Menjadi Perguruan Tinggi NU yang Unggul

| Sabtu, 12/10/2019 11:53 WIB
Menjadi Perguruan Tinggi NU yang Unggul

Oleh: Mahmud Nasir, S.Fil.I, M.Hum *

RADARBANGSA.COM - Pada Hari Kamis kemarin (10/10/2019), tepatnya pada Jam 10 Pagi Menjelang siang, perwakilan Civitas akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Purworejo mengikuti rapat koordinasi bersama PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Purworejo) dan YASPINU (Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama ) Purworejo terkait peningkatan mutu STAINU Purworejo.

Hadir dalam kesempatan itu; Rois Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kabupaten Purworejo KH Habib Hasan Agil Ba’Abud (Wan Hasan), Ketua PC sekaligus ketua YASPINU, K.H. Hamid AK, S.Pd.I serta perwakilan dari Badan Otonom NU di Purworejo. Semua tamu undangan yang hadir dalam rapat secara aklamasi mendorong agar STAINU Purworejo menjadi perguruan tinggi NU unggul yang bisa mewadahi kebutuhan masyarakat Purworejo dengan cara mengembalikan STAINU Purworejo ke pangkuan NU secara struktural, yakni bergabung dengan Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) secara penuh.

Menjadikan STAINU Purworejo bergabung ke LPTNU adalah kembali ke Khittah. Secara historis, STAINU Purworejo didirikan (12 Shafar 1394 H, bertepatan pada tanggal 6 Maret 1974) oleh para ulama, cendekiawan Nahdlatul Ulama dan tokoh Islam nasional; Prof. Dr. KH. Tolchah Mansur (Tokoh NU Nasional dan Pendiri IPNU), KH. Nawawi Siddiq (Pengasuh PP. An-Nawawi Berjan Purworejo), KH. Damanhuri (Tokoh Ulama Purworejo), KH. Asnawi Umar, KH. Maftuh Muhtar dan KH. Djamil. Awalnya bernama Perguruan Tinggi Islam dengan nama PTII (Perguruan Tinggi Islam Imam Puro) di bawah Yayasan Pendidikan Islam Imam Puro (YPII) Purworejo. Pada saat itu tidak memilih nama NU karena alasan politik. Kooptasi politik kekuasaan begitu dominan. Ada banyak martir kekuasaan. Maka para pendiri tak memilih nama NU sebagai siasat politik tapi gerakan pendidikan tetap berhaluan ahlussunnah wal jamaah.

Meskipun dari awal berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam ini bernama PTII, tapi sejak lahirnya perguruan PTII ini tak bisa lepas dari Nahdlatul Ulama. Di samping para pendiri adalah tokoh Nahdaltul Ulama, proses perkuliahan untuk pertama kali juga menempati gedung pertemuan Nahdlatul Ulama yang beralamat di Jl. KH.Wachid Hasyim Purworejo. Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah, dari yang awalnya bernama PTII kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nahdlatul Ulama (STITNU), dan dari program Sarjana Muda menjadi Program Sarjana (S-1), dengan KMA RI No. 219 tahun 1988. Jadi, secara genealogis STAINU Purworejo adalah anak kandung dari NU. Maka mengembalikan STAINU Purworejo secara struktural pada LPTNU, sebagai BANOM NU yang bergerak di bidang lembaga pendidikan tinggi adalah lengkah tepat untuk bersama-sama menguatkan kolaborasi dalam membangun perguruan tinggi NU yang unggul.

Tuntutan Masyarakat
NU yang diwariskan oleh ulama mencakup tiga kebangkitan di antaranya, Nahdlatut Tujar (kebangkitan ekonomi), Nahdlatul Wathan (kebangkitan bangsa) dan Tasywirul Afkar (kebangkitan pemikiran). Maka di luar faktor internal, faktor eksternal tentu menuntut STAINU Purworejo untuk responsif terhadap ragam dinamika perubahan masyarakat.
Dalam aspek sosial, saat ini Purworejo adalah termasuk 14 Kabupaten Di Jateng yang berada dalam Zona Merah Kemiskinan. Jumlah keluarga miskin di Kabupaten Purworejo masih tergolong sangat tinggi. Ada sekitar 35 ribu rumah tidak layak huni, dan kabupaten Purworejo memiliki desa serta kelurahan miskin terbanyak se Indonesia, yaitu dengan jumlah 51 desa dan 4 kelurahan miskin (https://www.purworejo24.com,8/juli/2019).

Kemiskinan tentu bukan hanya sekadar angka statistik, tapi itu juga soal manusia, soal kompetensi, soal pendidikan dan kelindan lainnya. Kemiskinan adalah problem mutidimensional yang harus ditangani secara bersama-sama semua lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan, termasuk peran lembaga pendidikan tinggi.

Berdasarkan struktur lembaga pendidikan di Purworejo, lembaga pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Purworejo seperti, MI, MTs dan MA atau SMK sudah cukup banyak yang berada di bawah naungan LP Ma’arif atau berafiliasi dengan NU. Tetapi hingga saat ini belum ada perguruan tinggi yang secara struktural berafiliasi dengan organisasi (jam’iyyah) Nahdlatul Ulama.

Padahal jika melihat setting masyarakat di daerah Jawa Tengah, terutama di daerah Kedu Selatan seperti Purworejo, Kebumen dan Magelang yang mayoritas merupakan warga NU, mereka membutuhkan kehadiran perguruan tinggi Nahdlatul Ulama yang jurusannya sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, seperti agribisnis, agrowisata, pertanian, peternakan, perkebunan, pariwisata serta jurusan yang mendukung terhadap kemandirian masyarakat.

