Kader, Ketokohan dan Media

| Rabu, 15/07/2020 19:02 WIB
Kader, Ketokohan dan Media Eko Supriatno (foto: Istimewa)

Oleh. Eko Supriatno*

“Partai politik bukan organisasi perkumpulan anggota keluarga, bukan pula organisasi pertemanan atau paguyuban. Melainkan organisasi politik yang dikelola secara modern dan professional”.

RADARBANGSA.COM - Idealnya, parpol adalah representation of ideas atau cerminan dari preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan sehingga harus diperjuangkan.

Untuk itu, ideologi, platform atau visi dan misi yang seharusnya menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan parpol. Dengan cara itu, maka parpol layak disebut sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya.

Namun karena kuasa uang, parpol lebih sering terjerumus pada bagaimana cara mendapatkan akses terhadap uang, ketimbang bagaimana merancang agenda yang sejalan dengan aspirasi rakyat. Mekanisme kerja parpol tidak lagi dalam kerangka mencari alternatif kebijakan yang sesuai dengan kondisi bangsa, namun lebih pada kepentingan-kepentingan pribadi para elitnya.

Parpol tidak lagi berlandaskan pada salus populi suprema lex, yakni kesejahteraan atau kepentingan rakyat adalah hukum tertinggi, sebaliknya, uanglah yang menjadi hukum tertinggi.

Hal inilah yang kemudian menjelaskan mengapa parpol hanya terlihat sibuk ketika menjelang pemilu atau pilkada saja, sedangkan di masa-masa non-elektoral sama sekali tidak menunjukkan gaungnya.

Di saat pemilu, orang-orang dalam parpol mengeluarkan segudang janji perbaikan kepada rakyat. Namun, setelah mereka memperoleh kekuasaan yang diinginkan (dari hasil memanfaatkan suara rakyat), maka seketika itu pula mereka akan melupakan janjinya. Mereka akan lebih sibuk mencari uang sebagai ganti biaya pencalonan sebelumnya. Hal semacam inilah yang menjadikan citra parpol kian memburuk dihadapan masyarakat.

Ada banyak definisi tentang partai politik (parpol), salah satu teoritikus politik terkemuka, Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties cukup memberi sumbangan berharga untuk memahami parpol. Menurutnya, “Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda” (dalam Budiarjo, 1985: 162).

Definisi di atas akan tampak dangkal karena terfokus pada perebutan kekuasaan jika tanpa diuraikan apa fungsi dari parpol itu sendiri.

Fungsi parpol setidaknya teridentifiksi ada tujuh hal, yakni: sebagai pelaksana sosialisasi politik, rekruitmen politik, partisipasi politik, pemandu kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik, dan kontrol politik (Surbakti, 1999).

Ini artinya, parpol bukan sekedar wadah saling memperebutkan kekuasaan, namun juga memiliki tujuh fungsi pokok yang tidak kalah pentingnya. Sosialisasi politik memiliki peran yang menentukan orientasi politik para anggota masyarakat. Rekruitmen politik menjadi penyaring para wakil anggota masyarakat dalam politik. Partisipasi politik berfungsi untuk mempengaruhi proses politik yang ada. Pemandu kepentingan dimaksudkan untuk menentukan kehendak umum yang ingin dicapai. Komunikasi politik berguna untuk menyampaikan informasi politik dari pemerintah ke masyarakat. Pengendalian konflik memiliki kegunaan untuk mempertemukan perbedaan pendapat dan mencari jalan penyelesaiannya. Sedangkan kontrol politik bisa menjadi wadah untuk mengkritisi keadaan politik yang terjadi (Surbakti, 1999: 116-121). Fungsi-fungsi di atas memberikan gambaran ideal bagaimana parpol bisa menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat.

Menurut penulis, setidaknya ada 3 (Tiga) Modal Besar Manajerial Partai Politik, yaitu: Kekuatan Kader, Ketokohan, dan Media.

Pertama, kekuatan kader. Ya, pengkaderan merupakan sebuah keniscayaan.  Sebab, kader adalah ruh dari sebuah organisasi. Tidak ada kader, sama dengan tidak ada organisasi.

Dalam khazanah politik, salah satu cara membangun motivasi intrinsik dalam berpartai ialah kaderisasi atau pendidikan politik yang efektif. Kaderisasi di sini juga tidak semata-mata terbatas pada arti regenerasi. Melampaui aspek usia atau jenjang struktural, kaderisasi bertujuan utama untuk memfasilitasi bertumbuhnya loyalitas dan militansi anggota partai.

