Semua Perbuatan Nabi Merupkan Sunah, Benarkah?

| Kamis, 01/07/2021 14:39 WIB
Semua Perbuatan Nabi Merupkan Sunah, Benarkah? Muslim dan Muslimah (foto:istimewa)

RADARBANGSA.COM - Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam merupakan panutan bagi seluruh umat Islam di dunia ini. Bahkan ketaatan kepada Nabi merupakan syarat mutlak ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Allah berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An Nisa’: 80)

Lantas apakah semua perbuatan Rasulullah SAW merupakan sunah dan jika kita mengikutinya akan mendapatkan pahala dari kesunahan tersebut?

Mengutip nu online, umat islam terbagi menjadi beberapa kelompok dalam mengikuti rasul. 

1. Umat Islam yang mengikuti perbuatan Rasul secara tekstual. Apapun perbuatan beliau diikuti dan diamalkan sesuai pemahaman mereka, misalnya cara berpakaian menggunakan sorban bagi laki-laki dan cadar bagi perempuan. Selain itu, mereka juga meyakini apapun yang tidak dilakukan Rasul merupakan bid`ah. Bahkan terdpaat kelompok ekstrim yang tinggal dipedalaman menggembalakan binatang ternat dan menjauhkan diri dari teknologi.

2. Umat Islam yang semborono dalam mengikuti Rasul. Mengatasnamakan perbuatan Rasul, namun sebenarnya hanya mengikuti kepentingan hawa nafsunya, Seperti mengikuti perbuatan beliau dengan menikah lebih dari satu perempuan, tetapi meninggalkan kewajibannya yang lain sebagai umat Islam yang taat.

3. Kelompok moderat, mereka yang memahami perbuatan Rasul dan mengkaitkanya secara konteks, bersama dengan teks-teks lain dari Alquran dan hadis atau dengan mengadopsi pemahaman para sahabat terhadap perbuatan yang dimaksud.

Kelompok moderat juga membagi perbuatan Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam menjadi 3 kategori:

1. Perbuatan tabiat kemanusiaan (al-af’al al-jibilliyyah) atau kebiasaan manusia (al-‘adat al-insaniyyah), seperti cara berdiri, duduk, makan, minum, tidur, dan berjalan. Perbuatan ini hukumnya mubah, dan kita tidak diwajibkan untuk mengikutinya, kecuali jika ada dalil yang mensyariatkannya.

Termasuk dalam kategori ini, perbuatan Nabi yang muncul berdasarkan pengalaman pribadi dan eksperimen urusan keduniaan berupa perdagangan, pertanian, strategi perang, dan resep obat suatu penyakit. Perbuatan ini bukan merupakan syariat, karenanya tidak wajib diikuti. Contohnya, Nabi shallahu alaihi wasallam pernah melarang penduduk Madinah untuk tidak mengawinkan pohon kurma. Akibatnya, pohon kurma dimaksud mengalami gagal panen. Sehingga kemudian Rasul bersabda:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih tahu akan urusan-urusan duniamu.”

2. perbuatan yang dikhususkan bagi Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, seperti bolehnya menyambung puasa (wishal), wajibnya shalat Dhuha, Witir, dan Tahajjud, bolehnya menikah dengan lebih dari empat perempuan, dan sebagainya. Perbuatan ini hanya dikhususkan bagi Nabi, dan umatnya tidak boleh mengikutinya. 

3. perbuatan yang tidak termasuk dalam kedua kategori di atas, tetapi bertujuan untuk menyampaikan syariat Islam. Perbuatan ini hukumnya ada dua, yaitu:

Pertama, jika perbuatan ini memperjelas keglobalan ayat Alquran, membatasi kemutlakannya, atau mengkhususkan keumumannya, maka hukumnya mengikuti hukum yang terdapat dalam ayat tersebut. Contohnya, tata cara salat Rasul yang merupakan penjelasan atas ayat:  

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 43)

Kedua, jika perbuatan tersebut tidak berupa penjelasan atas ayat Alquran maka adakalanya diketahui hukumnya atau adakalahnya tidak. Jika diketahui hukumnya maka hukum itu juga berlaku bagi umatnya. Tetapi jika perbuatan tersebut tidak diketahui hukumnya maka ada dua kemungkinan, yaitu: terdapat sifat pendekatan diri kepada Allah (qurbah) atau tidak. Jika terdapat sifat qurbah, hukum mengikutinya adalah sunah, seperti salat sunnah yang dilakukan oleh Rasul tidak secara terus menerus. Namun jika tidak ditemukan sifat qurbah, seperti jual beli, dan akad muzara’ah yang dilakukan oleh Nabi, hukum mengikutinya hanya mubah (Lihat: Wahbah al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Damaskus, Dar al-Fikr, 1999, halaman 44-45).

Di antara permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ulama adalah kebiasaan Nabi shallahu ‘alaihi wasallam memelihara atau memanjangkan jenggotnya; apakah hal itu merupakan sunah yang harus diikuti ataukah hanya sebatas tradisi saja?

Sebagian ulama menegaskan bahwa memanjangkan jenggot merupakan sunnah Rasul yang perlu diikuti. Mereka berpedoman pada sabda Rasul:

قَصُّوا الشَّارِبَ وَاعْفُو اللِّحَى

“Potonglah kumis dan panjangkan jenggot.”

Sedangkan sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa memanjangkan jenggot merupakan kebiasaan Rasul dan orang Arab pada umumnya, sehingga tidak harus diikuti oleh umatnya. Mereka berargumentasi bahwa illat atau alasan perintah memanjangkan jenggot adalah agar berbeda dengan kebiasaan orang Yahudi dan bangsa non-Arab yang suka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. 

Dari kedua pendapat tersebut, Syaikh Abu Zahrah memilih pendapat kedua, yaitu memelihara jenggot hanyalah sebatas tradisi semata, bukan merupakan bagian dari syariat Islam. Wallahu A’lam. (Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, t.t., halaman 114-115)

Melalui penjelasan di atas, baiknya bagi umat Islam harus benar-benar memahami perilaku Rasulullah SAW secara konteks. Karena zaman yang ditinggali Rasulullah SAW dengan saat ini sangat berbeda. Hal tersbut untuk menjuhkan dari perpecahan umat Islam saling membid`ahkan dan juga kesemboronoan kita sebagai manusia yang memiliki hawa nafsu.

Tags : Rasulullah , Sunah

Berita Terkait