Lagi, Menyoal Kenaikan Cukai Tembakau

| Selasa, 21/09/2021 20:44 WIB
Lagi, Menyoal Kenaikan Cukai Tembakau Pohon tembakau (foto nusabalicom)

Oleh: Prima Gandhi*

RADARBANGSA.COM - Indonesia tecatat sebagai sepuluh besar produsen dan konsumen tembakau di dunia. Mungkin hal inilah yaang mendasari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok tahun depan direncanakan bakal naik. Besaran kenaikan tarifnya belum disepakati, sebab pemerintah masih mengkaji dampak kebijakan fiskal tersebut terhadap beberapa aspek pertimbangan.

Sentra produksi daun tembakau di Indonesia berada di empat Provinsi yaitu Jawa Barat,Jawa Timur, NTB, dan Jawa Tengah. Jenis tembakau yang ada di Pulau Jawa khususnya di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah tembakau rakyat Varietas Jombang Jinten Pak Pie dan Varietas Manilo. 

Pola tanam petani tembakau adalah menanam padi pada Musim Tanam 1 (MT 1), jagung di MT 2, tembakau di MT 3 dan MT 4. Tembakau adalah salah satu komoditas pertanian perkebunan berorientasi pasar yang menyerap banyak tenaga kerja. Tanaman tembakau menjadi asa hidup di tengah kekeringan akibat musim kemarau berkepanjangan bagi sebagian besar petani di Kabupaten-Kabupaten penghasil tembakau.

Inilah kesimpulan penulis saat turun lapang ke kabupaten penghasil tembakau. Kekeringan akibat musim kemarau adalah salah satu contoh variabilitas cuaca yang mengancam kehidupan petani.

Variabilitas cuaca menyebabkan penurunan produksi tanaman akibat suhu udara, kekeringan dan kerusakan gabah. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi petani di tengah ancaman impor komoditas pertanian. Namun musim kemarau panjang tidak menjadi masalah berarti bagi petani tembakau karena tanaman ini tidak membutuhkan banyak air dibanding tanaman palawija.

High risk high return. Adagium ini berlaku juga pada budidaya tembakau. Budidaya tembakau membutuhkan modal besar dan perlakuan khusus. Menanam tembakau menjadi tantangan tersendiri di tengah kondisi lemahnya manajemen usahatani, profesionalisme, permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran petani Indonesia.

Tahun 2020, pemerintah memutuskan menaikkan tarif CHT sebesar 23% yang berlaku. Implikasi kenaikan ini adalah harga jual eceran rokok pun naik menjadi 35%. Kebijakan ini menjadi polemik di tengah masyarakat. Menurut pemerintah, kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi konsumsi, mengatur IHT serta menambah penerimaan negara. Apakah tujuan ini akan tercapai ? Mari kita lihat bersama.

Terkait dengan implementasi peraturan menteri keuangan (PMK) tentang kenaikan CHT tahun depan penulis menghimbau pemerintah agar tidak abai memberikan perhatiaan kepada petani tembakau. Pemerintah jangan hanya mengambil keuntungan dari hasil produksi petani tembakau, tapi harus membuat regulasi yang berpihak dan memberi perhatian kepada petani tembakau. Petani jangan dijadikan sapi perah.

Salah satu bentuk perhatian yang diperlukan petani tembakau adalah memfasilitasi dan mendorong implementasi kemitraan antara petani dan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) sesuai dengan Undang-Undang No.18 tahun 2004.

Akibat kenaikan tarif cukai pada kurun waktu tahun 2015 -2020 terjadi penurunan produksi rokok dari 348,1 miliar batang menjadi 322 miliar batang atau turun 7,47%.

Harapan Kemitraan Tembakau
Hubungan kelembagaan antara petani dengan perusahaan atau IHT adalah kelembagaan bisnis, bukan sosial. Kemitraan antar dua kelembagaan harus dilakukan atas dasar prinsip saling membutuhkan, bergantung, dan menguntungkan. Kemitraan wajib disertai dengan alih teknologi kepada petani agar dapat menghasilkan tembakau yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Hasil riset (Gandhi, 2019) menunjukkan bahwa alih teknologi dalam praktek budidaya bukan hal mudah, perlu waktu dan cara pendekatan yang sesuai. Melalui kemitraan, alih teknologi akan lebih mudah karena petani memiliki kepastian pasar hasil produk sesuai dengan keinginan industri mitra.

