Greenpeace: Kebijakan Pemerintah Gunakan Biomassa Untuk Co-firing Tak Efektif

| Jum'at, 16/10/2020 16:50 WIB
Greenpeace: Kebijakan Pemerintah Gunakan Biomassa Untuk Co-firing Tak Efektif Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Doc: GP)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM – Pemerintah tengah menerapkan penggunaan biomassa sebagai substitusi batubara dengan komposisi 1 hingga 5 persen pada proses co-firing di beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif mengatakan jika pemanfaatan biomassa ini efektif untuk mengganti pemakaian batubara khususnya dalam mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca.

"Ada dua bahan baku yang jadi campuran metode co-firing, yakni sampah dan limbah/hasil hutan berupa kayu, ini dicampurkan 1% hingga 5%. Kalau diakumulasikan potensinya cukup menjanjikan," ungkap Arifin dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.

Beberapa pengamat juga memberikan pandangan positif terkaitan pemanfaatan biomassa untuk substitusi batubara. Mereka menilai jika pemanfaatan biomassa dapat mengurangi produksi limbah yang terjadi secara terus menerus.

Kendati demikian Greenpeace menilai secara berbeda dengan keberadaan biomassa yang diklaim dapat mengurangi pemakaian energi fosil ini.

Dalam laporan terbarunya, Greenpeace menjelaskan jika metode co-firing dengan menggunakan biomassa tetap tidak akan berdampak banyak pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Pasalnya pemerintah hanya mencampurkan porsi sampah dan limbah di kisaran 1—5 persen. Sementara sisanya sebanyak 95 persen tetap menggunakan energi batu bara. Pencampuran 5 persen dari co-firing hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5,4%.

Penggunaan sampah ini juga dinilai tidak akan menyelesaikan krisis sampah khususnya plastik, dan justru berpotensi menurunkan efisiensi boiler PLTU.

“Komposisi sampah yang masih didominasi oleh sampah sisa rumah tangga dan belum adanya sistem pemilahan yang baik memperkuat alasan mengapa sampah bukanlah pilihan yang tepat sebagai sumber energi alternative,” ungkap Greenpeace dalam laporannya, 14 Oktober 2020.

Sementara dari sisi polusi udara, penggunaan co-firing tetap tidak akan maksimal jika tidak didorong dengan teknologi air pollution control (APC) yang baik. Sedangkan, regulasi saat ini belum memaksa penggunaan teknologi APC  karena mahalnya biaya retrofit yang harus dikeluarkan oleh PLTU yang pada akhirnya berujung pada kenaikan tarif listrik jika tidak ada subsidi dari pemerintah.

“Pemanfaatan biomassa sebagai campuran batu bara untuk bahan baku PLTU sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, adalah hal yang keliru dan merupakan solusi semu. Penggunaan sampah justru berpotensi menambah permasalahan baru,” tukas mereka.

 

 

 

Tags : Greenpeace , Biomassa , PLTU , Batubara

Berita Terkait