Membaca Gus AMI, Membaca "Negara Politik Kesejahteraan"

| Selasa, 25/05/2021 17:57 WIB
Membaca Gus AMI, Membaca "Negara Politik Kesejahteraan" Cover buku Negara dan Politik Kesejahteraan karta Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar (foto: istimewa)

Oleh. Eko Supriatno*

 

‘Tidak Ada Negara, Tanpa Kesejahteraan’

(Gus AMI)

 

 

Ia lahir di Jombang, Jawa Timur, 24 September 1966, dengan nama Abdul Muhaimin Iskandar. Barulah ketika dewasa, namanya dikenal luas sebagai Muhaimin Iskandar alias Gus Ami.

Ayah dari Gus Ami adalah Muhammad Iskandar, guru di Pondok Pesantren Manbaul Ma`arif, Jombang, Jawa Timur, pandangan sosok ayahnya nampaknya cukup kuat mempengaruhi pandangan politik Gus Ami.

Tumbuh besar di lingkungan santri, karakteristik Gus Ami pun terbentuk dengan apik. Sejak kecil, ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini menjadikannya gemar belajar dan membaca buku. Alhasil, wawasannya kian luas, meliputi berbagai bidang kehidupan.

Gus Ami memiliki hubungan dekat dengan Presiden Ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Gus Dur merupakan paman dari Gus Ami.

Gus Ami, merupakan tamatan pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri Jombang dan Madrasah Aliyah Negeri I Yogyakarta. Ia lulus dari Madrasah Aliyah Negeri tahun 1985, Gus Ami  kemudian melanjutkan pendidikan sarjananya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan selesai pada usia 26 tahun.

Tidak cukup sampai di situ, Gus Ami kemudian melanjutkan kuliah untuk meraih gelar master 10 tahun kemudian di Universitas Indonesia (UI) bidang komunikasi dan lulus pada tahun 2001.

Pada bangku perkuliahan, pengalaman Gus Ami digodok lebih matang menjadi politikus yang handal. Gus Ami dalam beberapa kesempatan sering terlibat aktif dalam diskusi-diskusi serta pergerakan mahasiswa Islam.

Gus Ami muda aktif berorganisasi. Dia merupakan Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Yogyakarta mulai tahun 1990-1997. Selain itu, Gus Ami juga aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Memasuki era reformasi, sepak terjang Gus Ami semakin menggeliat, karir politiknya turut menggebu seiring lahirnya era tersebut, ia bersama tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama termasuk Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Gus Ami sendiri ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB.

Bapak dari tiga orang anak ini mulai turut masuk jajaran legislator pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, Gus Ami terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada usia 33 tahun, bahkan Gus Ami juga pernah menjadi Wakil Ketua DPR RI periode 1999-2004. Gus Ami termasuk pimpinan termuda di DPR yang pernah ada saat itu.

Terus melejit, kariernya bersama PKB, pada Pemilu 2004, Gus Ami terpilih kembali menjadi anggota DPR dan kembali menjadi Wakil Ketua DPR RI periode 2004-2009. Bahkan pada pemilu berikutnya, Gus Ami sukses kembali untuk ketiga kalinya menjadi anggota DPR periode 2009-2014.

Pada capaian ketiga kalinya melenggang ke Senayan itulah Gus Ami dipinang Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) untuk dipercaya menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) 2009-2014. Di tahun yang sama, dia menerima Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adi Pradana.

Masa jabatan menteri hampir berakhir, di penghujung 2014, secara aklamasi Gus Ami kembali terpilih menjadi Ketua Umum DPP PKB pada 2014, namanya sempat disandingkan dengan Joko Widodo oleh pendukungnya sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019, namun hal tersebut urung terjadi.

 

Spektrum Pemikiran Gus Ami

Sebagai tokoh nasional, Gus Ami merangkul siapa saja. Sikap inklusif demikian menunjukkan kedalaman dan kekayaan intelektualitas sang ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini. Banyak karya yang telah ia buat, baik dalam bentuk buku maupun artikel.

