Menjaga Ketahanan Pangan Lewat Perlindungan Hutan Sagu di Papua

| Senin, 07/09/2020 18:32 WIB
Menjaga Ketahanan Pangan Lewat Perlindungan Hutan Sagu di Papua Sagu untuk Kedaulatan Pangan Papua dan Indonesia (Doc: Berita Papua)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM – Pada masa awal pandemi, pemerintah sibuk menutup pusat perekonomian seperti pusat pusat perbelanjaan sebagai respon dari meningkatnya penyebaran virus corona.

Kendati demikian, tiga bulan setelahnya pemerintah mulai melonggarkan peraturan di pusat-pusat perekonomian akibat ancaman dari mandeknya perekonomian dan gaungan – gaungan resesi yang akan terjadi.

Fenomena ini juga memicu kekahwatiran masyarakat terhadap pasokan bahan pangan dan membuat pola panic buying oleh masyarakat. Akibatnya permintaan bahan pangan tiba tiba melambung dan berakibat pada naiknya harga.

Di wilayah Indonesia bagian Timur, fenomena ini diperparah dengan harga beras yang melambung ke angka Rp 20.000 per kg.

Salah seorang warga yang bernama Amos dari Sorong, Papua Barat menyaksikan fenomena ini dengan menyebut jika dampak terbesarnya adalah masyarakat pelosok yang memiliki keterbatasan akses sehingga khawatir tidak dapat memenuhi kebutuhan berasnya

“Berkenaan dengan masalah itu, saya sempat membaca sebuah berita online mengenai kendala Bulog mengimpor beras yang berujung pada imbauan pemerintah untuk melirik sagu sebagai alternatif pangan. Seketika, saya teringat dengan kampung-kampung di pesisir Papua yang hampir seluruhnya memiliki dusun sagu yang ditanam masyarakat ataupun hutan sagu yang ditumbuhi secara alami.

Amos megingatkan pemerintah dengan menekankan jika Sagu adalah makanan pokok masyarakat pesisir Papua yang mudah ditemui di tanah Papua.

“Jauh sebelum beras, sagu lah yang menghidupi masyarakat pesisir, di samping juga pisang dan umbi-umbian. Ketergantungan terhadap beras justru tidak begitu mereka rasakan,” ungkap Amos, dikutip dalam wawancara GreenPeace, Senin 7 september 2020.

Ia memaparkan bahkan di wilayah pegunungan, ubi jalar menjadi santapan pagi, siang, dan malam. Pemandangan anak-anak yang memakan ubi jalar bakar sambil berangkat sekolah juga tidak jarang ditemui.

“Bagaimana tidak, pohon sagu banyak tumbuh di pinggir rumah. Butuh makan tinggal tebang dan olah jadi papeda. Pelengkap sempurnanya yang berupa udang, ikan, dan sayuran tinggal mereka ambil ke hutan dan laut belakang rumah. Semuanya tersedia di sekitar tempat tinggal mereka,” tambahnya.

Sayangnya ia menilai saat ini telah terjadi alih fungsi lahan dari perkebunan sagu ke perkebunan sawit. Ia memandang pemerintah kurang punya niat baik untuk mempertahankan lahan perkebunan sagu di Papua.

“Saya melihat pihak perusahaan sawit yang kala itu membuka lahan di sebuah kawasan hutan. Di sana saya melihat begitu banyak pohon sagu yang tumbang begitu saja dan segera berubah menjadi sawit. Beberapa kawasan hutan dan dusun sagu yang disulap menjadi kebun sawit,” ujarnya.

Dengan banyaknya peralihan fungsi lahan tersebut, masyarakat mulai beralih mengkonsumsi beras yang bahkan belum bisa mereka tanam sendiri. Ketergantungan terhadap beras semakin menggila saat adanya program Beras Miskin yang harganya disubsidi oleh pemerintah.

“Saya membayangkan, jika sejak dulu pemerintah memberikan subsidi bagi pengembangan sagu, bahkan memfasilitasi pemasaran sagu, tidak akan ada kepanikan akan makanan pokok seperti sekarang. Sagu akan begitu mudah dijumpai, mungkin juga dengan harga yang miring dibanding beras impor,” ujar Amos.

Ia berharap pemerintah dapat mempertahankan sagu sebagai salah satu makanan pokok di Indonesia seperti zaman dulu.

“Sagu-sagu itu tentu mampu untuk turut memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, tanpa perlu khawatir dengan stok makanan di masa pandemi seperti ini. Tidak perlu juga menghabiskan uang negara untuk mengimpor beras, apalagi menghancurkan hutan yang luas untuk dikonversi menjadi ladang sawah,” tukasnya.

Tags : sagu , hutan , papua , pangan

Berita Terkait