Konferensi Internasional Islam, Anggia Respon Isu Kebebasan Beragama Dunia

| Senin, 11/11/2019 15:12 WIB
Konferensi Internasional Islam, Anggia Respon Isu Kebebasan Beragama Dunia Ketua Umum PP Fatayat NU, Anggia Ermarini (dok. Pribadi)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Isu mengenai kebebasan beragama hingga saat ini masih hangat untuk diperbincangkan. Meski demikian, di Indonesia kebebasan beragama sudah berlangsung lama dan sudah termaktub dalam Pancasila sebagai kesepakatan bersama dalam berbangsa.

Hal ini diutarakan Ketua Umum Fatayat NU, Anggia Ermarini dalam Konferensi Internasional Islam dan Kebebasan ke-7 pada Senin 11 November 2019 di Hotel Double Tree, Cikini, Jakarta Pusat.

“Nilai-nilai Pancasila dan moderasi Islam yang mengakomodir budaya, menjadi bukti bahwa bangsa kita tidak alergi dengan kebebasan beragama," ujar Anggia.

Menurut Anggia, Fatayat NU dalam usianya hampir 70 tahun, telah mendorong kebebasan beragama melalui isu-isu perempuan. “Kami bekerjasama sangat erat dengan perempuan lintas agama, dan juga dengan minoritas; ahmadiyah dan syiah dalam isu kesehatan, keadilan gender, dan isu sosial lainnya,” imbuh Anggia.

Perempuan yang juga Anggota DPR RI dari PKB ini menegaskan, kebebasan beragama dan berekspresi dalam beragama itu sudah diatur dalam UUD 1945. "Nilai-nilai itu juga sesuai dengan ajaran dalam Alquran dan dalam nilai-nilai ke NU an; tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), ta’adul (berkeadilan),” tambahnya.

Forum yang dihadiri oleh tidak hanya para akademisi, tetapi juga praktisi dari seluruh dunia ini akan membahas isu-isu kebebasan beragama dari berbagai negara. "Kami berharap kita bisa maksimal berdiskusi, belajar dari pengalaman  para pakar dan praktisi dari seluruh penjuru dunia terkait praktik kebebasan beragam," kata Anggia.

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj yang turut hadir dalam kesempatan tersebut menyatakan tidak ada istilah `umat Islam` dalam Alquran. Yang ada, kata dia, adalah `ummatan wasathon.

“Nabi SAW membangun Madinah juga bukan atas dasar agama maupun etnis. Karena itu, sangat berbahaya orang yang membela Islam dengan cara yang salah. Bahkan lebih berbahaya daripada orang yang memusuhi Islam," ujar Kiai Said.

Kiai Said juga menyoroti perdebatan mengenai Ahmadiyah. Kiai Said menyayangkan golongan ini cenderung ekslusif alias tertutup dan jarang sosialisasi dengan masyarakat sekitar.

“Kita bisa sholat di masjid Ahmadiyah, begitu juga sebaliknya. Selama ini kita melihat Ahmadiyah masih tertutup. Saya tidak membahas teologi, tapi mari saling mu`asyaroh bil ma`ruf,” kata Kiai Said.

Merespon isu pemurtadan, pimpinan puncak ormas terbesar dunia ini mengatakan jika orang pindah agama secara individual tidak jadi soal. "Yang bermasalah itu kalau sudah menjadi gerakan, seperti yang pernah terjadi di era Abu Bakar As-Shiddiq,” tukas Kiai Said.

Konferensi digelar selama dua hari penuh, 11-12 November 2019 di Jakarta dengan mengusung tema "The Islamic Case for Religious Freedom" dan terselenggara atas kerjasama PP Fatayat NU dengan The International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia dan The Religious Freedom Institute (RFI) Amerika Serikat.

Konferensi ini menghadirkan para pembicara dari berbagai negara, diantaranya Mohamed Azam Mohamed Adil (Malaysia), Ali Hassannia (Iran), Fida Ur Rahman dan Sumaira Batool (Pakistan), Amel Azzouz (Tunisia), Azeemah Saleem (India), AKM Iftekharul Islam (Bangladesh), KH Nasarudin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), dan Syamsul Asri (ICRS UGM).

Tags : Fatayat NU , PBNU , Kebebasan Beragama

Berita Terkait