RUU HIP dan Isu Komunisme

| Kamis, 16/07/2020 17:29 WIB
RUU HIP dan Isu Komunisme Pengamat Politik dan Civitas Academika UNMA Banten, Eko Suptiatno (foto: Istimewa)

Oleh. Eko Supriatno*

"Demokrasi tidak mengenal komunis atau bukan komunis" Gus Dur

RADARBANGSA.COM - Pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP adalah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.

Berdasarkan catatan rapat tersebut, dikatakan bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur mengenai Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila.

Beberapa yang dibahas dalam RUU tersebut adalah dibentuknya beberapa badan. Di antaranya, Kementerian atau badan riset dan inovasi nasional, Kementerian/ Badan Kependudukan dan Keluarga nasional serta Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila.

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU HIP) telah memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas. Bahkan juga telah menuai penolakan dari berbagai kalangan.

RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang digagas DPR sebelumnya mendapat penolakan keras dari sejumlah kelompok Islam. Majelis Ulama Indonesia bahkan menyebut RUU tersebut `pencurian di saat senyap` ideologi negara karena pembahasannya tidak melibatkan berbagai kalangan masyarakat, dan hanya dalam waktu singkat telah disahkan menjadi program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020.

Beberapa faktor RUU yang merupakan inisiatif DPR khususnya dari Fraksi PDIP dapat dengan cepat disetujui:

Pertama, mayoritas fraksi itu koalisi pemerintah. Jadi lebih lancar dan cepat menggolkan RUU yang diinisiatifkan PDIP ini.

Kedua, RUU ini, bertujuan untuk memperkuat dan melindungi kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang ketua dewan pengarahnya adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

Kemudian, sebagai instrument atau dasar memperkuat dan memperbesar peran Pancasila di masyarakat, RUU berpotensi digunakan "alat" untuk memukul ideologi lain. Ideologi lain bukan dalam arti dasar negara tapi misalnya ideologi dalam kepartaian dan ormas, kan ada nasionalis, religius, dan lainnya.

RUU HIP dan Isu Komunisme

Menurut penulis, setidaknya ada 2 (Dua) gagasan dari tulisan “RUU HIP dan Isu Komunisme” ini:

Pertama, Penulis menilai isu komunis yang membumbui polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) cenderung suuzon. Faktanya, ideologi terlarang itu masih terkunci dengan rangkaian regulasi lainnya. Pengaman atas masuknya komunisme di Indonesia tertuang dengan TAP MPRS 25 Tahun 1966 yang masih diterapkan sebagai pertimbangan hak asasi manusia dan demokrasi. Ketetapan itu diperkokoh dengan TAP MPR No.1 Tahun 2003.

Dalam perspektif hukum, alasan tersebut masih belum kuat. Apalagi ketika dihadapkan pada sebuah realitas bahwa aturan yang melarang penyebaran ajaran komunis belum dicabut yang berarti masih berlaku. Belum lagi, larangan penyebaran ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme juga ditegaskan dalam Pasal 107a, 107c, 107d dan 107e UU No.27 Tahun 1999 tentang keamanan negara.

Pertanyaannnya kemudian yang muncul adalah, apakah dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS XXV ke dalam konsideran mengingat RUU HIP otomatis bisa menggugurkan TAP MPRS XXV Tahun 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999?

Kedua, Penulis menilai RUU HIP tidak mengakomodir komunis kembali. Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) tidak memiliki hubungan dengan bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Saya kira tidak mungkin RUU HIP berhubungan atau justru mengakomodir komunis eksis kembali di Indonesia.

Memang masih terjadi perdebatan karena beda perspektif. Perbedaan perspektif ini muncul karena kecurigaan antar pihak, komunikasi belum terbangun dengan baik. Tokoh-tokoh bangsa perlu didudukkan dalam satu forum untuk membereskan hal ini. Perlu sosialisasi dan diadakan dialog dengan semua pihak, satukan berbagai perspektif tersebut dalam kerangka untuk menguatkan Pancasila.

