PKB dan Revolusi Kader: Menanamkan Islam Aswaja sebagai Jalan Ideologis Politik Kebangsaan

Penulis : Khariri Makmun*
RADARBANGSA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menunjukkan sebuah transformasi serius dalam tubuh internalnya bukan hanya sekadar konsolidasi politik elektoral menjelang pemilu, tetapi juga komitmen jangka panjang untuk memperkuat basis ideologisnya. Sebuah langkah yang jarang ditempuh oleh partai politik berbasis massa Islam dalam lanskap politik pragmatis Indonesia. Gagasan Pendidikan Kader Penggerak Bangsa (PKPB) yang digagas langsung oleh Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar, adalah titik balik dalam sejarah partai ini. Ini bukan pelatihan politik biasa. Ini adalah proyek ideologis yang serius, terukur, dan terstruktur.
PKPB menandai perubahan paradigma penting di tubuh PKB. Di tengah riuhnya kontestasi elektoral, di mana partai cenderung mengejar popularitas sesaat dan pendekatan transaksional demi elektabilitas, PKPB hadir sebagai semacam laboratorium ideologis. Ia menjadi benteng pemurnian arah partai agar tetap dalam koridor khittah Nahdliyyah yakni garis politik yang berpijak pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), nilai-nilai kebangsaan, dan keadaban publik. Inisiatif ini menjadi sangat penting karena politik kita terlalu lama didera oleh sikap populisme buta yang melemahkan akar ideologis kader partai.
Fondasi Nilai dan Arah Perjuangan Partai
Dibawah arahan dan kepemimpinan intelektual KH. Abdul Mun’im DZ, serta didampingi instruktur-instruktur nasional seperti KH. Adnan Anwar, KH. Hernowo, dan KH. Khariri Makmun, program ini tidak dijalankan setengah hati. PKPB dirancang sebagai proses pembentukan watak politik jangka panjang. Tidak hanya tentang cara memenangkan pemilu, tapi bagaimana membangun karakter kader yang tahan banting, punya basis pemikiran keagamaan yang kuat, dan memahami politik sebagai bagian dari ibadah sosial. Di sini, Islam tidak hanya dijadikan simbol atau justifikasi retorik, tetapi benar-benar dijadikan fondasi nilai dan arah gerak perjuangan partai.
Konsep “24 karat Islam Aswaja” yang digaungkan oleh PKPB bukan retorika kosong. Ini adalah bentuk peneguhan kembali terhadap ruh pendirian PKB pada 1998, yang kala itu menjadi representasi kultural-politik dari komunitas Nahdliyyin yang merasa perlu punya kendaraan politik sendiri pasca reformasi. Semangat ini kini dihidupkan kembali dengan konteks yang berbeda: ketika demokrasi elektoral telah menciptakan banyak politisi oportunis, maka PKB ingin mencetak politisi yang tahan godaan kekuasaan, kuat dalam prinsip, dan mampu mempengaruhi kebijakan nasional berdasarkan nilai Aswaja.
Proyek ini juga menunjukkan bahwa PKB tidak ingin terjebak menjadi partai pengumpul suara berbasis identitas keagamaan semata. Ideologisasi kader dalam PKPB diarahkan agar PKB mampu menjadi pelopor politik etik, politik gagasan, dan politik berkeadaban. Dalam dunia yang makin keras oleh narasi kebencian, pragmatisme vulgar, dan politik uang, keberadaan partai seperti PKB yang menekankan pentingnya visi dan akhlak adalah anomali yang penting dipelihara. Di titik inilah, PKPB memiliki fungsi strategis membangun "karakter ideologis" kader yang bisa menjadi aktor perubahan dalam demokrasi yang sehat dan inklusif.