Berpikir secara formalistik, kita bisa menyebut gagasan-gagasan, seperti sekolah kader, akademi partai, kaderisasi berjenjang, pendidikan politik kader, dan sebagainya. Demikian juga seperti yang dilakukan beberapa parpol di Indonesia saat ini, terdapat berbagai bentuk pendidikan kader yang bersifat terpusat.

Partai Politik jika ditilik secara saksama, tak ada parpol di Indonesia saat ini yang bisa murni disebut partai kader. Kalau tidak menjadi partai massa, pilihan pragmatis lainnya menjadi partai catch-all. Keduanya sama-sama berorientasi pada pendulangan suara pemilih sebanyak-banyaknya secara instan demi memenangi kekuasaan.

Bagi PKB sendiri, jika hendak melakukan kaderisasi yang lebih masif, sistematis, dan terukur, diperlukan alternatif dalam bentuk lain. Dalam khazanah perpolitikan RI, sebenarnya terdapat beberapa contoh kaderisasi swadaya yang pernah dilakukan beberapa parpol maupun organisasi pergerakan, baik sebelum maupun sesudah.

Tentu saja, secara internal semua partai berbicara dan melaksanakan berbagai program yang diniatkan sebagai kaderisasi. Hanya, pada umumnya, tujuan kaderisasi tak lebih jauh dari berbagai upaya mendulang suara sebanyak-banyaknya. Kaderisasi lebih pada sasaran rekrutmen politik.

Kaderisasi yang betul-betul dimaksudkan sebagai suatu proses pendidikan politik yang sistematis dengan tujuan jangka panjang relatif sangat jarang. Dari berita media massa, kita tahu pada umumnya bentuk program kaderisasi lebih banyak instruktif bukan kolaboratif seperti seminar, lokakarya, atau kegiatan kepartaian jangka pendek lainnya.

Risiko partai massa atau catch-all ialah fenomena keanggotaan yang mengambang (floating) dalam jumlah yang tinggi. Para pemilik suara dalam pemilu tak akan berat hati berpindah pilihan, dari satu partai ke partai lain. Mereka tidak memiliki identitas kepartaian yang melekat, yang ditandai dengan loyalitas dan militansi. Keberhasilan sebuah parpol meraih suara lantaran sangat tergantung pada insentif ekstrinsik terhadap pemilih.

Di samping insentif ekstrinsik yang bersifat materialistis ini tentu saja terdapat insentif-insentif programatik. Kita bisa sebut platform partai atau kandidat, janji-janji program atau gagasan-gagasan yang berorientasi kemaslahatan publik.

Seiring pemanfaatan ideologi untuk membangun militansi, partai yang berhasil melakukan kaderisasi ialah yang berhasil memaksimalkan pembangunan jaringan.

Dalam bahasa lebih klinis, kita mengenal istilah `membangun sel-sel`. Demikian juga, jika belajar dari sejarah, kaderisasi mestilah berakar pada idea dan logos serta platform yang jelas.

Kedua, ketokohan. Ketokohan dalam sebuah partai adalah sesuatu hal yang penting. Ketokohan merupakan hal penting karena masyarakat akan melihat sumber daya partai dari tokohnya. Ketokohan perlu dimanaje, dimapping agar tokoh yang lahir betul-betul dari partai tersebut menjadi perekat dan mengambil simpati di tengah-tengah masyarakat media. Faktor ketokohan dan incumbency. Dalam pengalaman PKB, ketika keterikatan pemilih dengan partai lemah, keterpilihan para kandidat dalam pemilihan legislatif ataupun eksekutif amat bergantung pada modal personal dan sosial mereka. Tokoh-tokoh karismatik yang memiliki jaringan atau mesin politik yang efektif akan menjadi kandidat yang paling mungkin terpilih atau menjadi patron politik yang potensial dalam pemenangan pemilu. Walaupun sangat decisive, demi sebuah perpolitikan yang sehat, insentif-insentif ekstrinsik ini semestinya tetap diposisikan sebagai insentif dan tidak sampai menjadi faktor penentu kemenangan selama-lamanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Diego Fossati, Burhannudin Muhtadi dan Eve Warburton mengkaji bagaimana ketokohan parpol memiliki pengaruh cukup besar untuk mengubah pandangan pendukung terhadap suatu kebijakan politik. Dalam penelitian tersebut, lanskap politik Indonesia telah berubah selama lima tahun terakhir.

