Lomba Cerpen Santri 2018

Tertikam Senja

| Kamis, 08/11/2018 17:19 WIB
Tertikam Senja Dok Radarbangsa

Oleh: Hanna Alifia

RADARBANGSA.COM - Bauran prajurit putih dengan menenteng beberapa kitab menggeliatkan mata. Sebuah dering bel berhasil menghujam telinga dari beberapa detik yang lalu, juga bunyi gesekan sandal dengan tanah kasar yang berirama indah tak kalah menggelitik setiap orang yang mendengarnya. Alunan kaki tertuju pada tempat yang sama, sampai bunyi gesekan itu menghilang. Sebagai gantinya, dentuman tumit di atas lantai berlapis keramik putih pun mulai berderu. Berbanjar dan duduk merapat, menghadap sebuah mimbar.

Seorang lelaki paruh baya dengan sorban putih yang ia sampirkan di pundaknya tengah berjalan mendekat bersama beberapa orang yang memakai pakaian yang sama. Dipeganglah sebuah mikrofon hitam setelah beberapa detik ia beranjak naik ke atas mimbar. Sama seperti biasa, berawal dari basmalah dan salam, dilanjutkan beberapa kata pengantar untuk selanjutnya adalah pidato yang panjang. Tak sangka, jam dinding yang menunjukkan pukul empat dengan jarum panjang berada di antara angka tujuh dan delapan berhasil membuat perubahan yang berarti bagi santri pondok pesantren ini.

Opo aku wis telat banget iki yo?” Gadis berkerudung putih duduk di antara yang lain setelah berjalan grusak-grusuk menyisir ratusan santriwati.

Lampu-lampu yang bergelantungan mulai dihidupkan. Senja sedang menyeringai pelan, pertanda ia akan menghilang, dan petang akan datang. Masjid berdominasi warna cokelat ini mendadak benderang. Bangunan bernapas ukiran khas jawa mulai sesak dengan ribuan orang. Ini adalah sebuah acara rutinan Kiai untuk mendawuhi para santri. Karpet berwarna hijau yang terbentang lebar telah tertutupi oleh banyak santriwati. Rina, gadis dengan gamis putih dan kerudung hitam yang ia kenakan terlihat tak bisa diam, mencari cela agar bisa duduk di samping orang yang sedari tadi ia cari.

“Ealah, Rin… Rin. Kamu itu, yo, aku kira siapa. Wis to, lain kali jangan telat kayak gini lagi.” Gadis di sebelah Rina berbisik pelan sambil terus mengarahkan pandangan ke depan.

Ning Rani, begitu sapaan akrab Rina kepada gadis berkerudung abu-abu di sebelahnya. Mereka adalah gadis berumur tujuh belas tahunan yang memutuskan untuk tinggal di sebuah pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Rani adalah orang ndalem, begitu biasanya mereka menyebut orang-orang yang masih ada hubungan dengan Kiai. Ia adalah cucu Kiai sepuh di pondok pesantren ini. Sementara Rina adalah gadis kecil yang tak ingin berpisah dengan orangtuanya. Sangat singkat sebenarnya, tetapi ini bukanlah inti dari semua.

Baca selengkapnya di sini

Tags : Hari Santri 2018 , Cerpen Santri , PKB

Berita Terkait