Salah satu kekuatan PKPB adalah keberanian menyebut diri sebagai wadah pembentukan ideologisasi berbasis Islam Aswaja bukan Islam simbolik, bukan Islam retoris, tapi Islam substantif. Sebagai ajaran yang diwarisi dari para ulama pesantren, Islam Aswaja tidak hanya berbicara tentang ibadah, tapi juga menekankan pentingnya tatanan sosial, etika publik, dan komitmen terhadap kebangsaan. Ini sejalan dengan tesis para cendekiawan Muslim progresif bahwa Islam tidak sekadar agama ritual, tetapi peradaban yang harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik.
Dalam banyak pelatihan PKPB, para peserta tidak hanya diajarkan strategi kampanye atau komunikasi politik, tetapi juga pemahaman mendalam tentang sejarah NU, dinamika politik kebangsaan, filsafat politik Islam, serta krisis peradaban kontemporer. Materi-materi seperti Islam Nusantara, teori maqashid syariah, hingga sejarah perjuangan kebangsaan NU diintegrasikan secara sistematis. Hal ini membuktikan bahwa PKPB bukan tempat menanamkan loyalitas kosong, tapi menciptakan kader yang punya kesadaran ideologis dan historis.
PKPB bukanlah institusi yang berdiri dalam ruang hampa. Ia lahir dari kesadaran kolektif bahwa partai politik modern, apalagi yang lahir dari rahim pesantren seperti PKB, tidak bisa bertahan hanya dengan kekuatan elektoral semata. Harus ada kedalaman ide, kekokohan nilai, dan kontinuitas kaderisasi. Ketiadaan hal-hal ini akan mengakibatkan partai kehilangan arah, mudah digiring pada transaksi kekuasaan, dan rawan mengalami deviasi dari cita-cita awal. Dalam konteks ini, PKPB menjadi semacam koreksi internal terhadap praktik politik yang terlalu pragmatis.
Merebut Ruang Hegemonik Politik Nasional
Jika kita tarik lebih jauh, proyek PKPB sebenarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai "hegemoni budaya." PKB melalui PKPB sedang membangun narasi tandingan terhadap dominasi politik transaksional. Dengan menggali kekayaan tradisi pesantren, membumikan nilai-nilai Aswaja dalam konteks kekinian, dan mendistribusikan gagasan itu lewat kader yang militan, PKB sedang mencoba merebut ruang hegemonik dalam dunia politik nasional. Ini bukan perkara kecil. Ini perjuangan besar yang membutuhkan konsistensi, visi jangka panjang, dan komitmen ideologis yang tak gampang goyah.
Lebih dari itu, keberadaan PKPB menjadi jawaban atas tantangan regenerasi kepemimpinan di tubuh PKB. Di tengah krisis kaderisasi di berbagai partai politik, di mana politisi muda muncul hanya sebagai pelengkap daftar caleg, PKPB justru membangun ruang yang mendorong lahirnya politisi muda yang punya kompetensi, idealisme, dan basis pemikiran yang kuat. Ini adalah investasi ideologis yang hasilnya mungkin tidak instan, tapi dampaknya akan terasa dalam satu atau dua dekade ke depan.
PKPB juga membuktikan bahwa PKB tidak ingin menjadi partai yang terjebak dalam romantisme masa lalu atau sekadar menjual nama besar NU. Justru dengan memperkuat nilai-nilai Aswaja, PKB berani tampil sebagai partai yang punya gagasan, bisa bersaing dalam wacana politik modern, dan tetap kokoh dalam jati dirinya. Tantangan politik global yang penuh ketidakpastian, konflik identitas, dan krisis ekologis membutuhkan politisi yang bukan hanya rasional, tapi juga punya akar nilai. PKPB mencoba mencetak tipe-tipe politisi semacam ini.
Dalam konteks kebangsaan, proyek PKPB juga menjadi bukti bahwa Islam dan nasionalisme bukan dua hal yang saling bertentangan. Justru dalam tradisi Aswaja yang hidup di pesantren-pesantren NU, nasionalisme dipandang sebagai bagian dari iman. Maka, politisi PKB yang lahir dari rahim PKPB diharapkan mampu menjaga integritas negara sekaligus menegakkan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin. Di sini, PKPB menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan politisi yang punya ruh keulamaan, ketajaman analisis sosial, dan kematangan politik.
