Puasa, Pencerahan dan Pendewasaan Hidup

| Rabu, 31/05/2017 06:39 WIB
Puasa, Pencerahan dan Pendewasaan Hidup
Puasa disyariatkan untuk menjadi jalan bagi yang melakukannya guna mencapai derajat manusia utama. Dengan tegas disebutkan bahwa puasa diwajibkan untuk mereka yang beriman. Orang beriman adalah orang yang mendapat pencerahan dalam kehidupan, sehingga pemikiran dan perilaku hidupnya mencerminkan kematangan dan kedewasaan dalam beragama dan bermasyarakat. Puasa secara fiqih adalah menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami isteri pada waktu siang hari selama bulan Ramadhan. Semua kebutuhan itu (makan, minum dan berhubungan suami isteri) adalah kebutuhan dasar semua makhluk hidup. Meminjam istilah ahli psikoanalisis Sigmund Freud, kalau seseorang berpuasa hanya sekadar menahan haus, lapar dan berhubungan suami isteri, maka puasanya itu adalah refleksi keberagamaan pada tingkat anak-anak. Menurut Freud, ada tiga tahap kenikmatan yang menyertai perkembangan kepribadian anak-anak. Tingkat pertama adalah periode oral. Anak-anak menemukan kenikmatan ketika memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Tingkat berikutnya adalah periode anal, di mana anak-anak senang berlama-lama ketika buang air besar. Tingkat ketiga adalah periode genital, yaitu anak-anak senang mempermainkan alat kelaminnya. Semua kebutuhan dan kesenangan di tiga periode itu bersifat fisik, tidak ada yang berdimensi ruhaniah. Karena masih dalam masa anak-anak, semua orang memakluminya. Ya, namanya juga anak-anak. Begitu kira-kira permaklumannya. Namun, ketika sudah dewasa atau beranjak tua manusia tetap tidak mampu keluar dari tiga tingkat kebutuhan itu, maka orang yang demikian itu bisa dikatakan tidak mengalami pencerahan dan pendewasaan dalam hidupnya. Kualitas kemanusiaannya tidak mengalami transformasi, bahkan bisa disebut degradasi. Demikian juga dalam hal sikap keberagamaan. Jika orang beragama terlalu menekankan aspek-aspek fisik, simbolik, formal dan ritual dari suatu ajaran agama, maka itu artinya keberagamaannya masih pada taraf anak-anak, tidak mengalami pematangan, pencerahan dan pendewasaan, kecuali ia baru masuk Islam (muallaf). Karena sesungguhnya pesan moral dan tujuan beragama melampaui hal-hal yang bersifat simbolik dari ritual seperti itu. Aspek-aspek fisik, simbolik, formal dan ritual adalah jalan atau cara untuk mencapai tujuan dalam beragama. Artinya, cara atau jalan boleh berbeda, tetapi tujuan tetap sama. Karena faktor keyakinan, pengalaman hidup yang panjang atau faktor kebudayaan, keberagamaan seseorang seringkali dimanifestasikan dalam cara yang berbeda dengan orang atau kelompok lain. Perbedaan cara atau jalan tidak seharusnya membuat kita arogan dengan menyalahkan atau menyesatkan keyakinan orang atau kelompok lain. Justru mereka yang terlalu mempersoalkan masalah cara itulah yang seharusnya disadarkan bahwa keberagamaan mereka tidak mengalami pencerahan dan pendewasaan. Puasa mengajarkan kepada kita bahwa salah satu inti dari ajaran agama adalah pendewasaan dan pencerahan diri menuju manusia yang sempurna (Insan kamil). Kalau terhadap hal-hal yang merupakan kebutuhan fisik saja manusia sudah tidak bisa mengendalikan diri, maka manusia bersangkutan tidak akan sampai kepada derajat spiritual yang merupakan hakikat dari kemanusiaan itu sendiri, yang membedakannya dengan makhluk Tuhan yang lain. Itulah salah satu hikmah puasa, yaitu sebagai sarana pendewasaan dan pencerahan hidup manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Sabda Nabi Muhammad SAW: “Siapa yang perutnya lapar (karena berpuasa), maka pikirannya akan menjadi luas tercerahkan dan hatinya akan bersih.” Abdul Muhaimin Iskandar, (Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa)
Tags :