Abah Kiai Dimyati Rois dan Kisah-Kisah Memuliakan Perempuan (Catatan Kedua)

| Jum'at, 17/06/2022 13:04 WIB
Abah Kiai Dimyati Rois dan Kisah-Kisah Memuliakan Perempuan (Catatan Kedua) Nihayatul Wafiroj sowan KH. Dimyati Rois di suatu kesempatan (foto FB Nihayatul Wafiroh)

Oleh: Nihayatul Wafiroh*

“Abah itu jam 21.00 masih makan, lalu saya duduk di samping abah di Kasur. Abah terus tiduran. Saya mendengar Abah nyebut ‘Allah Allah Allah’ kemudian Abah seperti tidur,” setelah itu Ibu Nyai memanggil putra-putri beliau yang sedang berada tidak jauh dari beliau untuk meyakinkan apakah Abah Kiai benar-benar tidur. Menyadari Abah Kiai sedang kritis/mungkin sudah wafat, putra-putri beliau langsung membawa ke RS. Namun Abah Kiai sudah benar-benar sedo, wafat. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

“Baru kali ini saya menemui pasien dalam kondisi nazak tidak ada kondisi seperti perlawanan. Tidak menggigit bibir beliau, tangan dan kaki beliau tidak juga dalam kondisi tegang,” kata dokter yang menangani Abah Kiai seperti yang ditirukan oleh Ning Arofah. Bahkan hingga dibawa pulang ke Ndalem sekitar pukul 1 dini hari, kondisi badan Abah Kiai masih hangat, tidak dingin selayaknya orang yang meninggal.

###

“Saya itu sering dikomplain sama anak-anak, karena saya seperti ratu, dan saya itu ngalem (manja) sama Abah,” tutur Ibu Nyai Tho’ah. Beliau menceritakan bahwa beliau adalah anak tunggal, dan cucu tunggal, jadi tiga generasi Ibu Nyai Tho’ah adalah tunggal. Kemudian bertemu dengan Abah Kiai yang sangat memanjakan beliau.

“Pernah suatu hari di pesantren ada acara besar, banyak tamu yang hadir, dan kosumsi kurang, saya itu pingsan. Setelah itu Abah minta kalau masak-masak untuk acara-acara pondok jangan di Ndalem, di rumah tetangga saja, Abah takut saya kepikiran dan pingsan lagi.”

Cerita Ibu Nyai ini juga diamini oleh Ning Arofah dan Ning Rina. Beliau bercerita, bila kalau acara mantu ataupun acara-acara besar di pesantren semuanya yang memikirkan itu Abah Kiai. “Bahkan di sela-sela nemuin tamu, Abah itu tindak ke pasar, belanja ember untuk acara nikahan saya,” Ning Rina menuturkan.

Saya tidak membayangkan Kyai besar masih mau terjun ke dapur, mengurusi kosumsi untuk tamu, mencatat undangan yang akan hadir dan sebagainya. Abah Kiai Dimyati benar-benar telah memutus tembok pembatas antara sector private dan public yang selama ini di masyarakat menjadi stereotype gender. Urusan private adalah di tangan perempuan, dan urusan publik di tangan laki-laki tidak ada di kamus Abah Dimyati.

Ning Arofah pernah cerita bagaimana beliau complain ke Ibu Nyai tentang hal ini, “Abah ini Kiai besar Umi, Ulama besar, tidak pantas lho Umi, kalau abah melakukan hal-hal begini. Umi bisa melakukan sendiri, Umi bisa ambil peran yang dikerjakan Abah, Umi jangan duduk saja.” Dan Ning Arofah bukan mendapat dukungan dari Abah Kiai Dimyati, namun yang diterima malah teguran keras dari Abah Kiai. “Umimu tidak pernah meminta aku perlakukan begitu, Umimu tidak ingin juga dimanjakan. Tapi ini semua keinginanku sendiri, aku senang melakukannya. Jangan marahi Umimu.” Dan itu menjadi peringatan buat putra-putri Abah Kiai Dimyati untuk tidak lagi mempersoalkan hal ini.

