Lima Poin Pesan Rois Aam PBNU Ini Patut Direnungi

| Kamis, 03/08/2017 13:02 WIB
Lima Poin Pesan Rois Aam PBNU Ini Patut Direnungi
BANYAK poin penting dari pidato Rais Am PBNU, Prof. Dr.KH. Ma’ruf Amin, yang beliau sampaikan pada acara al-Haflatul Kubro 23 Juli 2017 yang lalu di Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kegiatan ini juga dihadiri oleh Hadratus Syaikh Maimun Zubair (Mustasyar PBNU), Tuan Guru Zainul Majdi (Gubernur NTB) dan banyak Kiai lainnya. Poin pertama adalah i’dad-ul mutafaqqihina fid-din (menyiapkan generasi ulama yang memiliki kedalaman ilmu agama). Poin ini nampaknya dititikberatkan kepada pesantren atau lembaga pendidikan di Indonesia. Sebab, kata Kiai Ma'ruf, ilmu agama kelak akan diangkat oleh Allah dengan wafatnya para ulama. Ketika para ulama telah wafat dan tidak tersisa seorang pun dari mereka, maka masyarakat akan mengulamakan orang-orang bodoh (juhhal) yang pada akhirnya akan sesat menyesatkan. Poin kedua adalah himayat-ud din, yaitu melindungi agama dari pengaruh-pengaruh al-‘aqaid al-fasidah (akidah sesat) dan al-afkar al-munharifah (pemikiran-pemikiran menyimpang, esktrem, dan radikal) yang membahayakan agama. Lalu bagaimana seharusnya Nahdliyin menyikapi pemikiran radikal yang akhir-akhir ini begitu menjamur? Soal ini Kiai Ma'ruf sematkan dalam poin ketiga. Menurutnya ada dua pola pemikiran radikal yang harus diwaspadai, yaitu radikalisme agama dan radikalisme sekuler. Radikalisme agama adalah kelompok-kelompok yang memahami agama secara radikal. Mereka terbagi menjadi dua golongan, yaitu ithbatiyyun (ekstrem kanan) dan mutaghayyirun (ekstrem kiri). Yang pertama adalah golongan tekstualis yang rigid (kaku) dalam memahami agama sehingga mengabaikan subtansi (maqashid al-shari’ah) dari agama itu sendiri. Mereka menutup mata, sama sekali tidak mau berkompromi dengan problematika masyarakat yang terus berkembang (al-umur al-mustajaddah). Kebalikan dari yang pertama, golongan kedua (mutaghayyirun) memahami agama secara liberal, melampaui batasan-batasan yang ditentukan oleh syara’. Karenanya, Kiai Ma'ruf menegaskan posisi Nahdliyin harus ada di tengah (mutawassitun). La tekstualiyyun wa laa librariyyun, tidak tekstualis dan tidak pula liberal. Poin keempat, adalah himayatud daulah (melindungi negara). Dikatakan Kiai Ma'ruf, negara saat ini tidak hanya menghadapi ancaman dari kelompok-kelompok radikalis agama yang anti Pancasila, tapi juga kelompok-kelompok radikalis sekuler yang kehilangan semangat religiusitas (al-ruh al-diniyah) dalam bernegara. Mengutip pidato Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy’ari, “laqad dha’ufat al-ruh al-diniyyah fi al-‘alam al-siyasi fi al-ayyam al-akhirah”, sungguh telah melemah semangat keagamaan di dunia politik dewasa ini. Atas dasar ini, Kiai Ma'ruf mengajak Nahdliyin dan rakyat Indonesia secara umum untuk mensyukuri adanya UU Penodaan Agama. Sebagian kalangan menghendaki dihapusnya UU tersebut, karena rawan kriminalisasi. Seharusnya tidak demikian, karena yang kriminal bukanlah undang-undangnya, tapi orangnya. Selama tidak berbuat kriminal, pesan Kiai Ma'ruf, maka tidak perlu takut dengan undang-undang tersebut. Kiai Ma'ruf juga mengapresiasi disahkannya Perppu Ormas yang berimplikasi pada dibubarkannya kelompok anti-Pancasila (HTI) yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara. Poin kelima adalah islah al-ummah (melakukan perbaikan umat). Sebagai rijal al-islah (aktor-aktor perbaikan), ulama seyogyanya tidak hanya berpedoman pada kaidah al-muhafadhah ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik), tapi juga islahu ma huwa al-aslah fa al-aslah tsumma al-aslah (memperbaiki apa yang sudah baik agar menjadi lebih baik, lalu menjadi lebih baik lagi, dan seterusnya). AZ
Tags :