Sistem Kaderisasi Berkelanjutan
Perlu digarisbawahi, bahwa PKPB bukan hanya semacam pelatihan teknokratik untuk meningkatkan kapasitas individual kader. Lebih jauh dari itu, ia adalah proses pembentukan kolektivitas kader yang punya kesadaran kelas, kesadaran sejarah, dan kesadaran ideologis. Dengan begitu, mereka tidak hanya hadir sebagai individu politisi, tapi bagian dari gerakan besar yang ingin membenahi politik nasional dari dalam.
Langkah PKB melalui PKPB ini tentu tidak akan bebas dari tantangan. Pertama, konsistensi implementasi. Dalam banyak kasus, program semacam ini hanya berhenti di tataran seremoni atau dokumentasi. Butuh keseriusan struktural agar PKPB tidak hanya dijalankan sebagai proyek pencitraan, tapi betul-betul menjadi sistem kaderisasi yang berkelanjutan. Kedua, resistensi dari dalam. Tidak semua kader atau elit partai nyaman dengan pendekatan ideologis ini, karena akan mengganggu pola pikir pragmatis yang selama ini dinikmati. Maka, PKPB harus dikelola oleh orang-orang yang punya integritas dan tidak mudah ditundukkan oleh tekanan elite.
Ketiga, tantangan eksternal berupa tekanan politik, terutama menjelang pemilu. Ketika politik makin kompetitif, godaan untuk kembali pada pendekatan populis dan transaksional akan semakin kuat. Di titik ini, PKPB harus menjadi filter ideologis yang mengarahkan partai agar tidak kehilangan orientasi. Dengan kader yang kuat secara ideologis, PKB bisa mengambil posisi yang lebih terhormat dalam kontestasi politik nasional.
Pada akhirnya, PKPB adalah pertaruhan besar PKB untuk menjadi partai yang bukan hanya punya massa, tapi juga punya visi. Di tengah dunia politik yang makin dangkal, hadirnya kader-kader PKB yang punya kedalaman intelektual, spiritual, dan keberanian politik akan menjadi aset penting bangsa ini. PKPB adalah upaya menegaskan bahwa politik tidak boleh kehilangan jiwa. Dan Aswaja adalah jiwa itu.
PKPB bukan sekadar pelatihan. Ia adalah gerakan. Dan dalam konteks Indonesia yang sedang mencari arah baru setelah krisis kepercayaan terhadap partai politik, langkah PKB ini bisa menjadi contoh penting: bahwa partai politik bisa menjadi sekolah ideologi, tempat menempa karakter, dan ruang membangun peradaban.
Bukan tidak mungkin, jika PKPB terus dikembangkan secara serius, suatu saat PKB bisa tampil sebagai kekuatan ideologis yang bukan hanya mewakili kepentingan warga NU, tetapi juga kepentingan nasional secara lebih luas. Sebuah kekuatan yang memadukan akar religius, etika politik, dan visi kebangsaan dalam satu tarikan napas perjuangan. Dan jika itu terjadi, maka sejarah akan mencatat: PKB tidak sekadar partai, tapi pelopor kebangkitan politik bermartabat di Indonesia.
*Penulis : Direktur Moderation Corner, Jakarta.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
-
Bupati Ipuk Harap Ratusan Guru PAI Lulusan PPG Bisa Cetak Generasi Unggul Indonesia
-
KPK Soroti Poin Rawan Korupsi, Pemkab Pamekasan Diminta Berbenah
-
Wisuda ke-112 UINSA, Rektor Titip Pesan Bermakna
-
Gubernur Koster Pastikan Jalur Denpasar–Gilimanuk Kembali Dibuka 24 Jam Usai Perbaikan
-
PKB dan Revolusi Kader: Menanamkan Islam Aswaja sebagai Jalan Ideologis Politik Kebangsaan