Jejak Histori Islam dan Kebangsaan dalam Bingkai Kebhinekaan

| Selasa, 03/10/2017 10:59 WIB
Jejak Histori Islam dan Kebangsaan dalam Bingkai Kebhinekaan Dari kiri ke kanan: KH Said Aqil Siroj, Abdul Muhaimin Iskandar, Helmy Faisal Zaini, Abdul Kadir Karding

KONTENTASI gagasan pada era pascareformasi memang riuh rendah. Kemajuan teknologi informasi menjadikan proses distribusi dan sosialisasi gagasan, apa pun tema dan perspektifnya, melaju dalam intensitas dan kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Di antaranya termasuk, dan terutama, gagasan-gagasan keagamaan.

Berkembang upaya untuk mulai mendikotomikan nilai kebangsaan dengan nilai keagamaan (Islam). Juga upaya untuk meletakkan sentimen keindonesiaan dalam posisi yang subordinat dibandingkan nilai keislaman. Meskipun tidak menjadi arus utama pemikiran dan tindakan publik, upaya-upaya itu perlu dijawab dan ditanggapi. Mengapa?

Pertama, ia menggugat konsep-konsep dasar bernegara yang selama ini telah membuat kita tegak sebagai bangsa. Kedua, era kebebasan politik dan informasi membuat sentimen-sentimen primordial mudah dimanipulasi untuk kepentingan politik apa pun, termasuk soal-soal agama.

Jejak Historis Islam dan Kebangsaan

Dikotomi terhadap Islam dan gerakan kebangsaan adalah dikotomi yang ahistoris alias tunasejarah. Dikotomi itu mempertentangkan sesuatu yang –dalam sejarah– telah terbukti exist, hadir, efektif, dan berguna bagi umat manusia. Dikotomi tersebut dibuat dengan berpura-pura melupakan fakta bahwa mustahil pemerintah kolonial Belanda bisa tumbang jika umat Islam dan para ulamanya tidak bersepakat untuk mengusir mereka.

Sejak awal, Islam menyediakan ruang kompromi yang lapang bagi gagasan negara kebangsaan. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam Sidang BPUPKI 18 Agustus 1945 merupakan bukti bahwa para tokoh Islam menghormati konsep negara bangsa yang bineka. Banyak contoh sejarah yang membuktikan bahwa secara umum Islam tidak pernah merasa terancam oleh negara bangsa, NKRI dan Pancasila.

Jika Islam telah menjadi bagian dari yang melahirkan negara bangsa ini, tentu ia juga sanggup menjadi bagian yang merawat dan membesarkannya. Bagaimana Islam bisa efektif merawat bangsa, kebangsaan, dan mengelola kebinekaannya? Konsep seperti apa yang kita tawarkan agar Islam bisa menjadi bagian dari solusi, bukan semata spiritual, tetapi juga duniawi?

Mengelola Kebhinekaan.

Mengelola kebinekaan adalah mengelola perbedaan dan keragaman dalam situasi yang aktual, situasi nyata kekinian. Tidak ada resep tunggal untuk keberhasilannya mengingat negara dan masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa diam, terus bergerak. Namun, ada prasyarat dasar yang harus dipenuhi agar semangat kebangsaan dan penerimaan terhadap keragaman bisa terjaga. Prasyarat itu bernama keadilan sosial dan tegaknya hukum.

Ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang masih kasatmata terlihat dan dirasakan bisa menjadi tanah subur bagi gagasan-gagasan anti kebinekaan. Mahatma Gandhi, pejuang anti kolonialisme di India, berujar: There are people in this world that is so hungry that God cannot appear to them except in the form of bread. Jika penerimaan terhadap eksistensi Tuhan saja bisa kuat dipengaruhi situasi hidup seseorang, apalagi penerimaan terhadap keberagaman manusia lain. Kebinekaan sebagai konsep adalah universal. Namun, kebinekaan sebagai tindakan sepenuhnya situasional dan bahkan individual.

Angka ketimpangan di Indonesia versi BPS adalah 0,393. Itu cukup tinggi, Menurut ekonom Faisal Basri, angka ketimpangan tersebut bakal lebih tinggi jika yang diukur adalah ketimpangan pendapatan kaya-miskin, bukan hanya ketimpangan pengeluaran. Berdasar data dari Credit Suisse, lembaga keuangan Swiss, tiap 1 persen orang kaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, terburuk keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.

