Gus Dur dan Deklarasi Islam-Pancasila

| Jum'at, 04/08/2017 14:46 WIB
Gus Dur dan Deklarasi Islam-Pancasila
GAGASAN KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengenai Pancasila sebagai satu-satunya formula yang mampu dihadirkan dalam fakta keragaman di Indonesia sebanding lurus dengan minatnya untuk menegakkan demokrasi sebagai alat  untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Maka, Pancasila dan Demokrasi adalah dua agenda strategi Gus Dur dalam membumikan misi  kebangsaan yang telah lama digalangnya, di mana ia memahami bahwa agama bukanlah sebuah ruang komunikasi  tertutup yang bisa dibenturkan dengan kelompok dan status yang lain. Agama, menurut Gus Dur memiliki nilai dan substansi yang justru cenderung untuk membuka, memandu komunikasi bahkan untuk menolong yang lain. Semangat keagamaan seperti ini tak lain adalah gagasan Islam Kebangsaan yang dikembangkan dan diperjuangkan seorang Gus Dur. Gus Dur tidak sendirian, ia memainkan gagasan Islam Kebangsaan melalui Nahdlatul Ulama (NU), sebuah institusi yang telah banyak mewarnai corak pemikiran Gus Dur mengingat lembaga ini dilahirkan oleh keluarga besarnya beserta jaringan pesantren yang memiliki tradisi kuat  tentang keIndonesiaan. Bersama NU, Gus Dur terus  mencoba untuk merespon dan menguatkan Pancasila dalam sendi kehidupan masyarakat, tepatnya pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Situbondo,  21 Desember 1983. Di sana Gus Dur menampung dan menguatkan  hubungan Islam dan Pancasila melalui sebuah deklarasi yang berbentuk penegasan-penegasan tentang perbedaan falsafah kenegaraan dan posisi keagamaan masyarakatnya. Dalam deklarasi tentang hubungan Islam dan Pancasila tersebut secara jelas, NU berikut Gus Dur berusaha untuk menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap Pancasila yang merupakan falsafah dasar Indonesia, namun sekaligus, penjelasan tersebut tidak semata-mata membuat Islam harus berdiri berseberangan dengan Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukan merupakan hal yang terbilang sederhana, konsepsi ini telah dilalui NU dengan proses pikir dan perdebatan yang mendalam. Hingga akhirnya NU dan tentu melalui sumbangsih Gus Dur saat itu menganggap penerimaan ini melalui beberapa pertimbangan penting, antara lain,  pertama, konsep fitrah. Yang merupakan sangat penting dalam Islam. Fitrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemukan tuhannya. Dorongan tersebut yang menyebabkan manusia menyerah diri (Islam) kepada Allah. Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan yang Maha Esa menurut Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa” disini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara adalah bersifat rumit dan krusial. Ketiga, pemahaman sejarah. Maksudnya adalah penerimaan Pancasila diperkuat oleh Mukatamar NU dengan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahan kemerdekaan bangsa. Penguatan hubungan Islam dan Pancasila melalui penerimaan NU terhadap asas tersebut menunjukkan bahwa NU menganggap keduanya memiliki kekuatan simbiosis-substansi, di mana hal ini dapat dilihat secara empiris dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Islam dan Pancasila menurut Gus Dur Telah jelas, bahwa Gus Dur menganggap Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa sekaligus hasil dari sebuah kompromi yang luhur. Pancasila merupakan simpul atas apa yang dijabarkan melalui sila-persilanya, sebagai satu kesatuan, maka masyarakat tidak bisa menggunakan Pancasila hanya pada beberapa titik namun di saat yang bersamaan mengabaikan sila yang lain. Melalui Pancasila, Gus Dur juga bermaksud menghapus dominasi agama berikut  kekuasaan anti-agama dalam sebuah bangsa. Pancasila diposisikan sebagai wadah aspirasi yang dapat mencakup kepentingan seemua golongan, maka di mata Gus Dur, negara Pancasila adalah posisi tengah dan lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia di banding kerangka negara sekular atau pun komunis yang ditawarkan oleh masyarakat global. Setidaknya, Pancasila di dalam pandangan Gus Dur saat dikaitkan dengan hubungannya dengan Islam akan melahirkan beberapa fungsi tersendiri. Pertama, Pancasila adalah sebah konsep penengah  yang adil, tidak boleh ada konsesi yang mendominasi  kelompok tertentu, termasuk agama.  