Mamanda, Seni Tradisional yang Tergadai

| Senin, 27/11/2017 23:42 WIB
Mamanda, Seni Tradisional yang Tergadai Ilustrasi Penampilan Seni Mamanda (Foto: peristiwaonline)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - ‘MAMANDA’ merupakan kesenian tradisional yang lahir dari khazanah tradisi Banjar, Kalimantan Selatan. Seni ini, berbentuk teater rakyat dengan lakon bersumber dari syair lama dan hikayat yang diambil dari kisah “Seribu Satu Malam” dan “Sahibul Hikayah” yang bersumber dari Timur Tengah. Dari kedua kisah itu, kemudian diadaptasi dan dijadikan alat untuk merefleksikan ulang tentang masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat setempat. Salah satu tujuan seni ini, adalah untuk merekatkan kisah dengan hati masyarakat. Dialog dalam pementasannya, menggunakan bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa Indonesia, biasanya diiringi dengan musik yang terdiri dari biola, gendang, gong, gambus atau akordion, dan rebana.

Dalam pertujukannya, teater Mamanda biasanya menggunakan bentuk panggung prosenium dengan dekorasi panggung secara realistis, misalnya dekorasi kerajaan, Hutan, pantai dan sebagainya, tergantung dengan konflik yang terjadi di masyarakat. Kalau misalnya yang perlu dikritisi adalah masalah pemerintahan setempat, maka dekorasi menggunakan setting kerajaan atau setting pemerintahan, begitupun seterusnya. Apapun yang akan dikritisi nanti, dalam tokohnya ada tokoh utama wajib dan ada tokoh utama sunah. Tokoh utama wajib, yaitu pasti ada Raja, Mangkubumi, Wazir, Perdana Menteri, Panglima Perang, Harapan I dan Harapan II, Khadam/Badut, serta Sandut/Putri. Sedangkan tokoh utama sunah adalah tokoh pendukung, biasanya menggunakan infrovisasi dengan penonton atau dengan properti-properti yang ada. Setiap tokoh memiliki peran sentral tersendiri dalam setiap lakonnya dalam penyampaian pesan kepada masyarakat.

Konon, Mamanda lahir dari kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897 yang dulunya bernama Komedi Indra Bangsawan di Kalimantan Selatan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk dan saat ini lebih dikenal dengan sebutan Mamanda. Seni tradisional ini dibawa oleh perantau Banjar ke Indragiri Hilir, Riau, semenjak terjadi eksodus akibat peperangan melawan Belanda yang menyengsarakan kehidupan masyarakat Banjar.

Semangat Kesatuan

Seperti halnya yang pernah diadakan oleh Yayasan Pusaka Sa-ijaan dalam pergelaran Mamanda yang bertempat di Taman Siring Laut, dengan judul Penembahan Datu Aling. Dalam kisahnya Panembahan Datu Aling tidak dapat tidur nyenyak ketika rakyat di Pengaron dan sekitarnya menderita karena penjajahan Belanda. Ketika Sidang di Kerajaan Muning digelar Datu Aling dan puterinya Ratu Adil berencana akan menyerang tambang batu bara Oranye Nassau untuk melumpuhkan perekonomian Belanda. Untuk itu rakyat Kerajaan Muning bersatu padu dibawah kepemimpinan Panembahan Datu Aling dan Ratu Adil menyerang pertambangan batubara Oranye Nassau untuk dilumpuhkan aktivitasnya.

Ini menunjukkan bahwa semangat persatuan dan kesatuan itu sangat penting dalam menciptakan masyarakat sejahtera dan adil tanpa adanya tendensi apa-apa. Dan untuk mengimbangi arus hegemonik globalisasi dan moderenisasi yang ekspansif diperlukan penyatuan erat antara emosi penguasa dan rakyat dalam satu wadah yang sekiranya semua lapisan masyarakat paham bahwa itu adalah wadah penyatuan, masyarakat Banjar menemukan hal itu dalam teater rakyat Mamanda. Karena teater rakyat mamanda sering dijadikan peluapan ekspresi kekecewaan yang belum tersampaikan, baik kepada pemerintah itu sendiri atau pun kepada masyarakat yang kurang sadar akan arti persatuan dan kesatuan. Hanya dengan semangat persatuan dan kesatuan itulah keharmonisan sosial akan tercipta dalam menata kehidupan yang lebih baik dan tidak akan terlalu dipusingkan oleh adanya perbedaan, baik karakter maupun lainnya.

