Menitipkan dan Menyampaikan Salam dalam Islam

| Kamis, 29/07/2021 12:07 WIB
Menitipkan dan Menyampaikan Salam dalam Islam Bersalaman (sumber:istimewa)

RADARBANGSA.COM - Kebiasaan mengirimkan salam kepada teman atau keluarga sudah menjadi kebiasaan yang baik. Keterangan dari kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, menilai bahwa saling berkirim salam memiliki hukum sunah.

يُسَنُّ بَعْثُ السَّلَامِ اِلَي مَنْ غَابَ عَنْهُ وَفِيهِ اَحَادِيثُ صَحِيحَةٌ وَيَلْزَمُ الرَّسُولُ تَبْلِيغُهُ لِاَنَّهُ اَمَانَةٌ وَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمَانَاتِ اِلَي اَهْلِهَا.

Artinya, “Disunahkan berkirim salam kepada orang yang tidak hadir. Dalam konteks ini terdapat banyak hadits sahih (yang menganjurkannya). Bagi utusan (yang dititipi salam) wajib untuk menyampaikan salam tersebut karena merupakan sebuah amanat. Sungguh, Allah SWT telah berfirnan, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’ (Surat An-Nisa ayat 58),” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz IV, halaman 641).

Mengutip nu online, dalam keterangan lain dalam kitab Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib yang ditulis oleh Waliyyuddin Abu Zar’ah Al-‘Iraqi. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril memberikan salam kepada Aisyah RA yang notabenenya tidak melihat kehadiran Jibril. Rasulullah SAW pun menyampaikan kepada Aisyah salam yang diberikan malaikat Jibril, kemudian salam tersebut dijawab olehnya.

اَلْحَدِيثُ الثَّالِثُ وَعَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا هَذَا جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ ، وَهُوَ يَقْرَأُ عَلَيْك السَّلَامَ ، فَقَالَتْ وَعَلَيْهِ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ تَرَى مَا لَا نَرَى } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَقَالَ هَذَا خَطَأٌ يُرِيدُ أَنَّ الصَّوَابَ رِوَايَةُ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ كَمَا هُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ

Artinya, “Hadis yang ketiga, dari Urwah dari Aisyah RA, bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ‘Ini adalah Jibril AS, ia mengucapkan salam kepadamu.’ Lantas Aisyah RA pun menjawab, ‘Alaihis salam wabarakatuh’, engkau (Nabi SAW) dapat melihat sesuatu yang tidak dapat kami lihat.” Hadis riwayat An-Nasai. Menurut An-Nasai, terdapat kekeliruan dalam sanad dalam hadits ini karena yang benar adalah riwayat Az-Zuhri dari Abi Salamah (bukan dari Urwah, pent) dari Aisyah RA sebagaimana yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Muslim,” (Lihat Waliyuddin Abu Zar’ah Al-Iraqi, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, Beirut, Daru Ihya`it Turats, juz VIII, halaman 107).

Kebiasaan menitipkan salam pasti ada seseorang yang harus menyampaikan dan diberikan amanah untuk menyampaikan sebuah salam. Mayoritas ulama Mazhab Syafi’i yang mewajibkan bagi orang yang diutus untuk menyampaikan salam untuk menyampaikannya kepada pihak yang dikirimi salam. Karena itu merupakan amanat.

Tetapi baginya, kewajiban itu sebaiknya dibaca dalam konteks di mana pihak yang diutus untuk menyampaikan salam memiliki kesiapan dan kesanggupan untuk menyampaikannya sehingga jika tidak, maka ia tidak harus menyampaikannya.

Sedang pendekatan yang digunakan oleh Al-Iraqi untuk sampai pada simpulan ini adalah dengan menyamakan kasus orang yang dititipi sebuah titipan tetapi ia tidak mau menerimanya atau tidak sanggup menerima titipan tersebut.

فِيهِ اسْتِحْبَابُ بَعْثِ السَّلَامِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَيَجِبُ عَلَى الرَّسُولِ تَبْلِيغُهُ فَإِنَّهُ أَمَانَةٌ وَيَجِبُ أَدَاءُ الْأَمَانَةِ وَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ إنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا الْتَزَمَ وَقَالَ لِلْمُرْسِلِ إنِّي تَحَمَّلْت ذَلِكَ وَسَأُبَلِّغُهُ لَهُ فَإِنْ لَمْ يَلْتَزِمْ ذَلِكَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ تَبْلِيغُهُ كَمَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً فَلَمْ يَقْبَلْهَا

Artinya, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berkirim salam. Menurut para ulama dari kalangan kami (Madzhab Syafi’i) wajib bagi utusan (orang yang dititipi salam) menyampaikan salamnya karena merupakan sebuah amanat, sedangkan menyampaikan amanat adalah wajib. Dan konteks ini sebaiknya dikatakan (dipahami) bahwa ia (utusan) wajib menyampaikan salam tersebut sepanjang memang memiliki kesanggupan, dan mengatakan kepada pihak yang mengutus (atau menitip salam), ‘Sungguh, saya siap dan akan menyampaikan salam.’ Karenanya, jika ia tidak sanggup, maka tidak wajib baginya untuk menyampaikannya. Hal ini sebagaimana orang yang dititipi sebuah titipan kemudian ia tidak mau menerimanya,” (Lihat Waliyuddin Abu Zar’ah Al-Iraqi, Tharhut Tatsrib fi Syarhit Taqrib, juz VIII, halaman 108).

Kesimpulan yang dapat diambil dari keterangan di atas adalah saling menitipkan salam adalah sesuatu kebiasaan baik yang dihukumi sunah dalma Islam. Sedangkan bagi orang yang dititipi salam wajib menyampakainya karena merupakan amanat.

Tetapi dengan mengacu pada pandangan yang dikemukakan Al-‘Iraqi, kewajiban menyampaikan titipan salam sebaiknya dipahami sepanjang yang dititip memiliki kesanggupan dan kesiapan untuk menyampaikan salam tersebut. Jika tidak, maka tidak wajib menyampaikannya.

Tags : Salam , amanah , Titip Salam

Berita Terkait