Menandakan Berhentinya Darah Haid Menurut Fikih

| Kamis, 06/05/2021 17:48 WIB
Menandakan Berhentinya Darah Haid Menurut Fikih perempuan

RADARBANGSA.COM - Haid atau menstruasi adalah proses keluarnya darah dari vagina yang terjadi diakibatkan siklus bulanan alami pada tubuh wanita. Siklus ini merupakan proses organ reproduksi perempuan untuk bersiap jika terjadi kehamilan. Berdasarkan kajian fikih, masa haid umumnya terjadi selama tujuh hari. Dengan paling sedikit masa menstruasi adalah satu hari dan paling lama lima belas hari. 

Perempuan yang sedang haid tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah tertentu seperti salat, puasa dan membaca Alquran. Dan diwajibkan bagi mereka untuk bersuci dari najis darah haid ketika sudah selesai mengeluarkan darah haid. Lantas bagaimana menandakan berhentinya haid bagi perempuan dan kapan harus bersuci. Karena tiap perempuan memiliki siklus yang berbeda terkait menstruasi/haid, ada yang lancar selama tujuh hari dan ada yang tidak lancar atau berhenti-berhenti (mampet) dala 15 hari tersebut.

Mengutip nu online, dalam Mazhab Syafi`i setidaknya terdapat dua pendapat yang membahas mengenai hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa darah yang keluar lagi setelah bersih dari keluarnya darah haid, maka darah tersebut masih dikategorikan sebagai darah haid. Namun, tetap dengan catatan tidak melebihi 15 hari dari hari pertama haid dan darah yang keluar tidak kurang dari batas minmal haid yaitu satu hari satu malam.

Pendapat kedua menyatakan ketika darah haid telah berhenti maka dihukumi suci. Logika yang digunakan pendapat ini adalah bahwa jika keluarnya darah itu menunjukkan haid maka ketika darah itu berhenti menunjukkan suci. Misalnya ketika seorang perempuan mengalami haid selama sepuluh hari kemudian berhenti dan setelah dua hari keluar lagi, maka yang dua hari dihukumi suci.     

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ إِذَا عَادَ الدَّمُ بَعْدَ النَّقَاءِ، فَالْكُل حَيْضٌ - الدَّمُ وَالنَّقَاءُ - بِشُرُوطٍ: وَهِيَ أَنْ لاَ يُجَاوِزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا، وَلَمْ تَنْقُصِ الدِّمَاءُ مِنْ أَقَل الْحَيْضِ، وَأَنْ يَكُونَ النَّقَاءُ مُحْتَوَشًا بَيْنَ دَمَيِ الْحَيْضِ. وَهَذَا الْقَوْل يُسَمَّى عِنْدَهُمْ قَوْل السَّحْبِ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. وَالْقَوْل الثَّانِي عِنْدَهُمْ هُوَ أَنَّ النَّقَاءَ طُهْرٌ، لأِنَّ الدَّمَ إِذَا دَل عَلَى الْحَيْضِ وَجَبَ أَنْ يَدُل النَّقَاءُ عَلَى الطُّهْرِ وَيُسَمَّى هَذَا الْقَوْل قَوْل اللَّقْطِ (وزارة الأوقاف والشؤن الإسلامية كويت، الموسوعة الفقهية الكويتية، كويت-دار السلاسل، الطبعة الثالثة، ج، 18، ص. 305)

“Ulama dari kalangan mazhab Syafii berpendapat bahwa ketika darah itu kembali setelah bersih (mampet) maka darah keseluruhan darah— yaitu darah yang keluar dan ketika berhenti—dihukumi haid dengan syarat darah yang keluar (dari yang pertama samapi habisnya masa yang kedua) tidak melebihi lima belas hari, tidak kurang dari batas minimal haid, dan mampetnya meliputi di antara dua haid. Mereka menamai pendapat ini dengan qaul sahb. Dan inilah yang mu’tamad menurut mereka. Pendapat kedua menurut kalangan madzhab syafii adalah bahwa pada saat berhenti (mampet) dihukumi suci. Sebab, ketika keluarnya darah itu menunjukkan haid maka ketika berhenti menunjukkan suci. Pendapat ini disebut qaul laqth”. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Dar as-Salasil, cet ke-3,juz, 18, h. 305)

 

 

 

Tags : Haid , Perempuan

Berita Terkait