Buku ‘Negara dan Politik Kesejahteraan’ berupaya merangkum spektrum pemikiran Gus Ami yang tersebar di banyak pidato kunjungannya dibeberapa tempat. Buku ini bisa dikatakan unik karena menjadi semacam etalase yang memajang berbagai serpihan pemikiran suami Rustini Murtadho tersebut.

Gus Ami terlihat memiliki kelebihan dalam memberikan ‘ide gagasan’ di setiap bukunya. konstruksi pemikiran dari substansi buku yang dibuatnya begitu tajam dan komprehensif dalam menyinggung setiap topik yang dibicarakan disetiap bukunya.

Karir politik Gus Ami terbilang cukup rapi, berawal dari aktivis, kemudian menjadi pengurus partai, dan selanjutnya sempat menjadi anggota dewan bahkan pernah menjabat menteri.

Gus Ami memiliki karakter ketokohan yang kuat di PKB, ia dikenal sebagai sosok yang toleran dan mampu beradaptasi dengan koalisi siapa saja, asal sejalan dengan PKB.

Sosok Gus Ami patut dijadikan panutan baik bagi kader PKB maupun sebagian warga Nahdlatul Ulama (NU) atau nahdliyin.

 

Membaca ‘Negara Politik Kesejahteraan’

Membaca Negara Politik Kesejahteraan adalah menghadirkan kembali kesadaran kita tentang pentingnya menggali tujuan sebuah ‘negara’.

Di tengah masyarakat, beragam esai telah ditulis dan banyak diskusi dan seminar telah dilaksanakan dengan judul-judul megah seperti ‘Rejuvenasi Negara’, ‘Bela Negara dalam Perspektif Gen Z (Generasi Z)’ hingga ‘Restorasi Negara’.

Meskipun demikian, penulis merasa bahwa ada yang hilang dalam diskusi dan seminar mengenai ‘negara’ akhir-akhir ini.

Dalam beragam tulisan dan seminar tersebut, pembahasan mengenai ‘negara’ lebih sering berfokus pada aspek sipil-politiknya saja, sementara aspek sosial- ekonomi kurang mendapat perhatian.

Kerangka yang paling lazim dihadirkan adalah menempatkan negara sebagai benteng pelindung dan solusi atas dampak masalah yang dihadapi masyarakat saat ini.

Tentu saja, dengan konteks politik nasional dan global kita hari ini, hal ini penting. Namun, pemahaman kita tentang negara tidak akan utuh tanpa membahas sila yang memuncakinya yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Memang dapat dipahami mengapa publik lebih suka membincang aspek sipil-politik dari negara tersebut. Hal ini berbeda dengan berbicara mengenai aspek keadilan sosial dari negara. Saat kita bicara soal keadilan sosial dalam perspektif negara, permasalahan yang kita lihat bersifat struktural. Artinya, kita mungkin tidak melihatnya sebagai ancaman yang terasa nyata karena tidak dapat disentuh dan disaksikan.

 

Quo Vadis Kesejahteraan Sosial

Menurut penulis definisi kesejahteraan adalah sebuah kondisi baik dimana sesorang berada dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Kesejateraan adalah sebuah kondisi dimana terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu.

Kesejahteraan sosial adalah suatu pola pelayanan yang diberikan oleh pihak yang berwenang yang dalam hal ini pemerintah selaku pelaksana kehidupan bernegara agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatannya.

Sedangkan untuk tingkatan yang lebih makro, kesejahteraan bertransformasi menjadi kesejahteraan sosial, yaitu sebuah bentuk pelayanan yang terorganisir dari negara/pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan warga negaranya.

Akan tetapi pada pelaksanaannya konsep mewujudkan kesejahteraan sosial sebagaimana yang dirumuskan oleh para founding father hanya menjadi sebuah angan-angan suci yang hingga saat ini belum mampu diwujudkan oleh negara/pemerintah.

