Indonesia Disarankan Ambil Pelajaran dari Krisis Energi di Inggris

| Kamis, 30/09/2021 13:28 WIB
Indonesia Disarankan Ambil Pelajaran dari Krisis Energi di Inggris Operasional Jaringan Gas Bumi (Doc: Bantennews)

RADARBANGSA.COM  - Saat ini Inggris tengah dikabarkan mengalami krisis energi yang  mengakibatkan harga jual bahan bakar minyak (bbm) dan gas melonjak.

Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan bahwa krisis energi yang saat ini terjadi tak lepas dari imbas brexit dan pandemi Covid-19.

Terhitung sejak Januari 2021, harga gas di Eropa melambung hingga 250%.

Mengutip CNBC, Salah satu alasan mengapa harga gas mengalami kenaikan adalah dibukanya kembali ekonomi negara-negara setelah lockdown akibat Covid-19. Ini juga bersamaan dengan meingkatnya permintaan memasuki musim dingin, baik di Eropa maupun Asia.

Di Amerika serikat, pasokan gas dilaporkan berkurang akibat penghentian produksi di fasilitas milik Amerika Serikat (AS).

Akibanya, sejumlah negara terpukul keras, di antaranya Inggris. Tagihan listrik di Inggris dilaporkan yang paling mahal di Eropa mencapai 475 pound atau sekitar Rp 9,3 juta.

Harga kontrak pembelian listrik juga mendekati rekor tertinggi di Inggris, karena banyaknya listrik yang diimpor dari Prancis.

Tak sampai di situ saja, industri energi pun terancam bangkrut berjamaah. Harga produksi listrik rata-rata 291,18 euro (Rp 4,8 juta) per megawatt-jam. Kenaikan harga gas juga menyebabkan penutupan dua pabrik pupuk besar di Teesside dan Cheshire.

Dari fenomena yang dialami di Inggris, pengamat energi  dalam negeri meminta agar pemerintah Indonesia bisa memetik pelajaran dari Inggris. Keputusan inggris yang kini kembali menggunakan PLTU Batu Bara menjadi salah satu yang harus digarisbawahi

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, energi baru terbarukan (EBT) hanya 12 persen pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Rabu 29 September 2021.

Sejauh ini, kata dia, teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Komaidi melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah, sehingga Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi. Ia menilai, energi baru terbarukan bisa dikembangkan, tetapi belum kompetitif.

Menurutnya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU saat ini sudah memakai teknologi maju, di antaranya PLTU ultra super critical (USC) yang bisa dihitung biaya produksinya.

“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional yang mana pada 2050 konsumsi fosil masih besar dan EBT hanya 23 persen maksimal,” terang Komaidi.

Tags : inggris , krisis energi