Kalau kita menyaksikan dengan teliti teater rakyat ini, kita akan langsung teringat kepada kesenian lenong atau ketoprak karena memiliki ciri yang sama, yakni adanya hubungan emosional antara pemain dan penonton. Dalam pementasan lenong maupun Mamanda, penonton dapat langsung memberi tanggapan terhadap jalannya cerita, sehingga semakin menghidupkan aura pergelaran yang tengah berlangsung. Tak heran, imbal balik dari penonton inilah yang menentukan sukses tidaknya pementasan teater rakyat ini. Pementasan teater tradisional Mamanda sangat ditentukan oleh kemampuan pemain dalam mengatur aksi dan dialognya. Tiap pelakon bebas mengembangkan permainan sendiri asal tidak menyimpang dari skenario sehingga pagelaran Mamanda terlihat sebagai sebuah lakon spontan. Ketoprak, lenong, maupun Mamanda memiliki urutan pementasan yang sama, yaitu diawali dengan iringan musik atau bunyi-bunyian dan perkenalan dengan nyanyian ataupun tarian.

Kian Tergadai

Namun sangat disayangkan sekali di tengah hiruk-pikuknya bangsa ini, seni-seni tradisional atau krearivitas rakyat kecil semakin lama semakin tergadaikan oleh keberadaan sinetron Indonesia yang sarat dengan kisah drama percintaan, tragedi, maupun kisah-kisah yang banyak menghadirkan nuansa emosi penuh kebencian dan balas dendam. Bahkan, persinetronan di Indonesia didominasi oleh kisah perebutan harta. Dan sangat naif sekali, justru kisah-kisah itulah yang banyak diminati pemirsa dibandingkan dengan bentuk ekspresi kesenian rakyat yang terkesan menjemukan. Padahal, teater rakyat justru mengusung masalah kehidupan yang dapat diambil hikmahnya, seperti sejarah, adat istiadat, kritik atas ketimpangan di masyarakat, dan terutama ialah keteladanan karena kisah dalam teater rakyat hampir selalu menghadirkan kebenaran dan contoh yang baik bagi masyarakat.

Referensi masyarakat terhadap konsumsi seni lebih disebabkan oleh keberadaan media elektronik yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern. Lebih jauh lagi, pergeseran gaya hidup yang pragmatis dan hedonis semakin menguatkan eksistensi sinetron Indonesia yang menyuguhkan hiburan singkat, ekonomis, modern, dan prestisius. Kisah-kisahnya yang tidak membumi justru mengena di hati masyarakat Indonesia yang senang bermimpi. Kontras dengan bentuk kesenian modern tersebut, Mamanda yang merupakan teater rakyat yang mencoba mencari jalan tengah antara masyarakat dan penguasa semakin hari semakin terpinggirkan oleh komponen pendukungnya sendiri, teknologinya yang tertinggal, kurangnya kreativitas, serta kisah-kisahnya yang menjemukan karena selalu bersumber dari syair lama dan hikayat.

Ironisnya, mamanda sekarang hanya bisa dirasakan kelucuannya dan “carobo”. Para penonton hanya mengingat kekonyolan-kekonyolan yang seolah inti dari pementasan mamanda. Seolah-olah pertunjukan tersebut sengaja dibuat untuk menciptakan tawa bukan pengetahuan mengenai moral atau budaya kita. Mungkin hal tersebut tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat kita yang suka bergurau dan ketidak mampuan penonton terhadap hikmah apa yang mereka tonton.

Meski dimodivikasi sedemikian rupa, teater rakyat ini tidak mampu mengembalikan kepada habitatnya semula. Para pemain mamanda sekarang ini yang lebih didominasi anak muda. Di satu sisi ini sangat menggembirakan karena minat mereka terhadap teater tradisi sangat tinggi, bahkan ada yang mengkhususkan berteater dalam bidang mamanda dengan segala kreativitasnya. Namun, terkadang kreativitas mereka terlampau “liar” bahkan terkadang “mangaradau”. Naskah dibuat dengan instant untuk memenuhi tema yang diinginkan dan terkadang dengan latihan yang seadanya. Dan yang tua (senior) melihat fenomena ini sepertinya tidak mampu berbuat apa-apa selain menikmati saja dari jarak jauh. Untuk memenuhi perhatian penonton yang sudah terhipnotis oleh adanya tayangan persenetronan, ceritanya sudah tidak mencerminkan jembatan keadilan, hanya mempertimbangkan kesenangan semata. Asal penonton dan para pemain larut dalam kekonyolan yang dibuatnya maka jadilah sebuah pementasan yang jauh dari kesan pementasan mamanda. Akibatnya secara terstruktur, mereka melakukan kekeliruan yang sama dari generasi ke generasi.

Tulisan ini dikirim oleh Ainur Rosyid

Tags : Seni Mamanda

Berita Terkait