Kemarahan akibat eksploitasi, pengabaian, rasa ketidakadilan yang tercabik, kehilangan harapan bagi keluarga, dan kemiskinan akan mencari kanalnya. Radikalisme menjadi tawaran yang menawan saat surga di bumi sudah mustahil didapatkan.

Maka, efektivitas mengelola keberagaman berkejar-kejaran dengan kesuksesan memberikan keadilan sosial dan keadilan hukum. Mencari strategi mengelola kebinekaan tanpa mencari jawaban bagi keadilan sosial dan hukum adalah nyaris sia-sia dan mubazir.

Islam Rahmatan lil Alamin

Alquran menuliskan: “Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS: Al Anbiya, ayat 107). Itulah janji Tuhan dan itulah sebaik-baik konsep Islam politik dan ekonomi yang perlu dikembangkan. Semacam jembatan yang mempertemukan konsep religi dan kebangsaan.

Bagaimana sejatinya karakter politik rahmatan lil alamin dalam praktik konkret? Pertama, kita akan selalu melihat seluruh persolan melalui metode yang disebut al-tawassuth yang berarti moderat, tidak ekstrem liberalis-kiri atau fundamentalis-kanan. Prinsip kedua adalah at-tawazzun yang berarti seimbang dalam penerapan kaidah, teks, rasio, dan realitas. Dengan prinsip tersebut, dalam bidang politik, misalnya, sepanjang penyelenggaraan pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi, kita harus mendukungnya.

Sementara itu, prinsip ketiga dan keempat adalah al-i’tidal dan at-tasamuh. Al-i’tidal berarti tegak lurus dan tidak mudah terprovokasi, sedangkan at-tasamuh bermakna menjunjung tinggi sikap toleran. Peneguhan Islam rahmatan lil alamin dalam implementasinya selalu didasarkan setidaknya melalui empat prinsip tersebut.

Tafsir rahmatan lil alamin dalam alam kekinian adalah tafsir teologis, sosiologis, konstitusional, dan sekaligus historis. Dalam rangka perwujudan keadilan sosial dan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 –sebagai dasar konstitusional penyelenggaraan ekonomi kita– wajib diakomodasi menjadi bagian prinsipil, bukan komplementer, dalam menerjemahkan ekonomi yang rahmatan lil alamin.

Pasal 33 menegaskan pentingnya peran negara dalam mengelola hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Namun, di sisi lain, sektor-sektor yang bersifat pendukung/pelengkap dapat diserahkan kepada pihak swasta. Itu sejalan dengan salah satu prinsip dalam praktik politik rahmatan lil alamin, yaitu moderat dan tidak berlebih-lebihan.

Semangat mengelola ekonomi sebagai usaha bersama pun dapat dinilai sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Individualisme dan kolektivisme. Pribadi dan komunitas. Usaha-usaha ekonomi harus bisa memberikan keuntungan pribadi tanpa mengambil yang bukan hak dan merugikan manusia lain.

Islam rahmatan lil alamin tidak cukup lagi hanya menjadi sekumpulan value yang lembut dan penuh belas kasih. Politik ini perlu dilengkapi ’’perangkat keras (hardware)’’ yang bersifat operasional dan praktis sehingga bisa diturunkan menjadi kebijakan dan program partai atau organisasi apa pun yang meyakininya (software). Ia harus menjadi sesuatu yang membumi, bukan hanya karena soal keimanan.

Tapi terutama karena politik ini mampu memberikan solusi dan menumbuhkan harapan. Lagi pula, siapa lagi yang paling membutuhkan rahmat dan berkah jika bukan mereka yang hidupnya miskin dan kekurangan?

Karena itu, dalam praktik, politik rahmatan lil alamin adalah politik yang moderat, seimbang (proporsional), tenang, dan toleran. Dalam alam Indonesia yang beragam dan riuh rendah ini, praktik rahmatan lil alamin menjadikan politik terasa lebih manusiawi, hangat, nyaman, dan ramah. Bergembira dalam perbedaan. Bersahabat dalam kecukupan hidup.

H. A. Muhaimin Iskandar, M.Si
(Ketua Umum DPP PKB)

Tags : Cak Imin , Kebhinekaan , Pancasila

Berita Terkait