Siapa Saja yang Diwajibkan Membayar Fidyah Puasa?

| Kamis, 31/03/2022 14:38 WIB
Siapa Saja yang Diwajibkan Membayar Fidyah Puasa? Ilustrasi Ramadhan. (Foto: tribunnewscom)

RADARBANGSA.COM - Kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadan tertulis dalam firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 183-184. Secara khusus pula, Al-Baqarah ayat 184 menjelaskan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang berhalangan untuk menjalankan ibadah puasa.

أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُۥ ۚ وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Latin: Ayyāmam ma`dụdāt, fa mang kāna mingkum marīḍan au `alā safarin fa `iddatum min ayyāmin ukhar, wa `alallażīna yuṭīqụnahụ fidyatun ṭa`āmu miskīn, fa man taṭawwa`a khairan fa huwa khairul lah, wa an taṣụmụ khairul lakum ing kuntum ta`lamụn Terjemah

Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 184)

Lantas siapa saja yang diwajibkan untuk membayar Fidyah Puasa Ramadan? Berikut ini beberapa golongan yang diwajibkan membayar Fidyah yang dilansir dari NU Online,

1. Orang tua renta

Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup menjalankan puasa, tidak diwajibkan untuk menjelankan ibadah puasa Ramadan. Namun, kewajiban puasa ramadan diganti dengan kewajiban untuk membayar fidyah sebesar satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. 

Mengutip NU Online, Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 428).

2. Orang sakit parah

Seperti orang tua yang renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum. Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadan) maupun qadha’ (di luar Ramadan).

Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).

3. Wanita hamil atau menyusui

Islam memberikan kemudahan bagi para umatnya, termasuk memberikan keringan pada ibu hamil atau yang tengah menyusui, ia diperbolehkan meninggalkan puasa jikalau mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkahawatirkan keselamatan janin yang dikandungnya. Namun, dikemudian hari ia juga wajib untuk membayar puasa yang ditinggalkannya dengan membayar fidyah dan berpuasa. 

Jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah. Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).

4. Orang Mati

Dalam fikih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:  

Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengada, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.  

Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengada puasa. Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit.

Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.  

Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih.  

Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222)

5. Orang yang mengakhirkan kada (qadha) Ramadan

Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadan, padahal ia memungkinkan untuk segera mengada sampai datang Ramadan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqada puasa Ramadan.  

Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengada, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqada puasa.  

Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan kada puasa sehari di tahun 2018, ia tidak kunjung mengqada sampai masuk Ramadan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.  

Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:  

(ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه) بأن كان مقيما صحيحا. (حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد) وأثم كما ذكره في شرح المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد دخول رمضان، أما من لم يمكنه القضاء، بأن استمر مسافرا أو مريضا حتى دخل رمضان فلا شيء عليه بالتأخير، لأن تأخير الأداء بهذا العذر جائز فتأخير القضاء أولى بالجواز.

“Orang yang mengakhirkan qadha Ramadan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di dalam kitab tersebut, beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan dengan masuknya bulan Ramadan. Adapun orang yang tidak imkan mengada, semisal ia senantiasa bepergian atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan puasa ada’ disebabkan uzur baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu lebih boleh”.  

(والأصح تكرره) أي المد. (بتكرر السنين) والثاني لا يتكرر أي يكفي المد عن كل السنين.

“Menurut pendapat al-ashah, satu mud menjadi berlipat ganda dengan berlipatnya beberapa tahun. Menurut pendapat kedua, tidak menjadi berlipat ganda, maksudnya cukup membayar satu mud dari beberapa tahun yang terlewat”. (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin, juz 2, hal. 87).  

 

Tags : Fidyah , Puasa , Ramadan , denda

Berita Terkait