Beberapa waktu lalu Ibu Nyai Tho’ah sempat terkena Covid, kemudian untuk menjaga Kesehatan Abah Kiai dan mempercepat pemulihan Kesehatan Ibu Nyai, maka dengan terpaksa beliau berdua tinggal terpisah. Abah Kiai di Ndalem Pondok Pesantren Al-Fadlu pusat, dan Ibu Nyai yang ditunggui beberapa putra-putrinya tinggal di Al-Fadlu 2. Sejak menikah, beliau tidak pernah tinggal terpisah, jadi kondisi tersebut membuat beliau berdua terus gelisah.

Abah Kiai sebelum subuh sudah meminta diantarkan ke Pesantren Al Fadlu 2 untuk menjenguk Ibu Nyai. Seharian Abah Kiai akan berada di Al fadlu 2, walaupun beliau hanya berada di garasi mobil saja, dan melihat Ibu Nyai dari kaca jendela. Ketika Ibu Nyai sudah istirahat siang, Abah Kiai akan pulang ke Al Fadlu pusat, sore atau malam akan datang lagi menjenguk Ibu Nyai. Baru beranjak kundur Ketika Ibu Nyai sudah terlelap istirahat. “Mesakne Umimu nek aku ora nunggoni (Kasian umimu kalau saya tidak nungguin)” Subhanallah Abah Kiai.

Pernah suatu saat, Ibu Nyai sakit, lalu ditanya sama Abah Kiai “Tho’ah, awakmu njaluk opo, ben cepet sehat? (Kamu minta apa biar cepet sehat).” Dan Ibu Nyai menjawab kalau ingin naik mobil merk tertentu. Saat itu juga, Abah Kiai mengajak Ibu Nyai dan putra-putrinya ke Jakarta. “Tolong belikan mobil merk iki, tidak usah ditawar, berapapun harganya tolong dibeli,” begitu ngendikan Abah Kiai kepada putranya. Menurut Ibu Nyai, beliau ini hanya ingin ‘naik’ bukan ingin dibelikan, namun karena rasa sayangnya Abah Kiai dan ingin Ibu Nyai segera sehat, Abah Kiai langsung membelikan mobil tersebut.

Ning Arofah bercerita, ada salah satu petinggi politik sowan ke Abah Kiai, saat itu Abah Kiai hanya memberikan nasehat “Lerenono nakalmu, wes wektune mulyakne bojomu, nek ora mbok mulyakno bojomu, bakal bubrah kabeh seng wes mbok toto." (Berhentilah nakalmu, sudah waktunya memuliakan isterimu, kalau tidak kamu muliakan isterimu, akan rusak semua yang pernah kamu tata). Tidak begitu lama karir politik tokoh ini jatuh, beliau sakit dan kemudian wafat.

Bagi Abah Kiai Dimyati, memuliakan isteri adalah keharusan, bukan sesuatu yang mesti diminta, karena dengan memuliakan Isteri keberkahan akan terus mengalir. “Kulo dados ibadah tenang, ngeramut anak-anak tenang, keranten mboten wonten kekhawatiran nopo-nopo teng Abah (Saya jadi ibadah tenang, merawat anak-anak tenang, karena tidak ada kekhawatiran apa-apa pada Abah)” Masyaallah, perkataan Ibu Nyai seperti menjadi kunci akan ketenangan berumah tangga.

###

“Nopo wiridan panjenengan Ibu Nyai, kok saget dados isteri engkang sholehah (Apa wiridan anda Ibu Nyai, kok bisa jadi isteri sholehah)” Ibu Nyai Lilik Halim Iskandar yang di akhir perbinjangan turut bergabung bertanya kepada Ibu Nyai.

“Pokoknya selalu senyum. Apa saja yang disampaikan Abah, balas dengan senyum” Ini jawaban dari Ibu Nyai Tho’ah. Tersenyum

*Penulis adalah Anggota DPR RI Fraksi PKB dari Dapil Jatim III dan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI

Tags : Nihayatul Wafiroh , KH Dimyati Rois , PKB

Berita Terkait