10 November 1945 dan Historiografi Santri

| Sabtu, 10/11/2018 11:50 WIB
10 November 1945 dan Historiografi Santri Foto @Juma

Oleh: Juma’*

RADARBANGSA.COM- Sejarah akan terus abadi berkat tulisan dan arsip yang tersusun rapi. Bagaimana mengabadikan peristiwa jika tulisan tak lagi bisa dibaca. Bagaimana merawat ingatan, jika buku semakin dilupakan. Buku-buku hadir untuk mengabdikan dan mengingat kembali peristiwa bersejarah di masa silam.

Pristiwa 10 November 1945 adalah sejarah besar bangsa indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Tidak ada yang bisa menyangkan heroisme rakyat dalam pertempuran tersebut. Tak ada pula yang yang akan menyangkal peran ulama/santri dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Tetapi, buku perjuangan ulama tidak pernah hadir untuk memberikan narasi historis yang layak. Bagaimana kita abai akan pentingnya buku perjuangan ulama dalam peristiwa perang terbesar setelah perang dunia kedua yang dihadapi Inggris.

Ada banyak buku tentang peristiwa 10 November di Surabaya yang telah di tulis. Misalnya, Ruslan Abdul Ghani dalam Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia (1974), telah menuliskan kisahnya dalam pertempuan Surabaya sebagai tokoh yang terlibat langsung di dalamnya. Bahkan, Barlan Setiadidjaya, “10 November: Gelora Kepahlawanan” (1992) seolah luput memotret perjuangan santri, dan masih banyak lagi buku tentang 10 November 1945 yang luput memotret heroisme santri/ulama.

Dalam konteks historiografi santri, peristiwa 10 November 1945 adalah serak-serak sejarah yang perlu dirangkai secara komprehensif. Umat islam, terutama NU pantas gelisah bagaimana rekonstruksi sejarah umat islam seputar hari pahlawan ditulis, karena peran santri di pertempuran Surabaya tidak bisa dihilangkan.

Dari sini, umat islam, terutama NU pantas gelisah, bagaimana rekonstruksi sejarah umat islam seputar hari pahlawan ditulis. Historiografi indonesia masih berkutat di ranah historiografi politik, dan militer. Historiografi indonesia masih ditulis seputar kebesaran kelompok militer, sementara ulama seolah hanya tokoh yang bermain di pinggir sejarah.

Mengutip Henk Schulte Nordholt dkk (2008) jika kita mengakui bahwa sejarah tentang ‘apa yang terjadi’ dan sejarah tentang ‘apa yang dikatakan’ telah terjadi adalah dua dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejuh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu belum selesai. Ada dua faktor utama yang telah membentuk situasi tersebut; pertama, pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan tentang masa lalu; kedua, tantangan terhadap narasi besar (grand narratives) tentang masyarakat dan masa lalu juga merupakan bagian dari dinamika hubungan kekuasaan.

Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Makna Baru (2000), merupakan salah satu indonesianis yang secara gamblang mengakui resolusi jihad telah membawa dampak luar biasa di Jawa Timur dengan munculnya barisan non-reguler Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Dalam pertempuran 10 November di Surabaya, NU terlibat aktif dan banyak pemuda menggunakan jimat yang diberikan kiai, serta Bung Tomo yang notabenanya bukan santri, meminta nasihat terhadap Kiai Hasyim Asyari. Martin pun menyayangkan, mengapa dalam peristiwa yang besar itu, sarjana dan sejarawan seolah melewatkannya dan tidak mendapatkan perhatian yang layak. 

Ungkapan Martin van Bruinessen menampar-nampar kesadaran kita betapa peran ulama dalam pertempuan Surabaya ibarat dokumen diam yang tak tersentuh. Dokumen diam tersebut hanya lekat dalam ingatan dan dituturkan dari lisan ke lisan di setiap generasi. Negara memang telah mengakui peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahakan kemerdekaan, tetapi pengakuan tersebut bukanlah final dari sebuah perjuangan.

Rekonstruksi sejarah pertempuran Surabaya berarti perlu “menghadirkan” umat islam (santri/ulama) dalam narasi nan-objektif. Ben Anderson, Martin van Bruinessen, dan MC. Ricklefs telah membuka tabir keterlibatan umat islam; laskar Sabilillah dan Hizbullah dalam pertempuran 10 November.

Jika Ricklefs mengungkapkan bahwa banyak ulama dan santri dari Jawa dan Madura berbondong-bondong ke Surabaya, maka kita pun perlu mengungkap tokoh-tokoh dan pesantren yang terlibat dalam pertempuran 10 November 1945. Apa yang mereka tulis, sejatinya adalah peluang besar bagi sejarawan dan peneliti untuk menuliskannya.   

Kini, setelah 73 tahun berlalu, siapa yang akan memulai historiografi santri dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Waktu terus berlalu, sumber sejarah perlu terus digali, baik sumber primer atau sekunder. Rekonstruksi sejarah harus dilakukan selengkap mungkin demi sejarah komprehensif. Tetapi, sekali lagi, siapa yang akan memulainya? Kalau bukan santri yang memulai, siapa lagi? Sejarah harus ditulis, bukan (hanya) sebagai ingatan, apalagi sebatas pengakuan.

* Penulis adalah Alumnus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tags : Opini , Santri , Hari Pahlawan