Apa yang disebut oleh para ilmuwan politik “identifikasi partai,” yakni proporsi pemilih yang mengungkapkan identifikasi pribadi dengan suatu partai, sekarang mencapai 12 persen berdasarkan survei yang dilakukan bulan Mei 2019 oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Universitas Nasional Australia (ANU). Sebagian besar partai digerakkan oleh patronase dan mengusung pandangan beragam sehingga dapat menarik berbagai pemilih dengan latar belakang berbeda.

Ketokohan, bukan hanya partai, dapat menarik kesetiaan partisan yang kuat. Ketika tingkat identifikasi partai telah terkikis di negara-negara demokrasi di seluruh dunia, politik menjadi lebih personal.

Apalagi dalam sistem presidensial Indonesia, di mana warga negara memilih secara langsung presiden mereka dan bukan memilih partai, ketokohan akan selalu penting.

Ketiga, Media. Tidak dipungkiri, peran media berhasil meningkatkan elektabilitas sejumlah partai politik (parpol), terutama media sosial. Pemanfaatan media sosial (medsos) sebagai alat kampanye merupakan suatu bentuk revolusi komunikasi di ranah politik Indonesia. Sejumlah parpol sudah sejak lama sadar akan pentingnya media sosial dalam mendorong elektabilitas partai.

Pada era disrupsi seperti saat ini, kampanye terbuka dinilai sudah tidak efektif lagi karena selain menyedot anggaran yang luar biasa besarnya. Kehadiran massa yang begitu besar dalam sebuah kampanye terbuka bukanlah indikator kemenangan. Karena di balik keramaian massa yang disesaki beragam atribut, belum tentu terselip makna yang berarti. Saat ini, tidak lagi melihat kampanye terbuka yang mengerahkan massa besar-besaran. Di ranah media sosial, publik menyaksikan hiruk pikuknya kampanye untuk merebut hati warganet (netizen) sehingga memilih partai tertentu.

Media sosial memiliki dua fungsi, yakni fungsi komunikasi pada konstituen dan masyarakat luas untuk membangun kedekatan emosional serta fungsi sebagai wadah aspirasi rakyat. "(Medsos) tidak sekadar platform interaksi saja, tetapi juga untuk membangun branding, kekaguman pada suatu entitas, khususnya pada parpol.

Selain prevalensi di ranah virtual, keunggulan atau kehadiran sebuah parpol di medsos tak terlepas dari beberapa faktor, yakni figur/kader partai, pemberitaan di media massa yang begitu masif dan primodialisme.

Di era digital, seorang anggota partai politik tidak hanya dituntut untuk memiliki jiwa kepemimpinan dan keahlian untuk berkomunikasi dengan masyarakat secara langsung. Dewasa ini, Internet dan media sosial telah menjadi salah satu media komunikasi utama di tengah masyarakat sehingga seorang politisi pun perlu memiliki keahlian digital yang memadai. Tidak hanya untuk berkomunikasi dengan para konstituen, media sosial juga dapat menjadi lahan pembentukan opini pada masa-masa pertarungan politik.

Apapun yang dilakukan kader partai dan tokoh kalau tidak dipublikasikan lewat media baik di media sosial maupun media masa tidak akan efektif. Yang menarik, perolehan suara PKB menjadi partai politik yang paling banyak diberitakan setelah penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2019. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sebelumnya tidak banyak diberitakan justru masif diwartakan setelah memperoleh suara cukup besar dalam pemilu legislative, isu-isu PKB selalu disetir media massa dengan cukup intens pasca-pileg, padahal sebelumnya tidak, demikian hasil analisis beberapa media massa. Menurut penulis, media tertarik untuk mengupas apa yang menyebabkan naiknya suara PKB tersebut adalah karena kemenarikan PKB, karena strategi  komunikasi Gus Muhaimin (Ketua Umum PKB) yang cukup baik.

*Eko Supriatno (Penekun Kajian di Komunitas Warung Kopi Labuan (Warkol), Wakil Sekretaris DPW PKB Banten)

** Isi di luar tanggung jawab radarbangsa.com

Tags : Politik , Tokoh , Media

Berita Terkait