Negara yang Bergantung pada Pariwisata Hadapi Ancaman Utang Membengkak

| Rabu, 04/08/2021 06:24 WIB
Negara yang Bergantung pada Pariwisata Hadapi Ancaman Utang Membengkak Imbas Corona, Sektor Pariwisata Sepi (Foto: Digination. ID)

RADARBANGSA.COM - Negara-negara berkembang yang perekonomiannya bergantung pada pariwisata menghadapi ancaman utang yang membengkak dan lonjakan biaya di musim liburan paling dinanti tahun ini.

Mengutip dari Financial Times, penyebaran pandemi dan kekurangan vaksin menjadi pukulan bagi prospek ekonomi yang sudah rapuh, karena pengunjung semakin menjauh.

Dari data yang dirilis Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), dalam lima bulan pertama tahun ini, kedatangan wisatawan internasional global rata-rata turun 85 persen dari total pra-pandemi sebanyak 540 juta pada 2019.

Angka Juli 2021 itu pun lebih buruk dibanding periode yang sama tahun lalu, ketika kedatangan rata-rata turun 65 persen secara tahunan.

Asia-Pasifik merupakan kawasan yang sangat terpukul, dengan penurunan kedatangan wisman mencapai 95 persen dibandingkan rahun 2019 - sebagian besar karena ‘menghilangnya’ wisatawan China dari daftar pengunjung. Namun kedatangan turis AS telah mengurangi pukulan pada industri pariwisata di Karibia.

Kemerosotan pendapatan pariwisata di sebagian besar negara berkembang terjadi ketika utang pemerintah meningkat karena harus berjuang untuk membiayai penanggulangan pandemi.

Menurut Institute of International Finance (IIF), rata-rata utang pemerintah di emerging market (EM) besar naik dari 52,2 persen dari produk domestik bruto menjadi 60,5 persen pada 2020. Lonjakan terbesar dalam catatan IIF.

Akan tetapi kerusakan yang terjadi ditengarai tidak merata. Beberapa negara memasuki pandemi dalam kondisi yang lebih baik daripada yang lain, dan lebih mampu mengatasi badai.

Kepala ekonom IMF Gita Gopinath awal tahun ini telah memperingatkan bahwa kinerja ekonomi "melenceng secara berbahaya di seluruh dan di dalam negara, karena perekonomian dengan peluncuran vaksin yang lebih lambat, dukungan kebijakan yang lebih terbatas, dan banyak ketergantungan pada pariwisata berkinerja kurang baik".

Negara-negara yang paling berisiko, kata David Rogovic, analis senior di Moody`s Investors Service di New York, adalah “ekonominya lebih kecil dan kurang terdiversifikasi yang memasuki pandemi dengan kondisi fiskal yang lemah. Kawasan seperti Bahama, Maladewa, dan Fiji sangat bergantung pada pariwisata dan telah mengalami pukulan keras,” imbuhnya, seperti dikutip Financial Times, Selasa 3 Agustus 2021.

Luiz Eduardo Peixoto, ekonom EM di BNP Paribas, London, mengatakan sejauh ini kinerja sektr pariwisata tahun ini lebih buruk dari yang diperkirakan tahun lalu.

“Tahun lalu, ada asumsi bahwa pada 2021 kita akan melihat rebound,” katanya. “Tetapi penurunan [jumlah wisatawan] tahun lalu mendekati skenario [perkiraan] paling pesimistis oleh UNWTO karena kita tidak mendapatkan pemulihan selama musim dingin [di belahan bumi utara].

Justru sebaliknya. Tahun ini, segalanya tidak pulih seperti yang diharapkan,” Peixoto menambahkan.

Dia menuding lambatnya peluncuran vaksin di banyak negara berkembang dan penyebaran varian baru virus sebagai penyebab, yang telah menghalangi rencana negara untuk melonggarkan pembatasan perbatasan.

Contohnya China, yang mempertahankan batasan ketat pada perjalanan masuk dan keluar sejak awal pandemi. Langkah Beijing itu, memupuskan harapan Asia Tenggara sebagai tujuan wisata terbesar warga China.

Menurut Moody’s, Thailand menghasilkan 20 persen PDB dan lapangan kerja dari sektor pariwisata pada 2019. Upaya Bangkok untuk membuka gelembung pariwisata bagi pengunjung yang telah divaksinasi pada musim panas ini telah dimulai dengan awal yang tidak mulus, karena pengunjung tetap harus dites Covid-19 meskipun ada kontrol masuk.

Namun, kata Moody’s, runtuhnya pariwisata Thailand tidak membuat keuangan publiknya mengalami krisis. Ini karena kekuatan bidang ekonomi lain seperti manufaktur dan sektor jasa telah mengimbangi guncangan di sektor pariwisata.

Ekonomi Asia lainnya yang terdiversifikasi dengan baik seperti Filipina dan Kamboja berada dalam posisi yang sama.

Tetapi diversifikasi bukanlah pilihan bagi ekonomi pulau-pulau kecil, terutama di mana penurunan penerimaan pariwisata telah memperburuk masalah yang sudah ada sebelumnya.

Bahama, yang peringkat kreditnya telah diturunkan beberapa kali dalam dekade terakhir karena beban utangnya yang meningkat, adalah salah satu contoh keterpurukannya. Ketika pandemi melanda, Moody`s menurunkan lagi peringkat Bahama pada Juni tahun lalu, sebanyak dua tingkat, dan mempertahankan prospek negatif untuk kemungkinan penurunan lebih lanjut.

Fiji dan Maladewa menghadapi tantangan serupa karena meningkatnya utang. Moody`s juga memperingatkan dan negara itu menghadapi kesulitan untuk membiayai kembali utang mereka ke sejumlah pemberi pinjaman internasional.

Satu-satunya harapan adalah meningkatnya pariwisata lokal di negara-negara dengan kelas menengah. Sejumlah negara mengalami keuntungan yang cukup besar karena wisatawan dalam negeri memilih untuk tidak bepergian jauh, atau tinggal di rumah sepanjang tahun ini.

Peixoto dari BNP Paribas mencatat bahwa kapasitas maskapai penerbangan berjadwal untuk kuartal ketiga tahun ini di Rusia dan China meningkat dibanding periode yang sama tahun 2019, berkat peningkatan tajam dalam perjalanan domestik.

Negara-negara seperti Brasil, Filipina, Argentina, dan Meksiko termasuk yang diuntungkan.

“Kami melihat ini selama beberapa kuartal tahun lalu, bahwa orang Brasil yang biasanya pergi ke luar negeri tetap tinggal di negara itu, dan menghasilkan lebih banyak pendapatan di rumah,” katanya.

“Di Rusia, kondisi ini berkontribusi pada tekanan inflasi,” papar Peixoto.

Meningkatnya jumlah wisatawan domestik mungkin tidak menggantikan pendapatan devisa dari pariwisata untuk negara-negara tersebut, tetapi kondisi tersebut membuat hotel dan bisnis lain tetap buka dan pekerja tetap dipekerjakan.

Data UNWTO menunjukkan adanya pemulihan pada Mei lalu, ketika kedatangan wisatawan internasional naik hingga 82 persen, meski masih di bawah tingkat pra-pandemi, dari turun 86 persen di bulan April.

Sebagian besar pemulihan terjadi di negara maju, namun, memberikan sedikit berita positif untuk negara-negara yang bergantung pada pariwisata di negara berkembang.

Namun demikian, pembukaan kembali sektor pariwisata di wilayah yang paling parah terkena dampak Covid masih tetap tertunda tanpa batas waktu pasti.

Tags : Negara pariwisata , utang , negara

Berita Terkait