Millenial Progresif

| Selasa, 01/09/2020 19:13 WIB
Millenial Progresif Pengamat Politik dan Civitas Academika UNMA Banten, Eko Suptiatno (foto: Istimewa)

Oleh. Eko Supriatno*

Berkaca kepada pelaksanaan Pemilihan Umum serentak tahun 2019, peran serta generasi milenial dalam hal persentase jumlah pemilih cukup besar. Jumlah mereka sangat besar, dan diyakini akan  menjadi yang terbesar di Indonesia pada tahun 2020. Karena lebih dari 40% pemilih pemilu serentak tahun 2019 adalah golongan generasi milenial.

Dari data ini dapat dikatakan untuk melakukan suatu perubahan besar ke arah yang lebih baik, peran serta generasi milenial sangat dibutuhkan. Majalah TIME menilai milenial lahir pada tahun 1980 - 2000.

Daya tarik millenial itu ada 2 (Dua), Pertama, Millenial biasanya selalu mampu membongkar kejumudan politik yang ada, yang identik dengan orang-orang tua, tidak menarik, dan isinya serius. Kedua, daya tarik millenial terletak pada genre perubahan. Millenial selalu menginisiasi perubahan di belahan dunia mana pun menjadi kekuatan. Mereka menjadi mercusuar dalam upaya mengurai kegelapan. Bahkan mereka berani membicarakan sesuatu yang tabu sekalipun.

Sejak Pilpres 2019 ada pergeseran di dalam wajah perpolitikan Indonesia. Ya, Indonesia kini sangat bergantung dari kehadiran pemuda. Menariknya, pemuda ini cenderung memilih pola gerak yang berbeda dibandingkan model strukturisasi dan birokratis yang ada. Rajendra Singh menyebutnya sebagai ”Gerakan Sosial Baru”, gerakan kolektif yang merujuk pada usaha-usaha kolektif untuk memodifikasi norma-norma dan nilai-nilai yang diniatkan untuk berkembang.

Namun, ada tugas yang millenial sering terlupakan, yaitu memikirkan langkah apa yang akan dilakukan setelah mereka terlibat dalam arus perubahan tersebut.

Dalam banyak kenyataan, millenial hanya “dimanfaatkan” kemudian ditinggalkan dalam proses pembangunan.

Memosisikan Millenial Progresif

Millenial Progresif harus mampu memosisikan dirinya dalam seluruh proses pembangunan. Memosisikan Millenial harus progresif, karena progresifitas tak pernah bisa memesan kemunculannya. Ia datang dalam situasi yang dipilihnya sendiri. Namun, Ia juga membuka segala kemungkinan untuk terus diupayakan.

Dalam satu dekade terakhir, nyaris tanpa kita sadari, progresifitas telah terjadi di negeri ini, bahkan dunia. Tanpa pekik massa dan letusan senjata, Millenial Progresif telah mengubah kehidupan lewat dunia digital yang terus tumbuh dan berkembang tak tertahankan.

Dengan teknologi digital, Millenial Progresif tak hanya mengubah ke gaya hidup, tetapi juga kebiasaan, serta pola dan arah perekonomian kini dan ke depan.

Millenial Progresif adalah sebuah generasi yang lahir dan tumbuh dengan nyaman dalam lingkungan serba digital.  Nyaris sebagian besar renik kehidupan mereka dihantar oleh internet dan dipermudah oleh perangkat jaringan maya.

Millenial Progresif membentuk dan mematut diri melalui jaringan media sosial, seperti Twitter, Facebook, Path dan sebagainya.

Millenial Progresif membangun gaya, model perilaku, dan bahasa-bahasa baru dalam alur komunikasi dan interaksi yang sangat cepat dan massif. Tidak ada lagi jarak, dan semua saling terkoneksi. Mereka mengubah tatanan nilai dan gaya hidup selama ini menjadi serba digital.

Millenial Progresif bukan semata perkara data. Millenial Progresif bukan sekadar generasi manusia dalam bingkai kelompok umur. Dia membentuk gaya hidup, cara pandang, dan perilaku, yang berpengaruh lintas generasi.