Hal ini yang jika diterapkan dengan baik maka -menurut Gus Dur -Pancasila akan menciptakan pelaku-pelaku kebangsaan yang dapat berperan dengan baik sesuai posisinya dalam rangka memajukan negara. Kedua, karena Pancasila itu sendiri tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok, maka hal ini akan menjadi sebuah kesempatan dialog bagi setiap kelompok di dalam ruangnya masing-masing. Dalam melakukan hal ini, sebuah kelompok untuk terbuka dalam merespon setiap gagasan baru yang dapat dinilai lebih baik, juga mempertahankan tradisi yang masih dinilai cukup baik dan belum perlu untuk tergantikan. Mengenai ini, Gus Dur menerapkan di sekitar lingkungan dirinya, dengan mengaplikasikan Al-Muhafadah ala qadimi as-shalih wal-akhdu bil jadid al-ashlah baik dalam jaringan pesantren, termasuk kelembagaan NU itu sendiri. Selain bertolak pada kedua prinsip di atas, pandangan Gus Dur terhadap Pancasila juga tak lepas dari pembacaannya terhadap perjalanan sejarah perjuangan Indonesia. Pertama yang ditilik Gus Dur dalam sisi historis kebangsaan adalah saat Presiden Soekarno meminta dan menerima para tokoh NU untuk mempertimbangkan penyusunan Pancasila sebagai dasar negara di tahun 1945, menurut Gus Dur, dari titik itulah terdapat poin yang menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme, Islam dapat berkembang dengan baik dalam kerangka kenegaraan nasional. Masih tentang hasil analisa sejarah yang mewarnai respon Gus Dur terhadap Pancasila, salah satunya  adalah fakta sejarah bahwa ulama-ulama dengan cara mereka sendiri dan NU telah ikut berjuang merebut kemerdekaan sebagai kewajiban keagamaan. Mendirikan negara sebagai jalan untuk mengupayakan kesejahteraan bagi NU adalah wajib hukumnya. Negara diperlukan untuk meningkatkan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian, maka semua upaya membangun untuk kesejahteraan wajib hukumnya. Masa Depan Islam dan Pancasila Jika Gus Dur telah disepakati sebagai salah satu sosok yang menggerakkan Pancasila dari masa ke masa, terutama mengenai hubungan Pancasila dengan Islam, maka seperti apa tantangan Indonesia sepeninggal Gus Dur?. Hal ini dapat disorot dari perihal keterbukaan dan kebebasan pasca-Reformasi 1998. Satu sisi kebebasan tersebut bisa dianggap sebagai sebuah kemerdekaan baru bagi kelompok minoritas yang sebelumnya tersisihkan, juga bagi kelompok besar yang memiliki wawasan  kebangsaan yang  luas sehingga memunculkan pentingnya untuk mengayomi setiap kelompok, termasuk memperjuangkan hak-hak minoritas. Tapi di sisi lain, kebebasan ini juga bisa diambil alih oleh kelompok-kelompok yang menjadikannya kesempatan untuk menolak perbedaan dan fakta keragaman Indonesia, termasuk menolak dan mempermasalahkan Pancasila dengan mengatas-namakan kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. Dalam segi keagamaan, kelompok yang terakhir disebut adalah kelompok Islam yang kerap mengkampanyekan gagasan negara Islam, bahkan, demi melepaskan “keterkungungan”nya, mereka telah berani melucuti  asas Pancasila dalam kehidupan bernegaranya di Indonesia. Probem di atas akan membuat semakin menukik jika atas nama pembaruan digunakan untuk menyerang Pancasila. Maka, masa depan hubungan Islam dan Pancasila bisa dikatakan tertantang oleh istilah pembaruan, kemerdekaan, dan kebebasan yang sebenarnya dimiliki oleh Pancasila itu sendiri. Dalam menjajaki hal ini, kajian sejarah tetap menjadi penting untuk dipegang, seperti apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur dalam kiprahnya mengawal Pancasila. Pertama, kelompok penentang Pancasila dapat diimbangi dengan istilah “peminjaman budaya yang selektif" yang pernah didengungkan Ki Hajar Dewantoro. Di mana pembaruan harus dilihat dari segenap faedah dan mempertimbangkan nafas lokal Indonesia. Karena harus benar-benar diakui bahwa kelompok ini merupakan bagian dari reaksi jaringan global, bukan skala lokal, jangan sampai, masa depan Pancasila diberangus oleh istilah pembaruan dan kelompok lainnya tidak dapat berperan karena terperangkap oleh kesan kontra-pembaruan. Kedua, seperti yang dilakukan oleh Gus Dur, bahwa Pancasila harus dikawal dengan baik oleh pelaku yang baik pula. Bukan Pancasila yang terlampau diagungkan menjadi senjata pamugkas era Orde Baru, bukan pula dilebur-totalkan melalui penerjemahan pemerintahan sekular. Pancasila harus menempati posisi semula, sebagai polisi yang adil di antara berbagai kelompok, dan sebagai meja diskusi untuk mendengar masing-masing aspirasinya. Karena fungi-fungsi tersebutlah yang menjadikan Gus Dur berkata bahwa “Tanpa Pancasila, Indonesia tidak akan ada”, atau jika pun ada, Indonesia sekadar raksasa mati dan bukan sebagai negara yang dicita-citakan.   YOYOK SUKRON AMIN Tulisan ini pernah dimuat di wahidinstitute.org edisi 23 Desember 2013.
Tags :