini dijalankan seiring menguatnya gerakan radikalisme terutama di dunia pendidikan. Dan menjadi berkewajiban untuk menyampaikan paham-paham yang tepat pada publik. Dalam beberapa tahun terakhir, program ini semakin gencar dijalankan mengingat ada indikasi sejumlah komunitas pendidikan mulai terpapar oleh paham-paham radikalisme dan intoleran.

Hal ini menjadi Peluang PKB sebagai Partai Agamis Nasionalis, Nasionalis Agamis untuk membesar prospek elektoralnya pada segmen pemili pemula generasi emas Indonesia  2024-2030 jika disertakan/disinergikan pula pada lembaga-lembaga dan banom-banom lainnya. Apalagi di luar komunitas Jami’iyah dan Jama’ah NU

Sudah saatnya PKB dan Muktamar ke IV 2019 di Bali, yang mengambil tema “Melayani Ibu Pertiwi” sebagai bentuk meneguhkan sikap untuk bekerja membangun bangsa dan menegaskan komitmen PKB dalam mengawal dan menyukseskan jalannya pemerintahan Jokowi dan KH Ma`ruf Amin selama lima tahun ke depan.

Karenanya sinergi yang lebih, Partai Kebangkitan Bangsa akan memiliki peluang besar untuk menjadi partai pemenang (winning Party) 2024. Keharusan menjalin kerja sama yang lebih erat dengan lembaga dan banom di lingkungan Jami’iyah dan Jama’ah NU, khususnya kelembagaan yang menangani pendidikan merupakan sinergi yang tidak dapat ditawar dalam rangka pendidikan politik sebagaimana makna Logo Harlah dan Muktamar PKB 2019  yang ditegaskan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Imin) bahwa inspirasi logo lebah dalam Harlah PKB ke-21 dan Muktamar PKB 2019 mengambil salah satu surat dalam Alquran yakni QS An-Nahlyang juga berarti lebah.

"Lebah itu selalu hidup berkelompok. Pada diri lebah juga terkandung hal positif dan produktif dalam memberikan manfaat besar untuk kehidupan, yaitu madu. Madu inilah yang kita sebut sebagai manfaat dari hasil perjuangan PKB untuk masyarakat luas di lima tahun mendatang. Lebah juga tidak mau hinggap di tempat yang kotor. Namun lebah juga berbahaya, sedikit diganggu lebah bisa menyengat.”

Sukses dan jaya Muktamar PKB 2019.

*Penulis adalah sekretaris LP Ma’arif NU Pusat PBNU. Tinggal di Bogor Jawa Barat

Tags : Muktamar PKB , PKB , Gus Imin

Berita Terkait