KPK dan Bidik Teror Pemberantas Korupsi

| Minggu, 13/08/2017 20:05 WIB
KPK dan Bidik Teror Pemberantas Korupsi
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) dilahirkan dengan segunung harapan bisa membantu Indonesia lepas dari praktek korupsi. Sementara korupsi dipandang sebagai perilaku destruktif yang menjadi musuh bersama sejak awal reformasi. Tuntutan reformasi '98 dan aspirasi pemberantasan korupsi tak terpisahkan. KPK dibentuk untuk melengkapi fungsi pemberantasan korupsi yang terlihat lamban diemban oleh kepolisian dan kejaksaan. Keberadaan KPK diharapkan dapat menekan jumlah tindak pidana korupsi dan memberi efek jera kepada para koruptor. Dalam perjalanannya KPK tidak pernah melalui jalan mudah. Bahkan terjal, berbatu dan penuh ngarai jurang dengan jebakan ranjau di sana-sini. KPK selalu menjumpai perlawanan keras dari banyak pihak, baik dari mereka yang diduga pelaku korupsi maupun institusi hukum lainnya. Pelbagai kontroversi itu beberapa berujung kepada tindak kekerasan dan kriminalisasi. Kita mencatat bagaimana nama-nama petinggi lembaga ini menerima kenyataan pahit: Antasari terseret kasus pembunuhan kemudian dibui sekian tahun (disertai kisah mesum yang disetting untuk meruntuhkan kredibilitasnya), Bibit dan Candra dikriminalisasi dan sempat ditahan polisi. Lalu ada Abraham Samad yang dituding membuat dokumen palsu, Bambang Wijojanto ditangkap polisi dan dijerat kasus kesaksian palsu, dan yang terbaru penyidik Novel Baswedan disiram air keras hingga membahayakan wajah dan matanya selepas menerima serangkaian ancaman teror. Kasus kekerasan yang bisa juga dihubungkan dengan KPK adalah kematian saksi kunci kasus E-KTP Joannes Marliem. Banyak yang ragu kematiannya karena bunuh diri. Singkat kata, kinerja KPK berdekatan dengan ancaman kekerasan. Levelnya bisa jadi sebanding dengan perlawanan bandit narkoba yang dengan baik digambarkan di film God Father. Para koruptor tidak segan mengganggu kinerja KPK kalau perlu dengan kekerasan. Seharusnya negara juga tidak boleh kalah dengan teror semacam ini. Pada saat yang sama lembaga ini juga terus-menerus diserang secara politik dengan upaya pelemahan. DPR RI sebagai kekuatan politik terkemuka tidak terlihat berdiri melindungi KPK atau bahu-membahu bekerja melawan koruptor, malah sebaliknya. Persepsi publik menempatkan DPR sebagai anti tesis yang justru bekerja menggerogoti KPK. Di saat yang sama dukungan yang memadai dari lembaga eksekutif (baca: presiden) juga tidak memadai. Lihatlah, presiden terkesan pasif ketika para parpol pendukunya silih berganti menggebuki KPK. Bahwa KPK bukan mahluk sempurna itu pasti. Sebagai lembaga dia tentu punya kelemahan. Tapi mencaci-maki KPK dan berupaya melemahkan kewenangannya dengan menggunakan dalih "untuk menguatkan KPK" adalah argumentasi lucu yang menipu akal sehat. Menghadapi itu KPK perlu segera menggalang dukungan dari semua elemen pro pemberantasan korupsi untuk menghadapi segala ancaman di depan mata. KPK juga perlu menagih komitmen Presiden Joko Widodo terkait serangan politik dari sebagian parpol pendukungnya yang tak pernah henti. Presiden tidak boleh berkilah, itu ranah legislatif. Dengan kekuatan politiknya presiden bisa mengajak bicara para pendukungnya di DPR dan meminta mereka menghentikan segala upaya yang dapat mengancam eksistensi KPK. Di luar itu, kekuatan civel society juga bisa terus menyuarakan dukungan dan mengambil langkah-langkah yang memungkinkan dalam koridor demokrasi. Kampanye: "jangan pilih wakil rakyat pembela koruptor", bisa terus digemakan. ABDUL ARIF Pemerhati Sosial dan Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 
Tags :