Dalam tataniaga tembakau selain memastikan terjadinya alih teknologi, pemerintah harus hadir dan memfasilitasi kemitraan antara IHT dengan petani. Namun pemerintah tidak boleh mengintervensi dan menyeragamkan bentuk kemitraan. Penerapan kemitraan di lapangan diserahkan kepada masing-masing petani dan perusahaan di setiap daerah. Alasannya karena model kemitraan tembakau sangat beragam mengikuti kearifan lokal daerah.

Berdasarkan realitas di lapangan, dalam pola kemitraan tataniaga tembakau ada lima hal yang perlu mendapat perhatian dan pembenahan yaitu : Pertama, keterbukaan. Keterbukaan merupakan salah satu kunci dasar dalam bekerjasama. Baik petani, perusahaan maupun pemerintah tidak boleh membatasi informasi yang berguna untuk kelangsungan kemitraan.

Petani harus menunaikan hak dan kewajibannya dengan mengupayakan budidaya optimal dan menghasilkan produk seusai mutu dan kriteria yang diharapkan. Perusahaan memberikan informasi terbuka terkait kriteria mutu dan harga kelas tembakau, transparan mengenai perizinan serta kebutuhan produksi tembakau baik kepada petani maupun pemerintah.

Kedua, birokrasi dan pengawasan. Untuk mendukung berkembangnya kemitraan antara petani dan perusahaan tentunya diperlukan peranan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Pihak pemerintah perlu menekan ego politik dan efisiensi prosedur birokrasi dalam mendukung realisasi kemitraan yang optimal.

Ketiga, penghargaan kepada petani. Penghargaan tentunya dapat memacu seseorang untuk menghasilkan output yang terbaik. Melalui apresiasi akan melahirkan persaingan positif antar petani dalam proses pencapaian sehingga dapat memicu lahirnya inovasi, ide dan sudut pandang baru. Adanya penghargaan juga dapat menjadi tujuan lain petani dari sekedar berlatar belakang memenuhi kebutuhan ekonomi menjadi sebuah perlombaan mendapatkan kebanggan (pride).

Keempat, toleransi pembelajaran dan inovasi. Keberlangsungan kemitraan diiringi dengan masuknya inovasi baru. Berkembangnya teknologi juga memiliki dampak terhadap akses keterbukaan informasi yang dapat dilakukan petani. Perusahaan sebagai mitra harus memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada petani sebagai pihak yang berkecimpung langsung selama tidak melanggar kontrak.

Kelima, bantuan dan pembekalan. Proses bertani tembakau tidak sesederhana komoditas pertanian lain. Butuh ketekunan, modal, input serta sarana produksi yang cukup untuk hasil optimal. Petani masih sangat membutuhkan subsidi, bantuan input dan sarana produksi untuk berkembang. Selain itu peningkatan kualitas sumber daya manusia masih dibutuhkan ditengah kondisi petani yang masih kental dengan unsur tradisional.

Selain kemitraan tembakau, ada beberapa rekomendasi untuk pemangku kepentingan dan masyarakat sipil untuk terus menguatkan sektor IHT: Pertama, penguatan lembaga-lembaga pemangku kepentingan IHT, seperti asosiasi petani tembakau, pabrikan, buruh industri IHT, sampai konsumen IHT. Kedua, membangun sinergi antar lembaga sehingga IHT bisa tumbuh secara dinamis, kuat, dan berdayaguna bagi kepentingan negara dan masyarakat. Ketiga, menumbuhkan jumlah riset serta inovasi di perguruan tinggi sehingga meningkatkan produktivitas dan kualitas pertanian tembakau Indonesia. Keempat, penggunaan DBH CHT diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 222/PMK.07/2017 tentang Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi DBH CHT harus memihak petani tembakau. Sebelumnya penggunaan DBCHT tersebut hanya untuk 5 program sesuai UU nomor 39 tahun 2007.

Dalam PMK 222/PMK.07/2017 secara detail diatur penggunaan DBH CHT minimal 50% untuk bidang kesehatan yang mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dukungan JKN dalam DBH CHT diarahkan pada sisi supply side yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di daerah sebagai unit layanan kesehatan terdepan dalam Program JKN.

Terakhir, ayo dukung petani tembakau, jangan biarkan petani tembakau berjuang sendirian menolak kenaikan cukai tembakau tahun 2022.

*Prima Gandhi merupakan Akadimisi IPB

** Materi ini disampaikan pada acara Istighosah Koalisi Tembakau, Majalengka, Selasa 21 September 2021.

Tags : Rencana Kenaikan Tembakau

Berita Terkait