Sebagai lembaga yang sejak awal memang hadir untuk mewadahi kebutuhan masyarakat serta menumbuhkan pemahaman keagamaan yang inklusif, maka STAINU Purworejo perlu melakukan transformasi dengan membuka jurusan baru yang sesuai dengan tuntutan masyarakat Purworejo dan Kedu selatan secara umum.

Kita ingin melahirkan kader NU yang ahli dalam bidang pertanian, ahli dalam bidang peternakan, ahli dalam bidang pariwisata, ahli dalam bidang IT serta ragam disiplin keilmuan yang mampu bertegur sapa dengan keilmuan lain untuk menopang kemandirian hidup masyarakat.

Panggilan Ideologis
Secara ideologis, sebaran paham radikal kini mulai merambah ke beberapa daerah di Jawa tengah; Banjarnegara, Temanggung, Cilacap dan beberapa daerah lainnya. Paham radikalisme keagamaan pelan-pelan masuk dalam lembaga pendidikan. Pada suatu waktu, ada tim melakukan kunjungan ke salah satu lembaga di Jawa tengah. Beberapa guru bercerita kalau Yayasan yang menaungi kini mulai pelan-pelan akan menginduk ke salah satu Jaringan Sekolah Islam Terpadu yang tersentral di Jogjakarta.

Para guru sebagian ada yang tidak terima karena mereka paham ketika sekolahnya berada di bawah naungan yang baru itu kurikulum pendidikannya bisa berubah dari yang sebelumnya inklusif menjadi eksklusif. Beberapa guru juga ada setuju karena ketika bergabung dengan yayasan baru itu mereka akan mendapat bantuan sarana dan prasarana.

Beberapa temuan di daerah lain juga menunjukkan cerita yang tak jauh beda di Jawa Tengah. Ada beberapa paham keagamaan yang sekarang mulai masuk ke masyarakat NU dengan berbungkus bantuan sosial, mulai dari membuat TPA, pembangunan masjid dan bantuan sosial lainnya. Bungkusnya bantuan sosial tapi pelan-pelan mereka menebar paham intoleran.

Sebaran paham radikal yang mulai merambah ke beberapa lembaga pendidikan dari tingkat dini itu harus bisa dicegah ketika kita semua warga NU saling bahu membahu untuk memperkuat kelembagaan dan saling support antara yang satu dengan yang lainnya. Beberapa lembaga yang secara kultural NU saat ini banyak yang mendapat iming-iming bantuan dari beberapa pihak tapi dengan agenda tersembunyi. Hal ini tentu bisa kita antisipasi dengan menguatkan kolaborasi secara struktural dan kultural antara lembaga pendidikan yang berada di bawah naungun di tiap-tiap daerah, mulai dari pendidikan dini hingga tingkat perguruan tinggi.

Tuntutan Zaman
Revolusi industri keempat atau industri 4.0 membawa efek dominan dalam kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Para pakar menyebut dengan efek VUCA, sebuah akronim dari VUCA, volatile (perubahan yang cepat), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), ambiguity (makna ganda) (Brian Stewart, 2016). Efek VUCA ini telah melahirkan banyak pengangguran karena adanya ketidakcocokan antara keterampilan yang orang muda miliki dengan pekerjaan yang tersedia di lapangan. Hari ini, dan mungkin ke depan, dunia tak lagi memberi imbalan tentang apa yang kita ketahui, karena Google tahu segalanya, tapi bagaimana kita melakukan atas apa yang kita ketahui. Tuntutan zaman untuk menjadikan lembaga pendidikan berkualitas sungguh berubah.

Tak heran ketika Alvin Toffler menegaskan bahwa orang yang buta huruf di abad 21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tapi mereka yang tak bisa belajar, tidak belajar dan belajar kembali. Pernyataan Alvin Toffler ada benarnya. Sekarang dan mungkin ke depan, apabila pendidikan hanya melahirkan manusia yang hanya pintar membaca dan menulis bisa tergantikan Robots melalui Artificial intelligence-nya sebagai wujud revolusi industri keempat. Pendidikan memang harus dirombak paradigma, cara belajar serta kurikulumnya agar ke depan tak melahirkan orang buta huruf di era revolusi industri keempat.

Berdasarkan ragam faktor tersebut, maka STAINU Purworejo perlu melakukan reformasi tata kelola dan transformasi keilmuan. Dalam aspek tata kelola, STAINU Purworejo sudah bertekad untuk bergabung dengan LPTNU seutuhnya demi menguatkan kolaborasi dengan NU secara struktural baik dari pusat hingga daerah. Dalam aspek transformasi keilmuan, STAINU Purworejo akan merespons dengan peningkatan kualitas SDM, peninjauan kurikulum yang responsif-berhaluan masa depan, mengedepankan proses pembelajaran yang berbasis proyek serta pengalaman autentik. Semua itu memang butuh waktu, dukungan semua pihak dan restu dari para muassis (pendiri) Nahdlatul Ulama. Semoga kita sebagai kader ideologis NU bisa meneladani semangat dan perjuangan K.H. Hasyim Asy`ari yang menghidupi dunia pendidikan, bukan hanya sekadar ingin hidup dari dunia pendidikan.

*Mahmud Nasir, S.Fil.I, M.Hum, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Purworejo.
Alamat: JL. Pahlawan No. 5 / Sebelah Utara Gor WR. Supratman Purworejo.

Tags : STAINU , UNU , Purworejo , Mahmud Nasir

Berita Terkait