Millenial Progresif adalah rentetan produk sejarah. Millenial Progresif membutuhkan prasyarat yang senantiasa harus terus disemai. Prasyarat itu adalah bahwa Millenial Progresif haruslah buah panas dari kemarahan yang otentik dan antagonisme yang mendalam. Ya, Millenial Progresif tetaplah jalan untuk segala kemungkinan

Media Sosial, Inspirasi Kaum Millenial

Media sosial menjadi Inspirasi Kaum Millenial, termasuk sebagai alat bagi kita mempermudah mencari pemimpin.

Era digital membawa pengaruh dan kesempatan bagi siapa pun bisa sukses terjun di dunia politik. Orang biasa yang semula tak memiliki akar dukungan dan tak terkenal akhirnya bisa melejit bak bintang garagara media sosial. Sekali klik, orang bisa menyuarakan ide, sikap, aspirasi, eksistensi, tuntutan, marketing dan lain-lain. Maka, era digital seperti saat ini membuat peluang para pemuda aktif di politik juga semakin terbuka lebar.

Ada beberapa Inspirasi Media Sosial untuk Kaum Millenial:

Pertama, Inspirasi Pemimpin Dunia. Kemenangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam Pilpres 2008 menjadi contoh. Beberapa bulan menjelang Konvensi Partai Demokrat, sosok Obama tak dikenal banyak orang. Namun, banjirnya informasi di media sosial membuat sosok Obama menjadi terkenal. Kemenangan Obama menandai kemenangan monumental atas peran media sosial dalam pemilu. Sosok Justin Trudeau yang memenangi kursi pimpinan Partai Liberal Kanada. Politikus muda ini eksis berkat media sosial hingga akhirnya mendapatkan mandat memegang tampuk pemerintahan tertinggi di negara tersebut. Kita bisa melihat Macron (39) menjadi Presiden termuda Prancis dalam sejarah, atau Sebastian Kurtz (31) yang disebut sebagai pemimpin dunia termuda, atau mungkin Nathan Law (23) pada usianya yang begitu muda mampu mengantongi 50 ribu suara dan menjadi anggota parlemen Hong Kong.

Kedua, Inspirasi Jokowi. Jokowi hanyalah pengusaha yang menjadi Wali Kota Surakarta. Meski hanya di daerah, pemberitaan tentang Jokowi kala itu cukup masif. Informasi tentang Jokowi mengalir deras di media sosial. Popularitasnya merangkak hingga akhirnya menang dalam Pilkada DKI dan Pilpres 2014. Padahal, saat masih di Solo, Jokowi bukanlah pengurus inti PDIP. Namun, derasnya informasi tentang Jokowi seperti memaksa PDIP untuk mengusung ke jenjang lebih tinggi. Para kepala daerah di berbagai daerah juga banyak berhasil karena peran media sosial. Kemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu 2014 tak bisa dilepaskan dari sepak terjang Generasi Milenial dalam membangun situs, membuat jejaring maya, mengolah isu, memroduksi kata, serta mengguritakan pesan-pesan viral via media sosial.

Ketiga, Di negara-negara Arab, bahkan, pada awal paruh kedua dekade abad ke-21, revolusi digital yang dihadirkan kaum muda ini tertransformasi ke dalam bentuknya yang paling radikal, yaitu perubahan sosial politik. Musim semi demokrasi menyeruak di Tunisia, Mesir, Aljazair, Bahrain, dan Libya. Namun sayangnya, musim semi itu dengan cepat segera diikuti oleh muramnya pertikaian politik yang penuh darah dan air mata.

Keempat, Inspirasi Selebritis. Hanya Dalam Waktu 2 Jam, Konser Amal Didi Kempot Berhasil Kumpulkan Dana Rp 5,3 Miliar untuk Covid-19.  Konser amal penyanyi campursari Didi Kempot yang disiarkan langsung KompasTV berbasis medsos berhasil mengumpulkan dana Rp 7,6 Milliar.

Begitupun peristiwa terbakarnya Masjid Tolikara pada saat shalat berjamaah Idul Fitri 2015 banyak menimbulkan keprihatinan di berbagai lapisan masyarakat. Berkat platform crowdfunding Kitabisa.com ini, Pandji Pragiwaksono berhasil mengumpulkan dana untuk membangun kembali Masjid tersebut sebanyak Rp 300 juta hanya dalam waktu tiga hari.

 

*Eko Supriatno (Dosen Millenial, Pengamat Kebijakan Publik, Pembina Future Leader for Anti Corruption (FLAC) Regional Banten, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten)

 

Tags : Opini , Milenial , Eko Supriatno

Berita Terkait