Soal ideologi, Indonesia sudah final yaitu Pancasila, tidak ada ruang bagi ideologi lain. Bila perlu harus diuji secara akademis, semakin banyak masukan dan semakin kuat uji akademisnya maka RUU HIP akan semakin baik. Tidak perlu resisten dengan saran dari berbagai pihak. Kata kuncinya dialog dengan semua pihak perlu dilakukan untuk menyempurnakan RUU HIP.

Phobia Berlebihan?

Dinamika demokrasi di Indonesia belakangan ini menciptakan banyak sekali persoalan, tak terkecuali persoalan lama yang terus menerus direproduksi sejak puluhan tahun silam. Sampai saat ini, diakui komunis masih menjadi phobia atau momok yang ditakuti di masyarakat.

Phobia komunis yang berlebihan ini justru menjadi bukti betapa kuat dan mengakarnya propaganda yang ditanamkan oleh rezim orde baru hingga hari ini. Phobia komunis juga menjadikan kita menjauh dari perdebatan dan diskursus yang substansial tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila itu sendiri.

Ya, kebangkitan Partai Komunis Indonesia atau disingkat PKI. Persoalan komunis memang tidak lepas dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Masyarakat kini dihantui trauma mendalam atas pembantaian pada tahun 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) seolah menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Keberadaan tiap hal berbau komunis kini sejak dahulu terus diberangus. Sehingga membuat masyarakat cenderung takut dengan pemahaman itu.

Penulis mengibaratkan komunis sebagai hantu yang bergentayangan. Namun, masyarakat tidak perlu takut dengan ideologi komunis lantaran kekuatannya sudah tidak lagi memberi pengaruh besar baik di tingkat nasional maupun international.

Ideologi komunis sudah tidak dipercaya masyarakat. Meski begitu, masih ada saja sekelompok orang tertentu menebarkan banyak hal bernuansa komunis. Komunisme yang sebenarnya sudah jauh ditinggalkan di dunia pasca perang dingin justru masih laku dan terus didaur ulang oleh kelompok-kelompok tertentu. Propaganda anti-komunisme ini telah berjalan setidaknya setengah abad.

Secara legal PKI sebenarnya tidak punya celah sama sekali karena telah habis-habisan dilarang dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Pasal 40 ayat (5) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan tegas melarang partai politik  untuk menganut dan menyebarkan ajaran komunisme.

Belum lagi ketentuan Pasal 59 ayat (4) huruf c UU No. 16 Tahun 17 tentang Penetapan Perppu Ormas Menjadi Undang-Undang yang menyatakan “Ormas dilarang, menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan Pancasila”.

Penjelasan dari frasa paham yang bertentangan dengan Pancasila ini dapat kita lihat pada bagian penjelasan pasal demi pasal undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dengan demikian agaknya terlampau sulit membayangkan PKI dapat bangkit lagi baik dalam bentuk partai politik atau ormas sekalipun tanpa menganut komunisme itu sendiri karena telah dilarang dengan sangat ketat.

RUU HIP memang tidak menjadikan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 sebagai landasan yuridis dibentuknya undang-undang tersebut. Namun, bukan berarti Tap MPRS a quo menjadi kehilangan kekuatan hukum. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tetap berlaku dan masih menjadi hukum positif di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Cara Melawan Komunisme

Salah satu cara untuk melawan komunisme itu rasionalisme dan kebebasan. Karena itu, menempatkan komunisme dengan rujukan sepihak sejarah PKI, sebagai musuh bangsa saat ini bukan hanya ketinggalan kereta, tetapi juga sangat naif. Jadi, bila ingin menentang komunis, pelajarilah komunisme. Janggal rasanya kalau harus memusuhi sesuatu yang kita tidak tahu, atau lebih celakanya, tidak boleh tahu.

Komunisme adalah ideologi dunia yang gagal. Apa yang diharapkan dari sebuah ideologi yang terbukti gagal? Jika oleh sejarah ia dibuktikan gagal, atas alasan rasional apa kita harus takut atas ideologi yang bangkrut itu?

