Ratep dan Tradisi Paradigma Ekologis

| Kamis, 07/12/2017 14:17 WIB
Ratep dan Tradisi Paradigma Ekologis Ilustrasi Seni Ratep (foto kiriman A. Rosyid)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Ratep merupakan salah satu seni tari-ritual tradisional yang lahir dari khazanah tradisi Sumenep Madura, yang dipercaya bisa mendialogkan seseorang dengan roh-roh para leluhur dalam rangka melakukan ‘audeinsi’ dengan yang ghaib. Tujuan tradisi ini, mengharap hujan mengguyur saat kemarau panjang yang mengancam kondisi perekonomian rakyat Madura yang bergantung kepada ranah pertanian dengan kondisi alam (tanah subur) sebagai notebenenya. Laku ratep, dalam konteks itu, sangatlah dekat dengan kearifan lingkungan alam sekitar yang mendambakan suatu kondisi aman dan sejahtera bagi para petani Madura khususnya.

Dalam prakteknya, tokang (ahli) ratep atau biasa disebut pawang, memilih putra atau cucunya terlibih dahulu untuk dijadikan ratep-nya. Dan meminta sebagian masyarakat dari pihak laki-laki, yang terdiri dari tujuh sampai sembilan orang untuk membentuk sejenis paduan suara dan melantunkan doa tunggal, yaitu “Huu Ila... Illa’ Lu Ila Alla’ La” . Kelompok ini membentuk sejenis lingkaran penari keliling di dekat kaju rajah (pohon keramat).

Satu hari menjelang ritus, di mana waktu perhelatan sudah ditentukan dengan cara ritual khusus dalam menentukan thetinan bhegus (hari baik) untuk ratep, pawang akan meminta kepada masyarakat untuk mengumpulkan kalareh (janur kering) yang sudah diikat dengan belerek (daun siwalan) di arena ritus, sebagai obor pengiring tari ratep. Mereka meminta kepada ratep untuk melakukan puasa patigheni (puasa satu hari satu malam). Kemudian melinting rokok sebanyak satu atau dua batang dengan membentuk kerucut yang terbuat dari kulit jagung. Kemudian rokok ditaruh di celah-celah kaju rajah (kayu besar) sekiranya sulit untuk dijangkau oranglain.

Ritual ini dihelat ketika bulan purnama, tanggal 15 kalender Jawa. Pawang akan memulai dengan phojian toah (tari turunan dari para leluhur dengan membentuk paduan suara yang menggema), diiringi dengan penari keliling yang melingkar di kajuh rahjeh.

Religiuitas

Ditilik dari perspektif laku religius, ratep mempunyai relevansi dengan agama Islam yang mendominasi di Madura. Tengok seperti paduan doa yang dilakukan oleh penari lingkaran sebagai pengiring ratep: “Huu Ila... Illa’ Lu Ila Alla’ La” merupakan derivasi dari kalimat “La-ila-ha illalla-hu” yang berarti mengakui ke-Esa-an Allah: “Tiada Tuhan selain Allah”.

Hal di atas diperkuat oleh Poerwadarminta (1983) yang mengatakan bahwa ratep merupakan adaptasi dari ratib (bahasa Arab) yang artinya ‘latihan mistik’ atau doa kepada Tuhan yang ucapkan berulang-ulang seperti La Ilahu Illa Allah, Allahu akbar.

Konteks proses peleburan dari berbagai unsur budaya dan tradisi klasik dan agama mempunyai pembenaran dalam ritus ratep. Ini mencerminkan ketaatan pribadinya kepada warisan leluhur. Ritus pemujaan semacam ini sediakala biasa dilakukan oleh penganut Hindu atau Budha. Sebagian sumber mengatakan bahwa ritus ini merupakan hasil peleburan antara Hindu-Budha klasik dengan tradisi Islam yang masuk belakangan ke Madura kira-kira abad ke 16.

