Pemerhati Gizi: Perut Sumber Penyakit dan Puasa Obatnya

| Sabtu, 09/05/2020 13:47 WIB
Pemerhati Gizi: Perut Sumber Penyakit dan Puasa Obatnya Ilustrasi Puasa (Doc: Bersama Dakwah)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Pemerhati masalah Gizi, Kesehatan dan Sosial, Dr. Arifasno Napu, SSiT, MKes, dalam salah satu artikel kesehatannya menyampaikan Manfaat Puasa Ramadhan bagi kesehatan jiwa baik secara jasmani maupun rohani.

"Sebagaimana yang dijelaskan oleh WHO bahwa sehat itu adalah suatu keadaan sempurna fisik, sosial dari seseorang dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan, maka orang yang dikatakan sakit adalah lawan dari keadaan sehat tersebut yakni sakit fisik, sakit mental/akhlak/jiwa dan sakit sosial," Jelas Dr Arifasno dikutip dari Artikel Website Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 24 April 2020.

Saat ini menurutnya penyakit yang dapat dialami oleh fisik manusia meliputi (1) penyakit-penyakit menular langsung seperti Tuberkulosis (TBC), HIV/AIDS, Diare, Hepatitis dll. (2). Penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit kanker dll. (3). Penyakit yang belum ada obatnya termasuk vaksinnya yakni Corona Virus Desease 2019 (Covid-19), yang dimana penyakit ini sangat terkait dengan kekebalan seseorang,(4) Gangguan akhlak seperti bertutur kata tidak sopan, menipu, memfitnah, menggunjing, sombong, dll. (5) Penyakit sosial yang merugikan umat seperti korupsi, kolusi, nepotisme dll.

Dalam teori klasik namun termodern di alam kehidupan manusia dikatakan bahwa “Sumber dari penyakit adalah perut, selanjutnya bahwa perut adalah gudang penyakit dan berpuasa itu adalah obat” (Hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Muslim). Kemudian bahwa hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya ( Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 24).

Pada Al-Qur’an dan Hadist yang sebelumnya, ternyata perut yang dimaksud adalah proses apa saja yang dimakan atau dimasukkan, proses pencernaannya, dan proses output serta dampaknya untuk kesehatan. Dan ini bila dihubungkan dengan teori sehat, maka sehat yang dimaksud bukanlah bebas dari penyakit fisik, namun bebas juga dari penyakit mental/akhlak/jiwa serta penyakit sosial.

Proses bagaimana memperoleh makanan merupakan hal yang penting diperhatikan apakah halal atau mungkin terkait dengan berbagai masalah ketidakhalalan. Ini tidak berhenti di situ saja, ketika makanan ini masuk ke mulut ada proses mekanik yang harus ditaati yakni melalui pengunyahan sebanyak 33 kali (para praktisi kesehatan bahkan menganjurkan lebih dari 33 kali) dengan tujuan lambung dan alat pencernaan lainnya akan menerima makanan tanpa harus diolah dengan kerja berat. Makanan dalam mulut sudah halus dan bercampur dengan berbagai enzim, sehingga mempermudah pula proses penyerapan zat-zat gizi.

Ini dapat menurunkan beban kerja dari alat pencernaan sehingga ada penghematan energi/tenaga dan juga bersifat ekonomis. Hal lain juga yang menjadi perhatian adalah membagi perut menjadi 3 bagian yakni sepertiga untuk air, udara dan makanan. Dengan berpuasa, orang benar-benar mampu mempraktikkan makan disaat lapar dan berhenti sebelum kenyang apalagi pada saat berbuka puasa yang terpenting adalah pengendalian dari diri kita masing-masing.

Tubuh yang puasa tidak makan dan tidak minum akan berpengaruh jelas pada mental/akhlak/jiwa dari setiap individu karena dalam puasa ada etika-etika kehidupan yang harus ditaati yang bernilai ibadah. Sebut saja yang sederhana adalah tidak boleh menggunjing orang lain, berkata jujur, berkata yang baik-baik, berfikiran positif tidak saling mencurigai, tidak menghina, dll. Etika-etika ini sebagai penunjang dalam mengontrol diri sehingga tidak melakukannya, dan ini terkait erat dengan zat-zat gizi terutama jumlah energi yang dikonsumsi.

Bukankah dalam melakukan gunjingan, berbohong, berfikiran negatif pada orang lain, saling mencurigai, menghina adalah perbuatan yang membutuhkan pemikiran khusus sehingga membutuhkan energi yang tinggi pula? Sementara saat puasa energi yang ada sangat terbatas dari makanan yang dikonsumsi, apalagi hal tersebut berakibat pada penurunan nilai-nilai puasa. Ini juga dapat mencegah peningkatan tekanan darah (hipertensi) yang berakibat pada penyakit jantung, dapat menormalkan gula darah, dapat menekan emosi sehingga mampu mengelola stres yang menyerang setiap saat. Kondisi ini menunjang peningkatan kekebalan tubuh.

Orang berpuasa juga mau merasakan penderitaan orang lain, minimal merasakan bagaimana tidak makan dan minum dalam 14-15 jam sebagai rasa berbagi dengan orang miskin yang tentunya sering tidak makan. Merasakan penderitaan orang lain sangat terkait dengan kondisi seseorang yang sedang sehat secara sosial.

Terakhir, Dr. Arifasno Napu, SSiT, MKes, mengatakan, selain memperhatikan makanan yang dikonsumsi, pada masa pandemi ini juga mari berperilaku hidup bersih dan sehat (cuci tangan, olahraga, menjaga jarak dengan siapa saja, menghindari kerumunan, memakai masker, tetap berada di rumah), tidak menyentuh mulut, hidung, dan mata jika belum cuci tangan yang benar dan mengikuti anjuran-anjuran pemerintah.

“Semoga dengan melakukan praktik puasa yang benar dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19, Ayoo! Berani berbuat baik untuk Indonesia. Bersama berkarya sebagai ibadah, Amiin,” pungkasnya.

Tags : Puasa , Penyakit , Perut

Foto Terkait