Persepsi masyarakat bagaimanapun terbentuk oleh doktrin sejarah rezim Orde Baru yang antikomunis. Padahal, tak semua komunis salah atau buruk. Tidak semua komunis salah. PKI memang komunis, tapi komunis belum tentu PKI. PKI memang punya lambang palu-arit, tapi palu-arit bukan cuma punya PKI.

Komunisme sendiri merupakan paham sosial-politik dan ekonomi. Ideologi yang bersandar pada manifesto politik yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engles itu ialah bentuk koreksi dari sistem kapitalisme yang berekspansi masif di dunia sekitar abad 19.

Komunisme sebagai paham antikapitalisme memperjuangkan kesejahteraan ekonomi dan amat menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja. Kelas-kelas itu, menurut komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum proletar. Komunis menganggap kekayaan atau modal sejatinya merupakan milik rakyat, dan karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat yang merata.

Terlepas dari ideologi tersebut, Indonesia menganggap komunisme sebagai ancaman. Komunisme dan PKI dicampuradukkan. PKI sendiri menjadi momok karena dikaitkan dengan sejarah pembantaian warga Indonesia. Pasca-30 September 1965, mereka yang dituduh komunis diberangus, menambah kengerian masyarakat akan komunisme dan PKI.

Komunis disebut sebagai bahaya laten. PKI dan komunis dianggap racun yang berlu dibasmi. Tak sedikit masyarakat saat ini yang mengutuk dan mengecam komunisme tanpa tahu apa arti dan sejarahnya, tanpa tahu apa peran komunis di Indonesia.

Mengkritisi RUU HIP

Terlepas dari isu komunis, memang kita harus  mengamini RUU HIP perlu dikritisi. Ada 4 (Empat) poin:

Pertama, RUU HIP dicurigai telah mengingkari sejarah dimana Pancasila merupakan konsensus para pendiri bangsa. Ada beberapa persoalan pokok di dalam RUU HIP tersebut.

Di antaranya posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan norma paling tinggi dan dasar falsafah negara. Sehingga perumusan Pancasila pada tingkat norma UU menurunkan nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan merendahkan posisi Pancasila. Kemudian, penafsiran Pancasila secara autentik ada dalam pasal-pasal UUD 1945 yang telah disepakati bersama. RUU HIP tak memperhatikan norma dalam Pasal 2 UUD 1945. RUU HIP Hanya melihat dan merujuk Pancasila 1 Juni 1945. Hal tersebut mendistorsi Pancasila dan mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang mewakili seluruh komponen bangsa yang disepakati dalam berbagai dokuman autentik kenegaraan yang tercatat hingga sekarang.

Kedua, RUU HIP dipandang bermasalah secara substansi dan urgensi. Terdapat 60 pasal dari RUU HIP ini. Mayoritas pasal dalam RUU itu bermasalah dan berpotensi memunculkan kontroversi, serta mereduksi sila-sila dalam Pancasila sebagai dasar negara.

Ketiga, RUU HIP dicurigai ingin mengubah Pancasila yang rumusan sila-silanya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Bicara Pancasila, kaitannya dengan dasar falsafah negara, harus merujuk pada alenia ke 4 Pembukaan UUD 1945. Dasar hukum berlakunya Pancasila ini, sampai sekarang, adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal ini dipertegas dalam Ketetapan MPR  No XVIII/MPR/1998 pada Pasal 1. Konsideran penting yang menjadi dasar pertimbangan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959  yaitu kembali ke UUD 1945,  dan diterima oleh semua kalangan. Sementara itu, RUU HIP menggunakan Pancasila yang lain.

Keempat, RUU HIP bisa mengacaukan sistem ketatanegaraan. RUU ini memunculkan tumpang tindih dalam sistem ketatanegaraan. Ideologi Pancasila merupakan pembentuk Undang-Undang Dasar (UUD) atau konstitusi negara. Tidak bolehlah kalau Pancasila justru diatur oleh Undang-Undang (UU). Ini akan mengubah fungsi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber konstitusi, jadi sekadar aturan teknis.

* Eko Supriatno, M.Si, M.Pd  (Penulis Buku “Nalar Kewarganegaraan”.)

**Isi sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Tags : HIP , BPIP , Pancasila

Berita Terkait