Awas! Penjara 10 Tahun dan Denda 10 Miliar Intai Penyalahguna KTP

| Jum'at, 02/08/2019 09:25 WIB
Awas! Penjara 10 Tahun dan Denda 10 Miliar Intai Penyalahguna KTP Ilustrasi foto KTP elektronik rusak (dok radarbangsa)

JAKARTA, RADARBANGSA.COM - Dugaan praktik jual-beli KTP elektronik (KTP-el) dan kartu keluarga (KK) belakangan ramai diperbincangkan masyarakat, terutama di media sosial. Praktik ini diduga rentan disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Dari penelurusan redaksi, ketika mengetik keyword “KTP Elektronik” di mesin pencari Google, muncul ribuan data dan gambar KTP elektronik. Bahkan, gambarnya tidak diburamkan sehingga datanya terpampang atau terbaca dengan jelas. Begitu juga ketika mengetik “Kartu Keluarga”.

Jadi wajar jika fakta ini memunculkan dugaan penyalahgunaan data pribadi yang begitu rentan dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab.

Pada 26 Juli 2019 yang lalu, sebuah akun Twitter @hendralm milik Hendra Hendrawan mengungkap dugaan kasus jual beli data pribadi di media sosial. Pria berusia 23 tahun ini mengaku kaget bagaimana data NIK di KTP-el juga data KK warga diperjualbelikan secara bebas di medsos.

Sejak membeberkan soal dugaan jual beli NIK KTP-el dan KK pada 26 Juli lalu, cuitan Samuel berkembang viral. Hingga kini tercatat cuitan tersebut menuai 1.300 komentar dan telah di-retweet sebanyak 33.000 kali. Adapun sebanyak 17.700 orang tercatat menyukai cuitan tersebut.

Menyikapi dugaan ini, Kemendagri pun bergerak cepat. Kemendagri melalui Ditjen Dukcapil, melaporkan dugaan penyalahgunaan data kependudukan yang beredar di internet berdasarkan temuan jual beli data KTP-el dan KK di media sosial ke Bareskrim Polri pada 29 Juli 2019.

Kemendagri lantas mengimbau masyarakat jangan mudah mengunggah data kependudukan, seperti KTP-el, KK atau Kartu Identitas Anak (KIA) ke media sosial. Sebab data itu akan muncul dalam mesin pencari Google, sehingga mudah disalahgunakan bahkan diperjualbelikan.

Sanksi Pidana dan Denda

Merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, setiap penyalahguna data pribadi masyarakat terancam sanksi pidana maupun denda.

Demikian pula yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 2019 tentang Administrasi Kependudukan. Bedanya, dalam PP ini ancaman denda bagi penyalahguna lebih besar lantaran objeknya adalah Kementerian/lembaga.

Lalu apa ancaman bagi para penyalahguna perorangan dan badan hukum? Berikut redaksi kutip pasal 96 UU Nomor 24 Tahun 2013:

Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sedangkan sanksi bagi Kementerian/lembaga tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 40 Tahun 2019 BAB IX tentang Sanksi Administratif Pasal 58 sebagai berikut:

(1) Kementerian/lembaga dan badan hukum Indonesia yang memperoleh Data Pribadi Penduduk atau Data Kependudukan dilarang:

a. menggunakan Data Pribadi Penduduk atau Data Kependudukan melampaui batas kewenangannya; atau

b. menjadikan Data Pribadi Penduduk atau Data Kependudukan sebagai bahan informasi publik sebelum mendapat persetujuan dari Menteri.

Kemudian ayat 2 disebutkan, pelanggar pada ketentuan di atas terancam sanksi administratif hingga denda sebesar Rp 10 miliar. Berikut kutipannya:

(2) Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan hak akses pengguna, pemusnahan data yang sudah diakses, dan denda administratif sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Tags : KTP , Kemendagri , Bareskrim