Kita masih dapat melihat besarnya ketimpangan kesejahteraan yang dirasakan oleh setiap masyarakat Indonesia, terutama jika kita membandingkan antara daerah perkotaan dengan pelosok daerah di Indonesia.

Terlihat jelas jurang yang memisahkan dua kelompok besar di dalam masyarakat Indonesia, satu kelompok kecil menikmati pemenuhan kebutuhannya, bahkan dapat dikatakan melimpah.

Akan tetapi kelompok besar masyarakat Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, jangankan untuk memenuhi kebutuhan luxury-nya, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja masih sangat sulit.

Kondisi ini diperparah dengan kondisi pemerintahan yang korup dan kebijakan peraturan perundang-undangan yang tidak pro kepada masyarakat banyak.

Bagaimana jadinya riwayat cita-cita mulia untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia. Dimana letak kemerdekaan jika kita masih mengalami kondisi kesejahteraan yang sama dengan masa penjajahan. Untuk itu mari kita tentukan nasib kita kedepannya dengan serius memilih pemimpin kita kedepannya.

Gelombang kesadaran tentang negara harus dibarengi dengan perbincangan yang lebih serius mengenai permasalahan Politik Kesejahteraan dalam perspektif negara ini setidaknya ada tiga alasan:

Pertama, ketimpangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengeluaran orang Indonesia yang diukur oleh gini ratio melebar menjadi 0,385 di September 2020. Angka ini meningkat 0,004 poin jika dibandingkan pada Maret tahun lalu yang berada di posisi 0,381. Tingkat ketimpangan pengeluaran orang Indonesia ini meningkat 0,005 poin jika dibandingkan dengan gini ratio per September 2019 yang sebesar 0,380. Berdasarkan laporan BPS, pandemi COVID-19 menjadi penyebab utama melebarnya tingkat ketimpangan pengeluaran orang Indonesia yang diukur oleh gini ratio. Dalam laporannya yang berjudul An Economy For the 1%: How privilege and power in the economy drive extreme inequality and how this can be stopped, Oxfam mencatat bahwa 1% orang terkaya di dunia saat ini menguasai kekayaan melebih 99% penduduk dunia lainnya (Oxfam, 2019).

Di Indonesia sendiri, laporan Oxfam yang berjudul Menuju Indonesia yang Lebih Setara mencatat bahwa empat orang terkaya di negeri ini memiliki kekayaan lebih dari total kekayaan 40% penduduk dengan kekayaan terendah. Satu persen orang terkaya Indonesia memiliki hampir setengah dari total kekayaan penduduk negara yang kita cintai ini. Angka ini menahbiskan Indonesia menjadi peraih peringkat keenam dalam daftar negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi (Oxfam, 2019).

Kedua, kesejahteraan sosial adalah raison d’etre kemerdekaan. Yang mempersatukan bangsa kita yang bhineka ini adalah ketidakadilan yang dihadirkan oleh kolonialisme. Kesadaran akan ketidakadilan inilah yang membuat para pendiri bangsa sepakat menempatkan keadilan sosial sebagai sila pamungkas dari negara.

Ketiga, keadilan sosial (atau kehampaan darinya) sangat bertautan dengan kukuhnya kebinekaan. Absennya diskusi mengenai ketimpangan ketika membicarakan negara juga berarti membiarkan ancaman bagi kebinekaan terus menguat, karena mengabaikan hubungan yang kuat di antara kedua aspek ini.

Dengan demikian, politik kebangkitan negara yang mulai mengemuka ini harus segera dilengkapi dengan diskusi-diskusi yang lebih serius mengenai keadilan sosial. Sesuai pesan dari tulisan Membaca Gus Ami, Membaca ‘Negara Politik Kesejahteraan’ adalah ‘Tidak Ada Negara, Tanpa Kesejahteraan’.

 

Eko Supriatno, M.Si, M.Pd (Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan)

Penekun Kajian di Forum Silaturahmi Bangsa Provinsi Banten

 

Tags : Gus AMI , PKB

Berita Terkait