Bolehkah Mencicipi Makanan di Mulut Ketika Berpuasa?

| Selasa, 20/04/2021 16:21 WIB
Bolehkah Mencicipi Makanan di Mulut Ketika Berpuasa? Mencicipi makanan ketika berpuasa (sumber:istimewa)

RADARBANGSA.COM - Salah satu yang dapat membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam perut melalui lubang anggota tubuh salah satunya adalah tenggorokan. Sedangkan mulut termasuk dalam anggota badan luar, artinya jika orang yang berpuasa memasukkan sesuatu sampai mulut, belum sampai tenggorokan maka puasanya tetap sah dan tidak batal. 

Tenggorokan memiliki beberapa bagian, yaitu pangkal tenggorokan (aqshal halq), tengah tenggorokan (wasthul halq) dan rongga tenggorokan paling dalam (adnal halq). Dari ketiga bagian tenggorokan tersebut, yang dapat menyebabkan puasa menjadi batal adalah ketika terdapat sesuatu yang melewati tengah-tengah tenggorokan. Selama belum melewati tengah tenggorokan maka tidak membatalkan puasa.

قَالَ الْغَزَالِيُّ مَخْرَجُ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ مِنْ الْبَاطِنِ وَالْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ مِنْ الظَّاهِرِ وَوَافَقَهُ الرَّافِعِيُّ فَقَالَ هَذَا ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمُهْمَلَةَ تَخْرُجُ مِنْ الْحَلْقِ وَالْحَلْقُ بَاطِنٌ وَالْمُعْجَمَةُ تَخْرُجُ مِمَّا قَبْلَ الْغَلْصَمَةِ

Artinya: “Imam al-Ghazali berkata bahwa makhraj ha’ tanpa titik (ح) masuk kategori dalam, sedangkan kha’ dengan titik (خ) masuk kategori luar. Imam Rafi’i juga sependapat dengan al-Ghazali. Kata Imam Rafi’i, yang tanpa titik keluar dari tenggorokan, sedangkan tenggorokan itu termasuk dalam, sedangkan yang bertitik itu sebelum pangkal tenggorokan.” (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, hal. 319).

Ketika mencicipi makanan dimulut yang tidak sampai tertelan tenggorokan walaupun terdapat sisa rasanya, karena tidak melewati tengah tenggorokan, maka tidak membatalkan puasa. Namun hal ini baiknya dihindari, karena bersifat makruh, jika tidak ada kepentingan tertentu di dalam pengerjaan tersebut.

(قَوْلُهُ: وَهُوَ مَكْرُوهٌ) وَكَذَا الذَّوْقُ مَكْرُوهٌ أَيْضًا اهـ رَشِيدِيٌّ وَهَذَا إذَا كَانَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ أَمَّا لَهَا فَلَا يُكْرَهُ كَأَنْ يَذُوقَ الطَّعَامَ مُتَعَاطِيهِ لِغَرَضِ إصْلَاحِهِ فَلَا يُكْرَهُ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ مُفْطِرًا آخَرُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ لَا يَعْرِفُ إصْلَاحَهُ مِثْلَ الصَّائِمِ اهـ. ع ش عَلَى م ر.

Artinya: “Redaksi “kemakruhan mengunyah”, begitu pula mencicipi makanan, hukumnya juga makruh. Demikian kata Rasyidi. Kemakruhan mencicipi makanan tersebut apabila tidak ada kebutuhan yang mendesak. Jika memang ada kebutuhan mendesak, hukumnya juga tidak makruh seperti orang mencicipi makanan untuk mengetahui sudah enak atau belum, hukumnya tidak makruh meskipun mempunyai konsekuensi membatalkan (jika tertelan) karena semacam orang puasa tidak akan bisa mengetahui makanan sudah lezat atau belum (kecuali dengan mencicipi). Ali Sibromulisi atas Ramli" (Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, [Darul Fikr], juz 2, hal. 329).  

Tags : Mencicipi Makanan , Puasa

Berita Terkait