Indonesia Jadi Ancaman Gagalnya Perjanjian Iklim Paris

| Rabu, 07/07/2021 16:43 WIB
Indonesia Jadi Ancaman Gagalnya Perjanjian Iklim Paris PLTU Terbesar di Indonesia (foto:economy.okezone.com)

RADARBANGSA.COM - Beberapa negara di Dunia termasuk Indonesia bisa menjadi ancaman gagal tercapainya target perjanjian Paris dalam upaya membatasi kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celcius atau bahkan target utamanya di bawah 2 derajat celcius. 

Laporan terbaru yang diterbitkan oleh lembaga Think Tank Carbon Tracker Initiative, dalam judul laporan Do Not Revive Coal beberapa waktu lalu, menyebutkan sebanyak lima negara, yakni China, India, Vietnam, Indonesia dan Jepang. 

Perjanjian Paris adalah kesepakatan global yang dilaksanakan di Paris, Prancis pada tahun 2015 dengan tujuan monumental untuk menghadapi perubahan iklim.

Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030.

Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam hal ini mengawal reduksi atau pengurangan emisi karbon dioksida.

Adapun, tujuan utama Perjanjian Paris tersebut adalah menjaga kenaikan temperatur global abad ini di bawah 2 derajat Celcius dan untuk mendorong upaya untuk membatasi kenaikan suhu lebih jauh ke 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

Alasan utama ancaman gagal tercapainya Perjanjian Paris ini berasal dari oenambangan batu bara. Pasalnya,  kelima negara ini masih berencana membangun hingga lebih dari 600 PLTU (dengan kapasitas lebih dari 300 GW) atau sekitar 80% porsi batu bara global. 

Indonesia sendiri masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan penggunaan PLTU batu bara ini. Di mana kapasitasnya mencapai 45 GW dan 24 GW pembakit baru sudah direncanakan untuk dibangun.

"Jadi sebenarnya penambahan PLTU batubara ini sangat bertolak belakang dengan komitmen penanggulangan krisis iklim. Di mana ren global berupaya mengurangi jumlah PLTU baru" tegas Adila Isfandiari, Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Laporan Do Not Revive Coal juga menyebutkan temuan fakta utama di masa depan biaya operasi PLTU yang dinilai akan lebih mahal dibandingkan dengan energi bersih terbarukan.

Pada tahun 2024, biaya Energi Terbarukan (ET) akan lebih murah dibandingkan pembangkit batu bara di seluruh dunia.

Sedangkan, pada tahun 2026, pengoperasian PLTU batu bara yang ada 100 persen lebih mahal dibandingkan pengoperasian ET.

Dengan adanya kompetisi dari ET dan regulasi yang semakin ketat, maka diproyeksikan PLTU batu bara akan semakin tidak menguntungkan.

Jika target Perjanjian Paris tercapai, sekitar 220 triliun US Dollar PLTU batu bara global yang sudah beroperasi beresiko menjadi aset terbengkalai (stranded assets).

Sekitar 80 persen PLTU batu bara global yang sudah beroperasi dapat digantikan oleh pembangkit Energi Terbarukan yang lebih hemat biaya.

PLTU batu bara diyakini dapat mengotori udara yang kita hidup dengan polutan beracun. Dengan PLTU yang tersebar dan beroperasi di Indonesia, melepaskan jutaan ton polusi tiap tahunnya. 

Polutan yang dihasilkan bisa berupa merkuri, timbal, arsenik, kadmium dan partikel halus namun beracun, yang telah menyusup ke dalam paru-paru kita. Oleh karena itu, polusi udara atau polutan ini dianggap sebagai pembunuh senyap yang menyebabkan 3 juta kematian dini di seluruh dunia.

 

 

Tags : PLTU , Batu Bara , Perjanjian Paris

Video Terkait