Lomba Cerpen Santri 2018

Barokah

| Rabu, 07/11/2018 19:58 WIB
Barokah Dok Radarbangsa

Oleh: Reza Akbar Maulana

RADARBANGSA.COM - Sedari kecil aku sudah dididik bapak untuk tidak manja. Mulai dari makan, berangkat sekolah, cuci pakaian dan lain-lain. Alasan bapak adalah, “Dia itu laki-laki, kalau dimanja mau makan apa anak istrinya nanti. Lagian dia kan habis ini mau dikirim ke pesantren.” Jawab bapak saat ditanya ibu.

Benar, setelah lulus sekolah dasar aku langsung dipondokkan. Tak hanya aku, semua sepupuku juga dipondokkan. Kata bapak ini adalah wasiat kakek. Kalau ada cucunya yang berjenis kelamin laki-laki maka wajib dipondokkan.

“Mereka itu orang tuamu.” Kalimat itu yang terucap dari mulut bapak sebelum meninggalkanku di pesantren.

Tiga bulan berlalu, liburan telah tiba. Aku pun pulang ke rumah naik bus sebab rumahku hanya  terpaut tiga kabupaten dari pondok. Sesampai di rumah, kupeluk ibu untuk melampiaskan rasa rindu. ”Kenapa kamu pulang? Justru saat liburan begini adalah kesempatan kamu berbakti pada orang tuamu.” Tiba-tiba suara bapak menyeruak. Tanpa tunggu esok  langsung aku kembali ke pondok, dalam kepalaku tiba-tiba saja muncul kejanggalan.

“Cermatilah orang tuamu.” Aku masih bertanya-tanya dengan pesan bapak. Apa mungkin… Ah, tidak, ah. Jawabku sendiri di perjalanan. Apa mungkin Pak Kiai memang bapakku? Atau mungkin bapak sudah tidak sudi memanggilku anak? Entahlah. Yang pasti sejak peristiwa itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan bapak sampai aku melihatnya terbujur kaku berbalut kain kafan berbaring di keranda mayat.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun dan benar saja semakin lama aku di pondok tanpa pulang aku semakin dekat dengan orang tua baruku. Ya, benar. Orang tua baruku. Perawat rohaniku. Lewat bantuan Cak khuluq, seorang abdi ndalem, aku sering masuk dapur pondok di belakang ndalem. Walaupun di situ aku hanya sekedar mencuci piring tak masalah yang penting aku dapat memulai khidmatku.

 Selama itu aku masih belum pernah melihat Pak Kiai. Tapi syukurlah aku setiap hari bisa mencium tangan Bu Nyai. Lama-kelamaan aku pun lebih sering di dapur pondok daripada di kamar pesantren. Akibatnya banyak teman sekamar menggunjingku.

“Lihat si Farid! Kalau mau tidur saja masuk kamar!” salah satu temanku nyerocos sambil menatap sinis. Biarlah ucapan mereka semua. Mungkin mereka belum mengetahui apa itu namanya mondok. Ujarku dalam hati sambil nyelonong saja ke kamar. Tak menggubris ucapan mereka.

Baca selengkapnya di sini

 

 

Tags : Hari Santri 2018 , Cerpen Santri , PKB

Berita Terkait