Sepintas ritus ini mengandung unsur nilai tradisi klasik (pra-Islam Madura) seperti animisme atau dinamisme. Karena tradisi ini masih mempercayai kekuatan roh-roh leluhur yang menghuni di pohon-pohon keramat, dan mempercayai segala permasalahan yang mendera masyarakat,. merupakan kutukan dari roh leluhur. Sehingga harus ada perwakilan dari salah satu penduduk desa yang menghadap secara langsung kepada leluhur. Dalam tradisi ini akan dipertanyaan apa sebernarya yang terjadi kepada penduduk desa sehingga Yang Maha Ghaib tidak berkenan menurunkan hujan.

Paradigma Ekologis

Di sinilah kearifan ritus ratep akan kita temukan dalam konteks kehidupan dewasa ini di mana masyarakat dunia mulai resah dengan kondisi lingkungan alam sekitar yang mengancam keutuhan dan keberlangsungan hidup mereka. Dewasa ini, kasus yang sangat krusial menghantui kita adalah tentang kerusakan alam yang terjadi di mana-mana. Di tengah kondisi itu, berbagai tragedi dan ancaman-ancaman terhadap kehidupan kemanusiaan pun tak terhindarkan. Longsor, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan adalah bukti konkret bagi manusia yang kehilangan spirit menghargai dan memperlakukan lingkungan alam tempat tinggal mereka sendiri.

Bagi ritual ratep, paradigma pergulatan antara alam dan lingkungan sekitar sangatlah dekat. Hal ini bisa disaksikan dari episode terkahir ritual ini di mana ketika para ratep sudah bergelimpangan kelelahan dan obor-obor sudah mati, hal ini menandakan bahwa audeinsi dan persaksian dengan Yang Ghaib sudah sukses. Di saat itu para ratep akan menceritakan kejadian-kejadian selama audeinsi berlangsung.

Dengan demikian, seluruh masyarakat yang menyaksikan, pawang, maupun ratep akan pulang kerumahnya masing-masing dengan satu harapan penuh, bahwa keesokannya hujan sudah mengguyur desanya. Dan seperti sudah gaib, setiap dilakukan ritual ini, keesokan harinya masyarakat akan menadahkan kelmu’ (gentong) pada air hujan yang mengalira pada atap ruhamnya. Antara manusia, alam, hujan, dan Yang Ghaib begitu dekat dan akrab di sini.

Di situ pula menandakan bahwa kesadaran masyarakat Madura tentang cinta terhadap lingkungan sekitarnya sangat tinggi. Masyarakat Madura yang mayoritas penghasilannya dari pertanian memandang hujan sebagai rahmat dan sesuatu yang sangat urgen. Karena curah hujan yang cukup, penghijauan alam yang lestari, melimpahnya hasil panen, dan keberlangsungan hidup akan tercipta dengan sangat mudah. Curah hujan yang tidak normal marupakan petaka bagi perekonomian masyarakat pedesaan yang notabene penghasilannya tergantung kepada hasil panen.

Sebenarnya, jauh sebelum Pulau Dewata Bali, menjadi perhatian dunia internasioanl terkait dengan sebuah agenda krusial demi kelangsungan kehidupan kemanusiaan universal, tentang global warming, tradisi yang lahir dari kesadaran masyarkat Madura sudah eksis terlebih dahulu. Karena yang menjadi titik tekan dalam tradisi ini, bahwa manusia bukan perusak alam, namun bagaimana manusia bisa menjaga dan melestarikan alam dengan optimal dan adil-alam harus menjadi bagian entitas-dialogis parenial bagi manusia yang menjadi faktor pengimbang demi keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Dalam tradisi ini masyarakat akan disadarkan bahwa kekeringan yang melanda desanya merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh penduduk sendiri dan hal tersebut tidak disukai oleh sang leluhur. (Oleh Ainur Rosyid)

Tags : Ratep , Seni , Ritual

Berita Terkait